Kasus Rocky Gerung dan Potret Ketimpangan Pertanahan

Komisioner/Ketua Komnas HAM RI 2012-2017, Hafid Abbas/Net
Komisioner/Ketua Komnas HAM RI 2012-2017, Hafid Abbas/Net

BEBERAPA hari terakhir ini, media ramai memberitakan rencana penggusuran rumah tempat tinggal seorang WNI, Rocky Gerung. Rumah yang terletak di Desa Cijayanti dan Bojong Koneng, Bogor, Jawa Barat in akan digusur oleh PT Sentul City.

PT Sentul City menguasai kawasan Sentul City seluas 3.000 hektar atau 30 juta meter persegi. Jika dibandingkan dengan luas tanah dan bangunan yang dikuasai oleh Rocky Gerung yang hanya 3.000 m persegi, terlihat amat tidak sebanding.

Jika Rocky Gerung dapat menjelaskan dari mana asal usul kepemilikan tanahnya itu dengan amat rinci. Ia membelinya dari pemilik yang sah sejak 15 tahun lalu, dan pembeliannya diproses sesuai dengan peraturan yang berlaku saat itu, dan tidak ada tindakan ilegal, surat dan dokumen tanah itupun lengkap dan masih disimpan hingga saat ini.

Sebagai sesama warga negara yang memiliki hak yang sama, publik juga perlu mengetahuinya bagaimana prosesnya sehingga PT Sentul City mendapat keistimewaan dari negara dapat menguasai luas lahan yang tidak terbayangkan luasnya dibanding dengan luas lahan yang didiami oleh Rocky Gerung.

Atas realitas ini, agar tidak menimbulkan polemik berkepanjangan, ingin saya berbagai pandangan kepada pihak terkait. Semoga negara hadir untuk memberi keadilan dan kepastian hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia kepada kedua belah pihak.

Pertama, Wakil Presiden Drs Mohammad Hatta telah menyampaikan pokok-pokok kebijakan negara tentang soal tanah yang disampaikan di muka sidang BPKNP di Yogyakarta 12 September 1948, karena merujuk pada UUD 1945:

“Berdasarkan kepada semangat Undang Undang Dasar kita, boleh ditetapkan bahwa tiap-tiap orang boleh mempunyai tanah sebanyak yang dapat dikerjakannya sendiri dengan keluarganya dengan memperhatikan dasar tolong-menolong yang dilakukan di desa-desa”.

“Milik tanah besar harus dihapuskan. Harus dipelajari dengan teliti berapa besarnya maximum milik tanah jang dibolehkan. Sebaliknya harus pula diusahakan supaya tanah yang dimiliki itu cukup hasilnya untuk menjamin hidup yang bersahaja bagi pak tani, cukup untuk dimakannya sekeluarga serta dengan lebihnya untuk pembeli pakaian serta keperluan lainnya, pembayar pajak, iuran perkumpulan serta ongkos sekolah anaknya.

Miliki tanah yang terlalu kecil mengembangkan pauperisme, kemelaratan hidup, dan harus dikoreksi dengan jalan transmigrasi”.

“Pemindahan hak milik tanah ke tangan orang lain hanya boleh dilakukan dengan seizin pemerintah desa (lurah dengan badan perwakilan desa). Miliki tanah berarti dalam Republik Indonesia menerima suatu kewajiban produksi dengan pedoman: menghasilkan sebanyak-banjaknya untuk memperbesar kemakmuran rakyat”.

“Tanah milik yang terlantar, tidak dikerjakan, berarti suatu keteledoran terhadap masyarakat dan hak miliknya itu harus diambil oleh negara”.

“Ucapan inilah yang teringat kepada kami, tatkala membentuk kabinet yang sekarang ini dan akan kami jadikan pedoman untuk meninjau soal tanah”.

Pernyataan Wakil Presiden Muhammad Hatta Hatta tersebut dapat dijadikan alasan yurisdis oleh negara untuk hadir mengambil kembali tanah yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok dengan ukuran yang terlalu luas untuk dikembalikan ke warga negara lain yang lebih membutuhkannya demi untuk memenuhi rasa keadilan itu.

Kedua, Ms Raquel Rolnik, Pelapor Khusus PBB tentang Pemukiman dalam misinya ke Indonesia, 31 Mei hingga 11 Juni 2013 melaporkan di sidang Dewan HAM PBB atas berbagai ketimpangan pembangunan perumahan dan distribusi lahan di Indonesia.

