Pilihan Kebijakan Penanganan Covid-19 Keliru, Guru Besar ITS: Bonus Demografi Malah Jadi Bom Demografi

Prof Dr Daniel M Rasyid/RMOLJatim
Prof Dr Daniel M Rasyid/RMOLJatim

Pilihan kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 dinilai keliru. Sebab pemerintah tidak menggunakan UU Kesehatan yang sudah diatur dalam konstitusi. 


Hal ini disampaikan Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Prof Dr Daniel M Rasyid saat berkunjung ke markas Gerakan Rakyat Bersatu Banyuwangi (GARABB) di Jalan Hoscokroaminoto, Banyuwangi pada Kantor Berita RMOLJatim, Minggu (1/8).

"Saya katakan Covid adalah faktual. Namun pilihan kebijakan pemerintah yang keliru karena tidak menggunakan UU Kesehatan. Pemerintah malah bikin PSBB hingga PPKM. Pemerintah memang tidak siap," jelas Daniel Rasyid.   

Ditambahkan Rasyid, langkah pemerintah yang membuat berbagai kebijakan dengan gonta ganti istilah sebenarnya tidak mengherankan. Pasalnya, selama ini kebijakan kesehatan Indonesia selalu didikte oleh kepentingan-kepentingan asing.

"Jadi sistem pelayanan kesehatan kita ini rapuh terhadap intervensi asing, terutama industri farmasi, dalam hal ini industri vaksin," ujarnya. 

Akibat dari kebijakan yang keliru ini, lanjut Rasyid, maka jangan heran jika pemerintah mulai kehilangan kepercayaan dari masyarakat. 

"Kalau sejak awal pemerintah jujur, tidak mungkin akan kehilangan kepercayaan masyarakat. Sekarang ini jadi complicated. Masyarakat cenderung tidak terlalu percaya. Kalaupun ada program-program baik, respon masyarakat setengah hati. Mereka terlanjur tidak percaya," imbuhnya. 

Penyebab utama hilangnya kepercayaan masyarakat, karena komunikasi pemerintah sangat buruk. 

"Manajemen komunikasi jelek sekali. Itu parah," tandanya. 

Karena itu menurut Guru Besar Perkapalan ITS ini, yang perlu dilakukan pemerintah daerah adalah jangan terlalu menggantungkan penanganan pandemi Covid-19 pada pemerintah pusat. 

"Saya kira kalau kita terlalu menggantungkan pada pemerintah pusat lagi, malah membingungkan. Jadi masyarakat terutama pemerintah daerah harus mulai bangkit dan mulai merumuskan sendiri kebijakannya. Sebab persoalan masing-masih daerah berbeda," urainya. 

Rasyid mencontohkan, antara Kota Surabaya dengan Banyuwangi tentu berbeda. Respon pemerintah daerah seharusnya berbeda-beda. Sebaliknya, kalau semua dipasrahkan pada pusat, maka dampak yang dialami daerah akan sangat besar. 

"Saya setuju karantina wilayah. Tapi aktivitas masyarakat daerah seharusnya tidak dimatikan apalagi menutup masjid. Sehingga kegiatan ekonomi lokal tetep hidup. Saya melihat kebijakan yang diadopsi pemrintah mengambil rumus kepiawaian dari WHO. Itu keliru. Untuk ukuran Inggris atau Italia itu tepat, karena mereka banyak orangtuanya. Kira-kira 70 persen orangtua dan 30 persen anak muda. Sedangkan di Indonesia sebaliknya," tambah Rasyid.  

Jadi, ketika kebijakan diberlakukan resep yang sama seperti di Italia dan Inggris, hal ini justru akan merugikan Indonesia terutama anak-anak muda. 

"Kita seharusnya membuat anak-anak muda aktif secara fisik dan mental. Bukan malah dilemahkan dan dimatikan secara fisik. Itu jelas merugikan anak muda yang justru lebih sehat kalau mereka bergerak secara lokal."  

"Saya sangat keberatan melihat anak-anak muda tidak pergi ke kampus, tidak pergi ke sekolah, dan tidak boleh bekerja. Sebab ini akan menjadi bom waktu. Mestinya jadi bonus demografi malah jadi bom demografi," demikian Daniel Rasyid.[dan]