PTM Terbatas Solusi Menyelamatkan Anak dari Learning Loss

 Amilan Hatta/Ist
Amilan Hatta/Ist

KEMENTERIAN Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengizinkan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas dilakukan pada satuan pendidikan di wilayah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 1-3.

Pelaksanaan PTM terbatas di wilayah PPKM level 1-3 sejatinya harus tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian, serta kesehatan dan keselamatan seluruh insan pendidikan dan keluarganya. Merujuk Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri, Pelaksanaan pembelajaran di satuan pendidikan wilayah PPKM level 1-3 dapat dilakukan melalui PTM terbatas atau pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Surat yang ditandatangani Mendikbud, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri tersebut berisi panduan penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi, dengan ketentuan-ketentuan yang telah disosialisasikan oleh Kemendikbud di berbagai media nasionla hingga daerah maupun di laman website lembaganya sebelum PTM terbatas dimulai.

Dalam perjalanan PTM terbatas, Kemendikbudristek kemudian merilis data survei 25 klaster Covid-19 ditemukan di Jakarta. Dalam data yang diunggah di situs sekolah.data.kemdikbud.go.id, berdasarkan data survei per 22 September 2021, terdapat 25 klaster Covid-19 dari 897 responden sekolah yang mengisi kuisioner survei.

Terkait kekhawatiran adanya klaster sekolah ini, sebenarnya sejak awal pandemi tahun 2020 lalu hingga saat ini, data Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek ada 45.284 atau 97,2% satuan pendidikan dilaporkan aman menjalankan PTM terbatas.

Memang masih menjadi debatable terkait data kasus Covid-19 di lingkungan sekolah apakah sudah betul-betuk diverifikasi atau belum. Hal itu perlu dilakukan untuk memastikan hak dasar anak terpenuhi berupa hak hidup dan derajat kesehatan yang optimal.

Keinginan untuk membawa kembali anak-anak peserta didik ke sekolah harus dibarengi dengan memberikan keyakinan atas keamanan mereka. Sebab, hak hidup dan derajat kesehatan yang optimal merupakah salah satu hak dasar yang harus dimiliki oleh setiap anak.

Kita semua tentu menginginkan anak kembali ke sekolah, tapi juga harus ada keyakinan bahwa ada keamanan anak. Karena hak hidup, derajat kesehatan yang optimal, adalah hak yang paling mendasar buat anak.

Pertanyaannya kemudian, apakah jika benar ada kasus terpapar satu orang dalam satu area dan tidak terjadi penularan, bisa dinyatakan sebagai klaster? Lalu apakah dengan satu-dua kasus yang terjadi lalu kita jadikan dasar untuk secara terburu-buru meminta sekolah harus tutup dan PTM terbatas dihentikan?

Mengutip berbagai sumber definisi klaster ditetapkan jika terdapat minimal dua kasus atau lebih secara bersamaan dalam satu area dan waktu tertentu. Kemudian secara epidemiologis terbukti penularannya terjadi di area tersebut. Misalnya yang cukup populer kita dengar dalam masa pandemi adalah peristiwa dari kasus pertama masuknya Covid-19 ke Indonesia, dimulai klaster dansa, kemudian klaster liburan natal dan tahun baru, klaster mudik lebaran, dan lain-lain.

Adanya beberapa kasus di sekolah dalam satu waktu dan di area yang berbeda tidak lantas bisa kita pastikan munculnya satu klaster baru atau tidak. Karena kendatipun ada kasus baru yang muncul, secara mayoritas kasusnya berdiri sendiri, dan bukan menjadi klaster pembelajaran tatap muka terbatas.

Mengonfirmasi laporan Kemendikbudristek di atas, penulis mendapatkan konfirmasi dari Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah bahwa 2,8 persen laporan klaster Covid-19 di satuan pendidikan adalah data sejak awal pandemi di tahun 2020. Bukan temuan satu bulan terakhir, seperti diberitakan oleh media yang mispersepsi.

