Dubes RI Untuk Kuwait: Keterwakilan Perempuan di Eksekutif dan Yudikatif Tidak Tegas

Dutabesar RI untuk Kuwait Lena Maryana Mukti/Net
Dutabesar RI untuk Kuwait Lena Maryana Mukti/Net

Representasi perempuan pada lembaga pembuat kebijakan non legislatif, masih perlu mendapat perhatian lebih. Pasalnya, tidak ada aturan formil terkait syarat minimal dari representasi perempuan.


Begitu pandangan yang disampaikan Dutabesar RI untuk Kuwait Lena Maryana Mukti dalam Forum Indonesia Emas Spesial Songsong 55 Tahun Kohati dengan tajuk “Perempuan-perempuan Tangguh untuk Indonesia Tumbuh” yang digelar Sabtu malam (11/9).

Menurutnya, kondisi ini berbeda dengan DPR yang sudah berhasil memasukkan ketentuan minimal 30 persen perempuan di daftar calon legislatif dan juga 30 persen di struktur kepemimpinan partai.

"Tetapi kalau perempuan yang eksekutif dan yudikatif, itu angkanya masih kecil sekali," sambungnya.

Politisi senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengatakan, memang masih banyak pertanyaan mengapa keterwakilan perempuan di politik hanya dipatok di angka 30 persen.

Dijelaskan Lena, angka 30 persen adalah angka wajib yang harus dipenuhi. Jika tidak, maka partai politik harus mengubur mimpi menjadi peserta pemilu.

"Kenapa angka 30 persen itu muncul? Angka 30 persen itu adalah critical atau angka yang wajib dipenuhi dalam rangka mempengaruhi kebijakan-kebijakan," pungkasnya seperti dimuat Kantor Berita Politik RMOL.

Regulasi keterwakilan perempuan dalam partai politik terbagi dua. Pertama, representasi perempuan pada daftar calon legislatif yang mulai berlaku pada pasal 65 ayat (1) UU 12/2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

Pasal tersebut menyatakan: ‟Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.

Sementara, penegasan representasi perempuan di kepengurusan partai politik diatur dalam UU 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Pada Pasal 8 ayat (1) huruf d menyatakan bahwa: ‟Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”.