Indonesia Abaikan Pendidikan Sebagai Tiang Negara

 Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

ADA pejabat yang menyatakan masuknya tenaga kerja asing (TKA) di masa pandemi Covid-19 gara-gara sumber daya manusia (SDM) rakyat Indonesia yang tidak mumpuni.

Akhirnya dengan alasan tersebut pemerintah memberikan izin kepada negara yang berinvestasi di Indonesia membawa tenaga kerja dari negerinya sendiri.

Kondisi ini tentunya menimbulkan polemik panas. Sebab pemerintah menyuruh rakyat di rumah dengan alasan untuk memutus mata rantai penularan virus Covid-19, sementara pemerintah membebaskan TKA  masuk Indonesia dengan leluasa.

Hal ini membuat rakyat kecewa dan marah. Kok rombongan TKA bisa  masuk Tanah Air saat pandemi Covid-19 sangat mengganas.

Padahal TKA yang masuk berasal dari Tiongkok yang merupakan negara awal penyebaran pandemi Covid-19. 

Sikap pemerintah ini seperti menjilat air liur yang sudah dibuang.

Tak Serius Urus Pendidikan 

Perlu dicatat kembali bahwa pendidikan adalah tonggak generasi penerus dan sumber daya manusia.

Oleh karena itulah dalam UUD 1945 ditetapkan bahwa negara dan pemerintah harus bertanggungjawab atas pendidikan.

Meskipun dalam praktik, pelaksanaan dan kenyataannya di lapangan tidak sejalan dan senapas dengan alinea ke empat UUD 1945 serta Pasal 31 ayat 1 hingga ayat 5.

Boleh dikatakan pendidikan masih jauh dari harapan.

Adapun hal itu terjadi dikarenakan mahalnya biaya yang membuat rakyat sulit mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

Disisi lain jumlah sekolah yang ada saat ini tidak seimbang dengan jumlah rakyat yang membutuhkan pendidikan.

Akhirnya pemerintah memberikan kesempatan kepada swasta untuk mendirikan dan mengelola sekolah. 

Sayangnya kontrol pemerintah terhadap sekolah swasta kurang serius dan memadai, sehingga biaya di sekolah swasta sangat mahal. 

Sebab pemerintah tidak membuat aturan untuk membatasi besar uang pangkal dan iuran bulanan.

Sementara pemerintah asyik kampanye uang sekolah gratis untuk sekolah negeri, namun sekolah negeri yang dimiliki pemerintah tidak sebanding dengan sekolah yang dimiliki swasta.

Untuk mendapatkan kesempatan belajar di sekolah swasta, rakyat harus menyediakan biaya yang sangat besar.

Bayangkan, hanya untuk uang pangkal atau uang pembangunan saja bagi murid baru dipatok biaya Rp 20 juta-Rp 50 juta. Belum lagi uang SPP per bulannya sebesar Rp 1 sampai Rp 2 5 juta.

Kalau dilihat dari situasi dan kondisi, sepertinya pemerintah sengaja membiarkan hal ini terjadi agar rakyat sulit mendapatkan pendidikan. Sebab hal ini sudah berlangsung begitu lama.

Bahkan agar sekolah swasta semakin bertumbuh dengan pesat, pemerintah memberlakukan sistem yang semakin sulit masuk ke sekolah negeri, seperti akreditasi dan kuota.

Pemerintah tidak peduli dengan hak konstitusi rakyat untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan murah.

Dengan menjamurnya pendidikan swasta pemerintah tidak lagi membuka sekolah negeri dan universitas yang baru untuk memenuhi hak konstitusi rakyat dalam dunia pendidikan.

 Pemerintah hanya mengelola sekolah negeri dan universitas yang ada dengan seadanya pula.

Pemerintah tidak menerangkan secara rinci apa fungsi dan manfaat  dari akreditasi dan kuota yang telah diberlakukan.

Apakah kalau lulusan sekolah akreditasi A dijamin jadi pejabat yang berbudi luhur serta tidak akan korupsi atau sekolah lulusan akreditasi B dan C harus jadi karyawan atau buruh.

Yang pasti untuk saat ini kemampuan pemerintah hanya mempersulit agar rakyat tidak mendapatkan pendidikan yang baik. Terlebih kepada rakyat yang tidak mampu, melalui aturan dan kebijakan.

Untuk jenjang mahasiswa, pemerintah memiliki universitas yang bagus dan ternama. Namun untuk masuk ke universitas yang baik dan bagus milik pemerintah tidak semudah yang dipikirkan.

Ada beberapa cara untuk masuk ke universitas milik pemerintah. Pertama masuk tanpa tes, masuk melalui tes atau masuk melalui uang pangkal yang begitu besar, bahkan mencapai ratusan juta.