Kondisi ini tentu harus kita maknai sebagai peringatan bagi semua pihak untuk segera memperkuat penegakan disiplin protokol kesehatan baik di sekolah, maupun di perjalanan ke sekolah dari rumah. Karena seperti halnya di Jakarta, Dinas Pendidikan DKI Jakarta juga mengaku menutup beberapa sekolah dan menghentikan sementara PTM terbatas, karena terbukti melanggar protokol kesehatan pencegahan Covid-19.

Dan perlu dipahami bahwa 97 % lebih sekolah yang menyelenggarakan PTM terbatas berhasil menjalankan dengan aman dan tidak ditemukan kasus positif ataupun terjadi klaster baru Covid-19. Peran pemerintah hendaknya terus memantau jalannya PTM terbatas agar sekolah aman dan selamat tanpa adanya penyebaran virus Covid-19.

Karena berdasarkan data Kemendikbudristek per 19 September 2021, baru 42 persen satuan pendidikan yang berada di wilayah pemberlakukan PPKM level 1, 2, dan 3 yang menyelenggarakan PTM terbatas. Data ini sekaligus mengonfirmasi bahwa masih banyak pemerintah daerah yang belum berani melaksanakan PTM terbatas dengan standar ketat protokol kesehatan.

Padahal sudah jelas datur bahwa terkait kemungkinan klaster sekolah ini juga sudah ketat diatur di dalam SKB Empat Menteri, yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah dapat menutup sekolah, menghentikan PTM terbatas, melakukan testing, tracing, dan treatment jika ada temuan kasus positif Covid-19.

Pemda dan stakeholder pendidikan di daerah harus melihat PTM terbatas merupakan kebijakan yang cukup berimbang dan keberlangsungannya dibutuhkan untuk menyelamatkan anak-anak kita dari learning loss.

Sebagai masyarakat kita juga perlu mendukung dan mendorong penerapan PTM terbatas untuk mengurangi resiko dampak sosial negatif berkepanjangan. Adapun dampak bukan hanya meliputi kualitas pendidikan, melainkan juga tumbuh kembang dan hak anak.

PTM terbatas perlu dipercepat karena pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berkepanjangan dapat beresiko negatif pada anak. Setidaknya ada beberapa alasan utama yang menjadi dasar pelaksanaan PTM terbatas.

Pertama, untuk menghindari ancaman putus sekolah. Dalam hal ini, PJJ yang tidak optimal membuat anak terpaksa bekerja dan tidak belajar, terutama untuk membantu keuangan keluarga di tengah krisis pandemi. Hal ini juga menjadi benturan dengan peraturan pelarangan pekerja anak. Selain itu, beberapa orang tua juga tidak dapat melihat peranan sekolah dalam proses belajar mengajar jarak jauh.

Kedua, untuk menghindari penurunan capaian belajar anak. Pembelajaran di kelas diyakini dapat menghasilkan pencapaian akademik yang lebih baik jika dibandingkan dengan PJJ. Pasalnya, perbedaan akses, kualitas materi, sarana selama PJJ dapat mengakibatkan kesenjangan capaian belajar, terutama untuk anak yang memiliki keterbatasan secara sosio-ekonomi.

Ketiga, guna menghindari resiko psikososial atau kondisi individu mencakup aspek psikis dan sosial pada anak selama PJJ. Resiko ini meliputi peningkatan kekerasan pada anak di rumah, resiko pernikahan dini (perkawinan usia anak), serta eksploitasi anak terutama perempuan. Selain itu, anak juga dapat merasa tertekan selama PJJ karena tidak bermain dan bertemu dengan kawan-kawannya dalam waktu lama.

Semoga badai Covid-19 akan benar-benar segera berlalu, sehingga PTM terbatas kembali berjalan menjadi PTM pada situasi normal dan optimal.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Analisis dan Kajian Kebudayaan Daerah (Linkkar)