Harga Nyawa Lebih Murah dari Bed Rumah Sakit

Ilustrasi / Bed Rumah Sakit di Surabaya RMOLJatim
Ilustrasi / Bed Rumah Sakit di Surabaya RMOLJatim

PANDEMI Covid-19 telah merubah hukum positif di Indonesia, Khususnya yang mengatur tentang rumah sakit.

Belakang ini, muncul angka kematian yang melonjak akibat covid. Ini menjadi pertanyaan yang cukup besar, apakah kematian itu disebabkan oleh faktor penyakitnya yang ganas atau memang terlambat dalam penanganannya.

Jawaban ini akhirnya saya dapatkan setelah melihat sendiri betapa murahnya harga nyawa dibanding dengan harga tempat tidur (bed) rumah sakit.

Saat itu, hari Sabtu (10 Juli 2021), sekitar pukul 11.30 WIB, tetangga saya BC (Maaf saya inisial) mengalami penurunan saturasi oksigen yang begitu dahsyat, disertai dengan sesak nafas. Hal itu diketahui saat petugas puskesmas setempat dihadirkan oleh pengurus lingkungan. 

Hasilnya, harus dirawat di rumah sakit. Namun sang petugas puskesmas ini tak bisa berbuat banyak. Ia pasrah saat beberapa nomor hp yang dihubunginya tidak terangkat, bahkan ada pula yang tidak aktif. 

Untuk itu, warga setempat kebetulan bekerja sebagai guru di salah satu sekolah swasta di Surabaya. Dia menawarkan mobil ambulan. Dan penawaran itu disambut baik. Dan kami hanya memikirkan mau dibawa ke rumah sakit mana. 

Kebetulan juga, suami dari guru itu memberikan rekomendasi kenal dengan dokter di salah satu rumah sakit kecil dikawasan Gresik Selatan. Warga pun senang mendengarnya. Dan sekira pukul 16.29 WIB, Pak BC di bawalah ke rumah sakit tersebut dengan menggunakan ambulan.

Setibanya di sana, handphone saya berdering dan saya buka ternyata adik dari Pak BC. Bagai disambar petir mendengar kabar itu yang menyatakan rumah sakit tidak bisa menangani karena terindikasi Covid-19, meski tanpa dilakukan tes swab saat berada di IGD. 

Keluarga dan pengurus kampung pun panik, mau dibawa ke mana ini. Lantas saya berusaha menghubungi beberapa rekan agar bisa membantu Pak BC ini bisa di rawat. Namun, kabar buruk kembali terdengar oleh telinga ini, mereka semua mengatakan tidak bisa membantu karena rumah sakit penuh pasien.

Setelah melakukan rundingan, Pak BC akhirnya di bawa di rumah sakit terbesar di Gresik. Kami tiba di IGD rumah sakit tersebut sekira pukul 18.52 WIB.

Sang sopir ambulan dan adik Pak BC pun turun dan menyampaikan ke pihak security kalau sedang membawa pasien darurat. Namun oleh tenaga keamanan itu, mereka meminta Pak BC untuk tidak dibawa turun dulu dari ambulan. Dengan alasan masih belum ada tempat tidur (bed)

Hingga pukul 22.10 WIB, Pak BC belum sama sekali dilakukan tindakan. Saat itulah saya berusaha menanyakan ke tenaga keamanan (beda petugas) alasan mengapa belum ada penanganan. Kali ini, petugas mengajak saya untuk menemui dokter jaga IGD. 

Dalam ruangan bertuliskan zona oranye itu, saya bertemu sang dokter untuk menanyakan alasan mengapa belum ada penanganan juga hingga 2 jam lamanya. 

Dengan enteng sang dokter mengatakan kami masih banyak pasien dan sudah lelah, apalagi tidak ada bed. 

Saya pun langsung menyambar pernyataan itu dengan bilang "Saya tidak minta ditangani, minimal dokter ini melihat kondisinya dulu dan menyapa pasien sambil memberikan motivasi. Apakah harga bed lebih mahal dari harga nyawa orang. Dimana letak hak asasi manusia atas hak hidupnya".

Sang dokter itu pun sempat terdiam dan memutuskan untuk melihat Pak BC. 

"Nanti saya lihat pak, tapi saya tangani pasien bentar ya," katanya sambil meminta agar saya melakukan pendaftaran di loket.

Tapi hingga pukul 22.05 WIB, Sang dokter tak kunjung memenuhi janjinya walau hanya 1 menit. Sopir ambulan pun mulai panik, karena harus kembali ke sekolah dan telah melebihi jam pelayanan. 

Tak hanya itu, Pak BC pun juga mulai mengigau dan meminta pulang. Setelah dilakukan rembuk dengan pihak keluarga dan pengurus kampung, Pak BC pun dibawa pulang,meski masih dalam kondisi yang memprihatinkan.

