Taliban, Antara Mulut Harimau dan Mulut Buaya

Ilustrasi/Ist
Ilustrasi/Ist

AKHIRNYA Thaliban berhasil merebut kekuasannya kembali setelah diambil alih oleh Amerika Serikat yang semula adalah sekutunya dalam mengusir tentara Uni Soviet.

Tapi begitu Uni Soviet angkat kaki dari bumi Afghanistan, Amerika Serikat mulai menggerogoti kekuasan Thaliban dan membentuk citra buruk tentang rezim tersebut, dengan menuduh mereka tidak mengindahkan HAM dan sebagai sarang teroris yang sangat-sangat merugikan nama baik Thaliban.

Apalagi dengan peristiwa 11 September 2001 yang mengerikan itu. Di mana, sebuah pesawat ditabrakkan oleh pilotnya ke sebuah gedung pencakar langit di New York yang mengakibatkan gedung itu hancur berkeping-keping dengan menuduh Osamah bin Laden dan rezim Thaliban sebagai otak dan dalangnya.

Padahal Osamah bin Laden adalah  seorang pengusaha kaya yang telah diajak oleh Amerika untuk membiayai pengusiran Uni Soviet. Tetapi begitu tujuan Amerika tercapai, dan Uni Soviet hengkang dari Afghanistan, Osamah bin Laden juga dimusuhi dan dikejar-kejar oleh Amerika. Sehingga praktis dengan demikian, rezim yang berkuasa di Kabul yang dipegang oleh Hamid Karzai menjadi rezim boneka dari Amerika.

Tetapi Thaliban tidak menyerah, dan mereka melakukan perang gerilya yang sangat merepotkan Amerika, bahkan tidak hanya secara militer tapi juga secara financial. Di mana, selama dua dekade tersebut Amerika telah menghabiskan anggarannya lebih dari 1 Trilliun dolar Amerika Serikat. Sehingga akhirnya setelah 20 tahun berlalu, Presiden Donald Trump kemudian dilanjutkan oleh Joe Biden, setelah bernegosiasi dengan Thaliban memutuskan untuk menarik pasukannya secara total dari Afghanistan, selambat-lambatnya tanggal 31 Agustus 2021.

Tapi sekitar dua minggu sebelum tenggat waktu tersebut, Thaliban sudah bisa merebut ibu kota Kabul dan merebut kekuasan, sehingga presidennya terpaksa melarikan diri ke luar negeri.

Satu hal yang sangat penting untuk kita kemukakan di sini adalah, begitu mereka berhasil menumbangkan rezim boneka tersebut, penguasa Thaliban dengan cerdik memberikan penjelasan kepada dunia, bahwa mereka akan menghormati HAM dan memberikan kebebasan kepada perempuan untuk bergerak dan beraktifitas, asal mereka memakai hijab.

Hal ini tentu saja telah berhasil membuat simpati dunia, sehingga kesan buruk tentang Thaliban selama ini mulai terkikis secara signifikan, dan China sebagai negara yang bertetangga dengannya, dengan cerdik sekali memanfaatkan situasi yang ada.  Di mana, pemerintah China menyatakan dirinya siap untuk bekerjasama dengan rezim Thaliban.

Hal ini tentu saja akan di sambut baik oleh pemerintah Thaliban, karena mereka yakin memang tidak akan ada negara-negara maju di dunia sekarang ini yang akan bisa membantu mereka bagi memulihkan ekonomi negara mereka yang sudah hancur lebur  tersebut, kecuali hanya China yang memang memiliki kekuatan ekonomi besar di dunia saat ini.

Tetapi kalau Thaliban tidak berhati-hati dalam menjalin kerjasama, maka lewat kekuatan kapitalnya pemerintah China tentu akan bisa menjepit rezim Thaliban lewat jebakan hutangnya (debt trap), sehingga tidak mustahil nasib buruk akan terulang kembali. Sehingga, peribahasa lepas dari mulut harimau masuk ke dalam mulut buaya tidak mustahil akan bisa menimpa mereka.

Dan itu, tentu saja tidak kita inginkan karena kita berharap Afghanistan akan bisa menjadi sebuah negara maju, dan dihormati serta benar-benar berdaulat baik secara ekonomi maupun politik.

Penulis adalah pengamat sosial ekonomi dan keagamaan yang aktif sebagai Ketua PP Muhammadiyah sekaligus Wakil Ketua Umum MUI