Penulis “Di Tepi Amu Darya”: Ada Tanda-tanda Taliban Mengalami Moderasi

Mullah Abdul Ghani Baradar/net
Mullah Abdul Ghani Baradar/net

Dalam beberapa tahun belakangan ini terlihat tanda-tanda kelompok Taliban mengalami moderasi sikap, dari yang sebelumnya digambarkan kaku dan tidak dialogis, menjadi lentur dan terbuka, serta bersedia berdialog dengan pihak lain untuk membicarakan perdamaian di Afghanistan.


Awalnya, adalah Presiden Afghanistan Ashraf Ghani yang di akhir Februari 2018 mengajak damai Taliban demi menyelamatkan Afghanistan. Undangan itu disampaikan secara terbuka dalam Konferensi “Peace Security Cooperation” di Kabul yang juga dihadiri Wakil Presiden RI ketika itu, Jusuf Kalla.

Dua tahun kemudian, di akhir Februari 2020, Mullah Abdul Ghani Baradar yang merupakan salah seorang pendiri Taliban menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah AS yang diwakili diplomat senior AS keturunan Afghan, Zalmay Mamozy Khalilzad, di Doha, Qatar.

Kemudian di bulan September 2020 giliran pemerintah Afghanistan yang menandatangani perjanjian damai dengan Taliban, juga di Qatar. Pemerintah Afghanistan diwakili Ketua Rekonsiliasi Nasional Abdullah Abdullah, sementara Taliban diwakili salah seorang petinggi kelompok itu, Sheikh Abdul Hakim Haqqani.

Tanda-tanda moderasi Taliban ini disampaikan wartawan senior Teguh Santosa dalam diskusi RMOL World View bertema “Afghanistan di Genggaman Taliban” yang diselenggarakan Senin sore (16/8).

“Mereka (Taliban) bersedia hadir dalam pertemuan damai di Qatar, dan menandatangani dua perjanjian damai dengan pemerintah Afghanistan dan Amerika Serikat. Pejabat yang hadir juga bukan sekadar ketua dewan pengurus anak ranting atau cabang, tetapi ketua DPP,” ujar penulis buku “Di Tepi Amu Darya” ini mengilustrasikan.

Buku “Di Tepi Amu Darya” yang diterbitkan pertama kali tahun 2018 adalah kumpulan reportase Teguh saat melihat ketegangan di Afghanistan di tahun 2001. Saat itu perjalanan Teguh memasuki Afghanistan terhenti di kota Termez, Uzbekistan, persis di tepi Sungai Amu Darya yang memisahkan Uzbekistan dengan Afghanistan.  

Teguh mengatakan, salah satu yang melegakan dari perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Taliban ini adalah proses yang cepat, tanpa melibatkan kontak senjata yang mematikan. Walaupun di sisi lain, dia mengakui belum ada laporan akurat mengenai hal itu.

Ketika memasuki Istana Arg, Taliban tidak melakukan pengrusakan. Mereka hanya menurunkan bendera Republik Islam Afghanistan dan menggantinya dengan bendera putih bertuliskan dua kalimat syahadat yang mereka gunakan ketika berkuasa. Taliban juga telah mengubah kembali nama negara itu menjadi Keamiran Islam Afganistan.

Hal lain yang dilakuan Taliban adalah berjanji tidak akan membalas dendam dan melakukan pembunuhan politik, serta memastikan keamanan di Afghanistan.

Namun Teguh memberikan catatan, perebutan kekuasaan yang dilakukan Taliban hari Minggu kemarin (16/8) sama sekali di luar dari kesepakatan yang telah ditandatangani. Dengan demikian ini melahirkan pertanyaan mengenai legitimasi atau keabsahan kekuasaan Taliban atas Afghanistan di mata dunia internasional.