Beberapa hari kemudian tanggal 12 Juli 2021, Keluarga Pak BC kembali memberikan kabar gembira, dengan mengatakan sudah mendapatkan rumah sakit di Surabaya (Kawasan Gubeng) mau menerima. Pengurus kampung pun diminta untuk menyiapkan ambulan. 

Setibanya di rumah sakit tersebut, pengurus kampung kembali mendapat kabar tak sedap. Karena disana Pak BC hanya di swab antigen bukan untuk dirawat. Dalam kondisi yang lebih memprihatinkan, Dia harus dibawa pulang ke rumah. 

Dua hari berikutnya (14 Juli) , keluarga kembali mengatakan sudah dapat rumah sakit dan kali ini adalah rumah sakit terbesar di Jawa Timur. Tentunya kabar itu membuat warga setempat senang, mengingat kondisi Pak BC makin kritis, bola mata sudah sudah naik keatas, bahkan kukunya sudah mulai membiru. 

Tapi perjuangan Pak BC untuk bisa hidup berakhir di ambulan. Hanya berjarak 2 km sejak diangkut ambulan menuju rumah sakit, Pak BC menghembuskan nafas terakhirnya.

Dari fenomena dan fakta yang terjadi, saya mencoba untuk menganalisa apakah penolakan rumah sakit terhadap masyarakat bisa dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum.

Hak Rakyat Untuk Mendapatkan Kesehatan Dalam UUD 1945

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan UUD NRI 1945. Oleh karena itu, setiap kegiatan DNA upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non-diskriminatif, partisipatif, perlindungan dan berkelanjutan demi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.

Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H ayat (1), yang berbunyi: “…setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,  dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik  dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan…”.

Pada ayat (2), disebutkan:  “…setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna  mencapai persamaan dan keadilan…”.

Pada  ayat (3), disebutkan bahwa “…setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat…”. 

Di dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, disebutkan: “…negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan  tidak mampu sesuai dengan martabat  kemanusiaan…”.

Pada ayat (3), disebutkan: “…negara bertanggung jawab atas  penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak…”. Pada  ayat (4), disebutkan: “…ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang…”. 

Mengenai pelayanan kesehatan, UUD NRI Tahun 1945 Perubahan Keempat, Pasal  34 ayat (3) mengamanatkan bahwa “Negara  bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas  pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Frasa kata “yang layak” dapat dimaknai bahwa negara tidak hanya  bertanggung jawab menyediakan fasilitas  kesehatan sekedarnya, melainkan fasilitas  kesehatan dengan standard tertentu yang dianggap layak. 

Sebagai suatu istilah hukum, pelayanan kesehatan dapat ditemukan dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang  Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). 

Dalam Pasal 22 ayat (1) ditegaskan: “Jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorang berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan”.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 merupakan pelaksanaan dari Pasal 28H dan Pasal 34 UUD NRI Tahun 1945, sehingga  pelayanan kesehatan yang dimaksud dalam  undang-undang tersebut, sesuai dengan makna yang dimaksud dalam UUD NRI Tahun 1945. Artinya, pelayanan kesehatan yang dimaksud UUD NRI Tahun 1945 tidak sesempit yang dibayangkan dalam praktek, melainkan mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, tidak hanya berkaitan dengan pelayanan individu atau orang-perorang.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, mengisyaratkan bahwa setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan  terhadap kesehatannya, dan negara  bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi  hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. 

Upaya mewujudkan hak tersebut pemerintah harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang merata, adil dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu pemerintah perlu melakukan upaya-upaya untuk menjamin akses yang merata bagi semua penduduk dalam memperoleh pelayanan kesehatan terlebih disaat pandemi Covid-19.

Rumah Sakit Bisa Dipidanakan

Rumah sakit memang menjadi harapan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pada dasarnya, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. 

Fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Ini artinya, rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan dilarang menolak pasien yang dalam keadaan darurat serta wajib memberikan pelayanan untuk menyelamatkan nyawa pasien.

Hal yang sama juga dipertegas dalam Pasal 85 UU Kesehatan terkait dalam hal keadaan darurat pada bencana,yang berbunyi:

... (1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.

... (2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu.

Terhadap rumah sakit yang tidak segera menolong pasien yang sedang dalam keadaan darurat dapat di pidanakan sebagaimana diatur dalam Pasal 190 ayat (1) dan (2) UU Nomor 44 tahun 2004 tentang Rumah Sakit. 

Sedangkan sanksinya diatur dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2),  dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 

Sementara bagi rumah sakit yang menolak pasien, dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Penulis adalah wartawan Kantor Berita RMOLJatim yang saat ini sedang menempuh pendidikan magister hukum di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.