Merah Putih

AL MAKIN
AL MAKIN

MERAH PUTIH, bukan hitam putih. Hitam putih berarti hanya dua kubu yang bersaing atau bertarung, antara kebajikan dan kejahatan. Gelap lawan terang. Hitam putih berarti pihak lawan bicara hanya diberi dua kesempatan: menjadi kawan atau musuh. 

Retorika hitam putih, pernah dilontarkan Goerge W. Bush ketika berpropaganda melawan terorisme: You are either with us or against us (Apakah Anda bersama kita atau melawwan kita).

Para komentator dunia menyoroti retorika ini, yang berarti memposisikan mitra bicara jika bukan teman adalah musuh. Pembagian biner tegas ini menggambarkan ajaran kuno Mazdakasime, Manichianisme, atau Zoroastrianisme, dasar ajaran lama Persia, yang masih tersisa diwarisi banyak ajaran.

Namun, dunia tidak hitam putih. Pertarungan tidak sekadar dua kubu. Dunia jauh rumit dari hitam dan putih.

Merah putih menurut para pejuang dan pendiri bangsa ini sudah lama digunakan para nenek moyang di kerajaan-kerajaan kuno dan masyarakat luas sebelum penjajahan. Warna bendera, pertanda, doa, dan harapan.

Umbul-umbul, jajanan, bubur, kain ikat, dan lain-lain. Gombloh sang penyanyi legendaris asal Surabaya mengabadikan makna merah putih dalam lagunya Gebyar-Gebyar.

Dalam liriknya, merah adalah warna darah, sedangkan putih adalah warna tulang. Keduanya menandakan patriotisme, kecintaan terhadap Tanah Air.

Merah putih tentu di bulan Agustus ini berkibar dimana-mana. Di jalan-jalan, rumah-rumah, kantor-kantor, istana, gerbang-gerbang, alon-alon, dan mobil-mobil.

Merah putih sebagai penanda bulan Agustus: kering di bagian Barat Indonesia, basah di bagian Timur negeri ini.

Zaman milenial ini merah putih akan terasa, jika ada anak bangsa mengukir prestasi. Ini baru terasa gegap nasionalisme sesungguhnya. Tanpa prestasi baru, bulu roma tidak mampu berdiri.

Greysia Polii dan Apriyani Rahayu baru saja mempersembahkan medali emas dalam Olimpiade Tokyo cabang bulutangkis, dengan memakai jaket merah putih.

Sedikit ada hitamnya. Tepatnya, di panggung kemenangan itulah letak patriotisme dan nasionalisme. Baik Greysia dan Apriyani, ataupun para pemirsa turut terharu dengan merah putihnya.

Olimpiade tidak terasa dan kesadaran berbangsa tidak terpicu, jika tidak meraih medali.

Kejuaraan dalam olah raga merupakan simbol patriotisme saat ini, bukan lagi berperang, angkat senjata, menumpas pemberontakan, mengusir musuh di perbatasan, atau menolak penjajah yang datang lagi.

Semua bentuk bentrokan antar manusia sudah menjadi mitos dalam benak kita. Kita sedang berdamai, tidak berperang. Musuh kita yang sebenarnya adalah diri sendiri, bangsa ini sendiri.

Musuh kita adalah kebodohan, kemalasan, ketakutan, fanatisme, kesempitan berfikir, intoleransi, dan hal-hal buruk yang melekat, sehingga itu menghambat kita untuk mengukir prestasi. Itulah merah putih saat ini.

Jerman, ambilah contoh, saat ini menumbuhkan kebanggaan pada warna benderanya dan menjadikannya kampanye anti-rasialisme: hitam, merah, kuning.

Jerman dijadikan negara yang ramah bagi semua warna kulit ras. Orang hitam, orang merah, dan orang kuning tetap diterima.

Memang, setiap laga olah raga selalu dijadikan kampanye anti-rasialisme dan anti-diskriminasi.

Itu pekerjaan rumah semua bangsa di dunia. Jerman berusaha terus berperang melawan sejarah masa lalunya, trauma sejarah rasialis yang berakhir dengan tragedi pembantaian massal.

Mungkin Indonesia bisa merenung, bagaimana merah putih dijadikan tempat mengadu, rekonsiliasi, meluaskan pandangan, dan melihat masa lalu demi masa depan.

Merah putih, bukan hitam putih, tetapi warna akamodasi, perdamaian, dan ramah.

Putih adalah warna terkuat. Dalam melukis putih merupakan unsur yang ditambahkan untuk semua warna, agar warna  yang kita goreskan di kanvas, baik di media aklirik atau cat minyak, tidak terlalu menyolok dan selaras dengan warna lain.

Putih unsur terpenting dalam melukis. Kanvas asli berwarna putih, dalam teori lama klasik harus diberi warna dasar, atau tone.

Warna merah adalah unsur terberani, terang dan panas. Biru warna dingin. Merah putih di langit yang biru terasa damai dan tenang.

Perayaan dan upacara itu seperti ritual, permulaan yang diulang-ulang agar sejarah diulang lagi di  imaginasi kita.

Peristiwa proklamasi, penjahitan merah putih, semangat para pemuda deklarasi sumpah pemuda, upaya mempertahankan kemerdekaan, dan sejarah pengorbanan para pendahulu.

 Sejarah berulang, tidak sama persis, tetapi masa depan ditentukan oleh masa lalu. Tidak semua bangsa di dunia mempunyai sejarah yang indah. Sebaliknya kebanyakan bangsa mempunyai sejarah kelam.

Amerika yang begitu besar juga ditandai dengan okupasi, sejarah perbudakan, dan diskriminasi. Jepang bangsa yang terdepan dalam teknologi dan inovasi diwarnai dengan peperangan antar shogun dan samurai.

Eropa merupakan aktor utama Perang Dunia I dan II. Semua membutuhkan penyembuhan dan menjadikan masa lalu sebagai bahan renungan.

Ada juga bangsa yang tidak begitu besar di masa lalunya, namun mampu memimpin saat ini dalam teknologi dan ekonomi: Korea.

Dibanding dengan China yang merupakan bangsa tua dengan sejarah kekaisaran dan dinastinya, Korea terasa tidak mempunyai sejarah masa keemasan.

Sejarah penting, tetapi bukan segala-galanya. Masa lalu tempat belajar, bukan untuk menetap dan berdiam diri lama. Masa lalu sudah terjadi.

Merah putih, mempunyai sejarah. Tetapi masa saat ini jauh lebih penting. Prestasi lah yang menentukan berkibarnya. Semangat inovasi yang menjadikan merah putih menitikkan air mata.

Penulis ada Rektor UIN Sunan Kalijaga