Skenario Pandemi: Berhala Vaksin dan Tipudaya WHO

Ilustrasi / net
Ilustrasi / net

THE New York Times menurunkan berita, Amerika Serikat mengalami tren penurunan angka kematian selama pandemi akibat Covid-19 dari bulan April hingga Juli 2021. New York adalah denyut nadi Amerika dan pernah menjadi episentrum Covid-19 di negeri Paman Sam, tetapi mulai melonggarkan aturan social distancing dikarenakan terjadi penurunan jumlah warga New York yang terpapar virus Corna, terutama karena banyaknya rakyat Amerika Serikat yang sudah divaksin.

Jika kematian manusia akibat Covid-19 diukur berdasarkan statistik dan parameter warga negara yang divaksin dijadikan indikator terbebas dari ancaman terpapar Corona virus, lantas di manakah nilai-nilai kemanusiaan universal yang ditancapkan dalam konstitusi Amerika Serikat yang menggaungkan hak asasi manusia?

Sekilas berita yang dimuat The New York Time di atas tidak ada yang aneh. Tetapi bagi pembaca yang kritis akan terbersit pertanyaan bernada menggugat dan memicu kontroversi serta polemik tentang vaksinasi yang kini menjadi agenda besar WHO untuk dijalankan oleh para pemimpin di berbagai negara. Umat manusia sedang digiring menuju kehidupan dunia baru yang penuh ancaman dengan dalih "proteksi" menerapkan protokol kesehatan.

Berita dalam industri media massa kapitalisme liberal akan menghasilkan keuntungan berlipat ganda ketika menjadi produsen issue dan corong propaganda, sebab berita yang ditayangkan menjadi rujukan informasi dunia tentang fenomena yang terjadi atas sebuah peristiwa yang sedang berlangsung di jantung kota sebuah negara adidaya.

Membentuk opini publik dan melancarkan psy war di balik teks narasi yang ditulis media massa mainstream tengah menjadi primadona sexy dalam menggerakkan mesin industri media massa. Perang issue seringkali mendegradasi fakta, sehingga berita yang diturunkan bersifat distorsi informatif. Kepentingan ekonomi kapitalisme liberal memanfaatkan hal ini untuk mengeruk keuntungan dari issue perang melawan Covid-19.

Perang pandemi melawan Covid-19 adalah perang kontra hard power yang lebih mengandalkan serangan soft power di medan pertempuran nir-militer melalui lompatan besar di bidang riset kesehatan dan kekuatan big data yang sepenuhnya harus dilindugi oleh perangkat hukum, karena tujuan akhir serangan soft power membongkar konspirasi global demi menjaga tatanan peradaban umat manusia yang tengah ditata ulang oleh suatu kekuatan besar yang bergerak di balik layar.

Perang soft power menaklukan Covid-19 mengusung misi tentang perlawanan kolektif yang semestinya dilakukan para pemimpin negara untuk merobohkan hegemoni raksasa industri dunia farmasi yang dikuasai kartel dari jaringan mafia negara-negara super power yang berlindung di balik jubah hipokritme World Health Organization (WHO) dan lembaga keuangan internasional.

Sebuah pertempuran sengit melawan pandemi harus ditafsirkan sebagai perang politik dan ekonomi universal melawan teror global yang diciptakan oleh pemilik kuasa kapital melalui Covid-19. Pandemi adalah medan perburuan dollar kapitalisme liberal yang dijustifikasi WHO untuk di-amin-kan gaungnya ke berbagai penjuru dunia. Covid-19 dalam reinterpretasi perang mutakhir adalah serdadu neo-kontemporer yang berwujud virus pada konteks skema penjajahan dunia baru.

Dunia dengan tatanan lama yang lapuk sudah dikuburkan. Dunia baru sedang bergerak ke arah yang tidak terduga. Patut diduga pandemi Covid-19 adalah perangkap yang ditebar 2 imperium besar Yahudi dan Cina dengan memanfaatkan WHO sebagai instrument politik dan legitimasi ekonomi di sektor kesehatan untuk menggerakan dunia ke arah skenario pandemi. Tujuan akhirnya memperdagangkan vaksin ke seluruh negara demi kepentingan mega bisnis industri dunia farmasi.

Skenario pandemi tidak dirancang secara prematur, status pandemi yang ditetapkan WHO merupakan skenario besar kuasa pemilik kapital untuk mengguncangkan tatanan dunia lama dan menyeret berbagai negara masuk ke dalam perangkap plandemi (bukan pandemi) yang diciptakan tirani pemerintahan dunia baru.

