Pemerintah dan Covid-19

Dr. Rizki Kartika, S.Psi, M.Si
Dr. Rizki Kartika, S.Psi, M.Si

KURANG LEBIH 2 (dua) tahun sudah Indonesia dilanda pandemi Virus Covid 19. Virus ini tercatat mulai menyebar dari Provinsi Wuhan di Negara China. Kemudian menyebar dengan cepat keseluruh dunia hingga sampai ke Indonesia. 

Disisi lain diskursus antara mereka yang Pro dan Kontra dari para ahli akan bahayanya virus ini, terus berkembang sampai saat ini. Bisa kita saksikan baik di media elektronik, media cetak hingga media berita online, masyarakatpun meresponnya dengan respon yang cenderung gaduh dimedia sosial dengan mengungkapkan argumennya tentang virus ini. 

Biasanya kekosongan informasi yang valid, berimbang dan komprehensip bisa membuat masyarakat resah, terlebih kebijakan Pemerintah dengan memberlakukan upaya pembatasan sosial dengan mekanisme  PSBB diawal pandemi hingga PPKM saat ini, seiiring berjalannya waktu.

Langkah-langkah strategis dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk menghadapi pandemi ini tidak dapat dikatakan tanpa resiko, terutama landasan Hukum dari kebijakan yang diberlakukan.

Awalnya akan menggunakan Undang-undang Karantina namun kebijakan ini dinilai penuh dengan resiko bagi keberlanjutan pemerintahan karena minimnya anggaran yang harus men-cover hajat hidup seluruh masyarakat Indonesia.

Lantas, Pemerintah kemudian memberlakukan kebijakan yang berdasarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19), yang dikeluarkan pada tanggal 31 Maret 2020.

Pemberlakukan ini tetap memiliki resiko yang tetap berat dalam penanganan Pandemi Covid saat ini, resiko berat ini diantaranya adalah; resiko kemanusian, resiko economi, resiko keamanan, resiko mobilitas dan resiko stabilitas nasional. 

Pertama, resiko kemanusian yang diterima oleh Negara adalah hilangnya nyawa warga negara, baik itu petugas tenaga kesehatan hingga warga yang terkena virus ini, dengan memberikan pedoman acuan kurva status Herd Imunity  yang sulit diprediksi.

Dinamika lapangan yang terlalu banyak ragamnya cukup membuat trauma sosial yang sifatnya psikis. Beban trauma sosial ini yang paling mahal harganya. Bisa dibayangkan hampir diseluruh stasiun Televisi Nasional mengabarkan berita bertajuk Covid selama 2 tahun berturut-turut tanpa henti, maka saya pastikan separuh warga negara Indonesia mengalami “trauma sosial” terutama bagi warga negara usia lanjut, terlebih mereka yang menderita kormobid. 

Selain itu Covid 19 secara kemanusian memberikan  “budaya” baru, mungkin lebih tepatnya kita sebut dengan “budaya jarak dan waspada” seperti Shalat dengan shaf berjarak 1 meter, duduk berjarak, ngobrol berjarak, seolah membenarkan ada batasan yang tipis akan hidup dan matinya seseorang. 

Sedangkan dahulu sebelum Covid 19 budaya akan guyubnya masyarakat indonesia memiliki kesan erat, membumi, terbuka, santun, ramah dengan senyum yang mengembang, juga hangat dengan penuh sentuhan basa basi yang luhur. Saat ini budaya asli milik bangsa Indonesia tersebut harus diakui telah dicederai oleh hadirnya Covid 19.

Kedua, resiko ekonomi yang menerpa cukup signifikan, yang terlihat dari indeks pertumbuhan ekonomi nasional yang tidak pernah menyentuh angka 7 %. Sebelum Pandemi dan pernah anjlok karena pandemi, namun seiring waktu dari laporan dari web resmi Menko Bidang Perekonomian RI bahwa dibulan Agustus 2021 pertumbuhan ekonomi Republik Indonesia pada Triwulan II-2021 tumbuh sebesar 7,07%, tertinggi dalam 16 Bulan terakhir. 

Raihan ini cukup menarik dengan kata lain geliat ekonomi mulai terlihat terutama di sektor ekspor yang tumbuh sebesar 31,78%, disusul dengan pertumbuhan impor sebesar 31,22%. Namun anehnya dibeberapa daerah memiliki kondisi ekonomi yang tidak sesignifikan angka-angka tersebut. 

Sebut saja Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan data dari BPS bahwa Ekspor Non Migas pada bulan Juli 2021 dengan nilai US$ 438,33 juta, naik 9,25% dari bulan Juni 2021. Dengan perincian Ekspor Non Migas sebesar US$ 433,59 juta, naik 10,78% dibanding bulan Juni 2021, dan naik 59,66% dibandingkan bulan Juli 2020. 