Nah sekarang pertanyaannya, yang membuat sumber daya manusia rakyat Indonesia rendah, rakyat yang tidak mau bersekolah atau karena negara dan pemerintah tidak membangun dan mengelola dunia pendidikan yang baik bagus murah dan terjangkau?

Padahal Untuk mengelola dan memajukan pendidikan di Indonesia pemerintah membentuk satu kementerian beserta perangkatnya.

Malahan ada program pemerintah wajib sekolah 9 tahun, sekolah gratis. 

Sayangnya tidak dipenuhi dengan insfratuktur dan gedung yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dan hak konstitusi rakyat.

Amandemen UUD 1945 Pasal 31 ayat 4 negara dan pemerintah wajib tiap tahun mengeluarkan anggaran dari APBN sebesar 20% untuk pendidikan.

Tidak ada juga gunanya anggaran 20% dikeluarkan dari APBN kalau pengelolaan pendidikan alakadarnya seperti sekaran.

Seharusnya dengan adanya anggaran 20% dari APBN untuk pendidikan mutu pendidikan di Indonesia sudah harus mumpuni. 

Jangan-jangan biaya 20% yang dari APBN habis untuk operasional, gaji, honor dan memenuhi alat kantor di kementerian.

Yang paling asyik, meskipun di saat pandemi Xovid-19 ini,  pemerintah melarang siswa-siswi TK, SD, SMP, SMA, mahasiswa tatap muka di sekolah maupun universitas.

Siswa dan mahasiswa harus belajar daring dari rumah, tetapi dalam hal bayar membayar pemerintah tidak membuat aturan yang baru,  tetap sesuai aturan dan jadwal untuk murid baru yang masuk sekolah swasta, wajib membayar uang pangkal/pembangunan. 

Padahal mereka tidak memakai fasilitas sekolah, iuran bulanan pun tetap naik.

Apakah menteri dan seluruh jajarannya tahu dan mengerti dengan hal tersebut dibatas? 

Hanya ada dua kemungkinannya, tahu tapi tidak membuat kebijakan baru untuk meringankan beban rakyat, atau tahu tapi pura-pura tidak tahu.

Kalau melihat  ide Mendikbud yang mau memaksakan anak sekolah tatap muka dalam situasi dan kondisi pandemi Covid-19 semakin tinggi serta tidak menentu, tidak tertutup kemungkinan juga biar generasi penerus Indonesia punah, maupun menurun kemampuannya.

Sebab tekanan dan rasa frustrasi yang dialami anak-anak saat pandemi ini akan mempengaruhi mental dan pikiran mereka dalam belajar. 

Setidaknya sebuah kenangan pahit “generasi korban virus pandemi Covid-19”.

Pertanyaannya, kenapa sekolah swasta setiap penerimaan murid baru diwajibkan membayar uang pangkal atau uang pembangunan? 

Apakah setiap tahun ada pembangunan? Atau semahal apakah pembangunan sekolah swasta? Kenapa Pemerintah dan Mendikbud membiarkan dan mendiamkannya?

Mungkinkah SDM generasi kedepan akan lebih baik dan maju sesuai amanah alinea ke empat dan Pasal 31 ayat 1 s/d 5 UUD 1945 dapat tercapai, kalau dunia pendidikan dikelola seperti saat ini?

Sayangnya pemerintah dan negara kurang paham dan mengerti bahwa rakyat memiliki hak konstitusi yang tidak dapat diganggu gugat untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dengan biaya yang murah. 

Yang harus disiapkan dan disediakan pemerintah dalam situasi apapun. Apakah pemerintah dan negara tidak mampu atau tidak mau menjalankan amanah alinea ke empat dan Pasal 31 ayat 1 s/d 5 UUD 1945, bahwa salah satu tugas dan tanggungjawab negara dan pemerintah adalah mencerdaskan bangsa? 

Kita tunggu jawaban pemerintah.

Dengan situasi ini maka terciptalah generasi karbit-mengkarbit, caci-mencaci, hujat-menghujat, atau generasi aji mumpung, meskipun semua paham dan menyadari bahwa buah yang dipaksa matang dengan karbit akan memiliki rasa yang tidak enak, bahkan akan lebih cepat busuk daripada buah yang matang di pohon.

Kenapa terjadi demikian? Karena pemerintah tidak berniat untuk mencerdaskan bangsa sesuai amanah UUD 1945.

Semoga Tuhan memberkati rakyat Indonesia.

Tom Pasaribu

Direktur Eksekutif KP3-I /Mahasiswa Ilmu Hukum UKI