Ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold mendapat sorotan serius dari sejumlah kalangan. Kehadiran ambang batas ini bahkan disebut sebagai cikal bakal terciptanya demokrasi kriminal, di mana pemimpin bukan bekerja untuk rakyat melainkan untuk para oligarki yang memuluskan jalan saat memenuhi ambang batas.
- Relawan Happy 3 Parpol Koalisi Perubahan Deklarasikan Anies Baswedan jadi Capres
- Demi Kemajuan Pertamina, Erick Thohir Disarankan Angkat Komut Jangan Seperti Ahok
- Pembangunan Era Jokowi Wariskan Banyak Utang
Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie M. Massardi bahkan mengatakan bahwa sistem ini hanya menghasilkan dua tipe pemimpin.
Pertama, adalah pemimpin yang tanpa kepala. Ini lantaran kepala mereka sudah digadaikan kepada oligarki.
“Kedua, pemimpin rahwana dasamuka (10 wajah), karena 9 kepala lainnya milik oligarki 9 Naga. Yang kuasa atau merintah mereka,” kata Adhie Massardi, Minggu (12/9).
Sementara itu, ekonom senior DR. Rizal Ramli telah tegas menyatakan bahwa ambang batas pencalonan atau presidential threshold adalah sistem yang salah, namun disenangi partai politik. Kesenangan muncul karena adanya upeti atau mahar politik yang diterima dari calon pemimpin.
Diurai Rizal Ramli, ambang batas yang dipatok 20 persen, membuat calon pemimpin mencari dukungan politik yang juga sulit didapatkan hanya dari satu partai politik.
"Kalau mau jadi bupati, gubernur, presiden harus bisa dapat dukungan 20 persen suara, biasanya perlu sekitar tiga partai," kata Rizal, dilansir dari Kantor Berita Politik RMOL.
- Pasokan BBM Untuk Kapal Meratus Diduga Digelapkan, Polisi Diminta Periksa Direksi Bahana?
- Parpol Berani Gugat PT 20 Persen Bakal Banjir Dukungan Publik
- Presidential Threshold dan Bursa Pilpres Monopolistik