Sedangkan Ekspor Migas pada bulan Juli 2021 mencapai US$ 4,75 juta, turun 51,65% dibanding bulan Juni 2021, dan turun sebesar 79,69% bila dibandingkan bulan Juli 2020. Maka naiknya nilai ekspor non migas Juli 2021 dari tahun 2020 memiliki interpretasi ketahanan ekonomi masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan lebih baik dibandingkan Ketahanan Ekonomi Penyelenggara Negara dalam hal ini Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah bila dilihat dari nilai sektor Ekspor Migas yang turun. 

Dengan kata lain terbuka kemungkinan terjadi defisit anggaran di Pemerintah Daerah, bisa saja untuk tahun Anggaran 2021 yang sedang berjalan dan akan berlangsung efeknya untuk Tahun Anggaran 2022. 

Berdasarkan hal tersebut melakukan efesiensi dari beberapa Program Pemerintah mungkin dapat dikatakan sebagai langkah yang tepat untuk dilakukan. Terutama berkenaan dengan anggaran belanja langsung pegawai untuk mensiasati defisit anggaran ini, terlebih adanya kuota tambahan tenaga kerja baru yang saat ini sedang dan akan direkrut yang jumlahnya mulai dari ribuan hingga puluhan ribu dalam proses Seleksi CPNS dan Calon PPPK disetiap Pemerintah Kabupaten /Kota.

Hal ini tentunya berdampak kepada anggaran belanja langsung pegawai dalam postur APBD Pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing. Maka saat ini ada Pemerintah Daerah di Provinsi Sumsel yang telah mengantisipasi secara dini dengan memotong Tunjangan Daerah bagi Pegawainya beberapa saat yang lalu, dan adapula yang mengurangi kegiatan perjalanan dinas dan sebagainya. 

Ketiga, resiko keamanan saat pandemi dengan hilangnya pekerjaan/mata pencarian. Pengangguran karena Covid 19 tumbuh sebesar 27.800 orang dan yang tidak bekerja karena Covid 19 sebanyak 16.000 orang (data BPS) akan ada kaitannya dengan indek kriminalitas di Provinsi Sumsel seperti curanmor, curas, perampokan, penipuan dan sebagainya yang sangat mungkin akan meningkat. Ini adalah beban yang nyata yang perlu menjadi konsen semua pihak terutamanya POLRI.

Keempat, resiko mobilitas saat ini sangat terasa berat biayanya bagi mereka yang berada di Pulau Jawa dan Bali, dan umumnya bagi mereka yang harus melakukan perjalanan ke luar daerah. Namun kendala ini sedikitnya sudah dapat diurai oleh Pemerintah dengan program vaksinasi nasional tersertifikasi.

Hanya saja, masih menyisakan beberapa persoalan yang tersisa dengan mahalnya biaya test PCR bagi mereka yang akan menggunakan transportasi udara, sementara di sisi lain ulasan alat test covid ini cukup menyita perhatian masyarakat indonesia baik itu yang pro dan kontra dari kebijakan syarat penumpang maskapai penerbangan ini.

Kelima, resiko stabilitas nasional secara holistik mau tidak mau akan muncul gesekan antara petugas dari satgas Covid 19 dengan masyarakat yang harus bersitegang dan bahkan juga mempengaruhi sistem peradilan di negeri ini. Keadilan sedang diuji, karena tidak sedikit dari kebijakan Penanganan Covid ini menghasilkan persidangan pidana baik itu tentang pelanggaran social distancing maupun penggunaan anggarannya disetiap level Pemerintahan. 

Maka Kelima resiko ini saya lebih suka menyebutnya dengan dengan “Dinamika Covid 19 dan Peralihan Peradaban Budaya Masyarakat Indonesia”. Sebab secara teori administrasi telah terjadi pergeseran paradigma public service / pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah yang kini bergeser menjadi public self service karena fasilitas kesehatan negara tidak bisa dinikmati oleh rakyatnya disaat tsunami pandemi covid 19 melanda. 

Sehingga muncul istilah Isolasi mandiri (Isoman), beli obat sendiri dengan biaya pribadi dsb, namun hikmah dari pandemi ini adalah ternyata Bangsa Indonesia mampu untuk mandiri menghadapi pandemi ini, dan semoga dapat lebih kuat untuk menyambut masa Endemi, karena diprediksi akan banyak muncul varian baru dari Covid 19 selain varian Delta dikemudian hari, bukankah demikian?