***

Kecurigaan menggeliat ketika pada tahun 2015 merebak virus H5N1 di Indonesia atau yang lebih dikenal publik virus flu burung. Virus H5N1 pada tahun 2004 pernah menerjang Vietnam, Thailand  dan Cina. Menteri Kesehatan RI pada waktu itu, Dr. Siti Fadilah Supari yang memiliki basic peneliti dan seorang dokter merasa heran saat virus flu burung menyebar dengan cepat dan secara tiba-tiba banyak pedagang farmasi menawarkan rapid diagnostic test dan vaksin kepada Siti Fadilah.

Atas nama tegaknya kedaulatan negara, Siti Fadilah telah menyingkap tabir atas merebaknya virus H5N1 dan mencium bau busuk tipu daya WHO dan neo-kolonialisme industri farmasi Amerika Serikat tentang adanya konspirasi global yang melahirkan ketidakadilan dalam penanganan masalah kesehatan di dunia internasional. WHO secara sepihak memberlakukan ketentuan untuk mengirimkan sample virus yang diambil dari korban yang meninggal akibat virus tersebut, dan dikirim ke WHO CC (Collaborating Center) agar dibuat seed virus.

Kemudian vaksin pun dibuat yang bersumber dari seed virus. Ironi besar muncul mengamati produsen vaksin adalah perusahaan asing dari negara adidaya yang tidak terkena virus H5N1. Tetapi vaksin yang dibuat telah didistribusikan untuk dijual ke seluruh dunia dan dikemas dengan mitos untuk meningkatkan imunitas tubuh manusia.

Dalam buku 'Saatnya Dunia Berubah,' dengan tegas Siti Fadilah mengeluarkan kebijakan melarang pengiriman sample virus kepada WHO atas dasar kecurigaan yang memicu perlawanan terhadap Global Influenza Surveilance Network (GISN) yang dijadikan tameng WHO untuk memaksa mengirimkan sample virus.

Menarik garis demarkasi pada tirani dan berani melawan sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat terhadap hegemoni WHO dalam perang soft power melawan plandemi Covid-19 adalah jalan pedang para ksatria kemanusiaan untuk membebaskan peradaban umat manusia dari skenario pembunuhan massal yang dijalankan secara global dan sistematis oleh para elit globalis.

Selanjutnya, mari kita tengok KTT Davos. Di awal tahun 2021 World Economic Forum (WEF) menggelar KTT Davos di Swiss secara virtual dengan mengambil latar krisis politik, ekonomi dan sosial yang diakibatkan pandemi Covid-19. WEF yang terdiri dari para pemimpin dunia, delegasi institusi dan organisasi internasional, para elit dan aktivis global mengusung tema menghadapi Covid-19 dan membahas ketersediaan vaksin bagi negara-negara berkembang, serta issue ancaman menghadapi perubahan iklim yang tidak kalah mengerikan.

Di forum dunia internasional KTT Davos, Direktur Eksekutif WEF, Klaus Schwab menyampaikan peringatan bahwa dampak ekonomi dan sosial akibat pandemi Covid-19 dapat menyebabkan kerusuhan sosial, fragmentasi politik dan ketegangan geopolitik. Perlu diketahui, WEF didirikan oleh Klaus Schwab.

Kepada para pemimpin, Klaus Schwab memberikan pernyataan tentang pentingnya memulihkan kepercayaan dunia, “Kita harus memperkuat kembali kerja sama global secara subtansial dengan melibatkan semua pemangku kepentingan ke dalam solusi dari masalah yang dihadapi, dan khususnya para pemimpin bisnis harus terlibat.”

Seperti pembahasan di awal, tidak ada yang aneh dari pernyataan Klaus Schwab, tetapi teks narasi dari sebuah peristiwa besar yang digelar organisasi internasional di tengah serangan Covid-19 memunculkan sejumlah tanda tanya jika dibedah dalam tafsir politik dan ekonomi global.

Di balik teks narasi besar yang digaungkan WEF di KTT Davos, ada pesan terselubung dan membuat pikiran kita sampai pada kesimpulan anti tesis, "Dunia dalam genggaman kekuataan besar yang tengah menjajah peradaban umat manusia melalui skenario pandemi Covid-19 dan diselundupkan melalui kebijakan asing yang agresif.”

Penulis adalah praktisi hukum, pemerhati politik dan peneliti hukum pada Don Adam Caring Academy