Dalam laporannya, Raquel mencontohkan bahwa di kawasan Jabodetabek terdapat hanya sekitar 30 pengembang besar untuk pemukiman dan kawasan bisnis yang menguasai lebih 30 ribu hektar lahan (45 persen dari luas Jakarta), ternyata hanya menampung sekitar 7 persen penduduk Jakarta yang berjumlah 10 juta.

Untuk menghindari konflik sosial akibat ketimpangan itu, pelapor khusus PBB ini kembali menekankan pentingnya memberlakukan formula 1:2:3, artinya setiap pembangunan perumahan jika terdapat 1 unit rumah mewah, maka harus disiapkan 2 rumah bagi kelas menengah, dan 3 unit untuk warga miskin (hal.16).

Dengan formula tersebut, jika redistribusi lahan harus dilakukan oleh negara maka untuk setiap satu hektar lahan yang dikuasai oleh kelas atas, berikan dua hektar kepada kelas menengah, dan tiga hektar ke kelas bawah.

Kelihatannya, demi untuk memenuhi rasa keadilan, negara perlu secepatnya hadir untuk meredistrubsi penumpukan penguasaan lahan yang ribuan atau jutaan hektar di tangan satu atau beberapa orang atau perusahaan kepada penduduk kelas menengah atau masyarakat kelas bawah yang lebih membutuhkannya.

Dengan rekomendasi PBB ini, jika Rocky Gerung merepresentasikan kelompok masyarakat bawah, maka lahan yang harus dimiliki oleh Rocky Gerung semestinya tiga kali lebih luas dari yang dimiliki oleh pemilik PT Sentul City.

Ketiga, jika Rocky Gerung harus digusur paksa dari tempat tinggalnya, maka prosesnya haruslah memenuhi syarat. Badan PBB telah mengeluarkan Keputusan Pendapat Umum PBB Nomor 7 Tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa dan United Nations Basic Principles and Guidelines on Development-Based Evictions. Keputusan ini telah menjadi rujukan negara-negara anggota PBB dan masyarakat internasional. Pada alinea 21 dan 22 dinyatakan sbb:

“21. Negara harus memastikan bahwa penggusuran paksa hanya terjadi dalam keadaan luar biasa. Penggusuran harus dihindari semaksimalnya karena menimbulkan berbagai ragam dampak buruk dari aspek hak asasi manusia yang diakui secara internasional.

Penggusuran paksa hanya dapat dibenarkan apabila:

(a) dibenarkan oleh dasar hukum yang mengikat;

(b) dilakukan sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional;

(c) dilakukan semata-mata untuk tujuan memajukan kesejahteraan umum bagi warga miskin;

(d) dapat diterima akal sehat dan proporsional;

(e) dilakukan setelah adanya kepastian perolehan kompensasi dan rehabilitasi penuh dan adil; dan

(f) dilakukan sesuai dengan pedoman ini.

22. Negara harus mengadopsi langkah-langkah legislatif dan kebijakan yang melarang eksekusi penggusuran yang tidak sesuai dengan ketentuan hak asasi manusia internasional. Negara harus menahan diri semaksimal mungkin, dari mengklaim atau menyita perumahan atau tanah, dan khususnya jika tindakan itu dinilai tidak berkontribusi terhadap pemajuan hak asasi manusia. Misalnya, penggusuran dapat dibenarkan jika sesuai dengan langkah-langkah reformasi agraria atau untuk melakukan redistribusi tanah untuk memenuhi kepentingan orang-orang yang rentan atau korban penggusuran atau kelompok masyarakat miskin. Negara harus memastikan memberi hukuman yang setimpal kepada orang atau institusi publik atau swasta dalam yurisdiksinya atas perbuatannya melakukan penggusuran dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan standar HAM internasional. Negara harus memastikan bahwa penyelesaian hukum yang memadai dan efektif atau tepat tersedia untuk semua orang yang terlibat pada penggusuran, para korban, atau mereka yang membela penggusuran paksa.”

Semoga catatan singkat ini ada manfaatnya bagi perolehan keadilan kepada semua pihak yang terkait.

Hafid Abbas

Komisioner/Ketua Komnas HAM RI 2012-2017