Jalan Penyelesaian Sengketa Tanah Rocky Gerung Vs Sentul City

 Bakhrul Amal/Net
Bakhrul Amal/Net

SECARA hukum, kepemilikan suatu tanah harus didasarkan pada bukti bukan dengan asumsi. Dasar utamanya adalah Pasal 19 ayat (2) huruf c UPPA yang menyebutkan bahwa setiap orang yang memiliki tanah akan diberi surat-surat tanda bukti hak. Surat-surat itu nantinya berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Surat tanda bukti tersebut kemudian, merujuk pada Pasal 32 PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, dinamakan dengan sertifikat. Sertifikat sendiri di dalamnya memuat data fisik dan data yuridis.

Terdapat dua syarat utamanya yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk bisa memperoleh sertifikat dengan kualitas pembuktian yang kuat. Syarat pertama adalah kepemilikan itu dilakukan dengan cara dan niat yang beritikad baik.

Syarat kedua, sertifikat yang dimaksud tidak pernah disengketakan oleh pihak lain 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu. Dalam artian tidak adanya pihak yang mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat maupun kepada Kepala Kantor Pertanahan.

Dari aturan ini keduanya, baik Rocky Gerung maupun Sentul City, harus bisa membuktikan sertifikat kepemilikannya. Pembuktian yang paling ideal adalah melalui mekanisme pengadilan.

Tata Cara Perolehan Tanah

Dalam berbagai aturan hukum dijelaskan aneka macam cara untuk memperoleh sertifikat tanah.

Cara yang paling umum adalah dengan melakukan jual beli. Satu pihak dan pihak yang lain mengikatkan diri berjanji untuk memberikan tanah setelah pembayaran disepakati dan uang telah dibayarkan.

Andaikan tanah tersebut belum dilekatkan oleh satu hak apapun maka mekanisme perolehannya adalah melalui permohonan kepada negara. Perolehan tanah demikian disebut sebagai pendaftaran tanah untuk pertama kali.

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali ini nantinya meliputi pengumpulan dan pengolahan data fisik, pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis, terakhir akan dilakukan penyimpanan daftar umum dan dokumen.

Tanah juga bisa didapatkan hasil dari perwarisan. Seorang pemilik tanah meninggal kemudian secara langsung aset kepemilikannya, termasuk juga tanah, berpindah kepada ahli waris.

Tanah juga bisa diperoleh dengan cara menukar tanah tersebut dengan tanah yang lain. Proses ini dinakaman dengan tukar guling (ruislag). Proses ini biasanya terjadi karena adanya perubahan rancangan tata ruang di suatu wilayah.

Selain itu masih ada beberapa lagi bukti telah dilekatkannya hak tanah yang bersifat dari pemberian seperti tanah wakaf, hibah, maupun diberikan untuk izin menggarap sementara atau tanah garapan.

Masing-masing pihak, Rocky Gerung maupun Sentul City, perlu cermat dalam mnyodorkan bukti-bukti yang dimilikinya dan alasan perolehan hak yang saat ini ada di tangannya.

Hukum memang punya sudut pandang ideal yang dicita-citakan (ius constituendum) tetapi hukum juga dalam penyelesaiinnya diberlakukan atas aturan yang sah (ius constitutum).

Proses Penyelesaian Sengketa

Jika dalam perjalanannya ternyata kemudian muncul sengketa. Semisal sengketa kepemilikan, sengketa yang timbul karena adanya keputusan pejabat negara, dan sengketa sebab perwarisan, maka mekanisme penyelesaiannya tidak bisa dilakukan secara sepihak. Termasuk juga persoalan yang dialami oleh Rocky Gerung dan Sentul City.

Indonesia, pasca reformasi dan amandemen ketiga, menegaskan negaranya sebagai negara demokrasi yang dilindungi oleh prinsip nomokrasi (negara hukum). Ciri utama dari negara hukum adalah persamaan hak dan supremasi hukum.

Oleh sebab itu, penyelesaian sengketa yang timbul di masyarakat harus diselesaikan dengan jalur hukum.

Jika sengketa itu timbul akibat adanya hak yang dilanggar atau adanya perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), atau perbuatan yang melanggar unsur Pasal 1365 KUHPer, tata cara penyelesaiannya adalah melalui sengketa keperdataan.

Selain itu, atau apabila muncul atau terbitnya sertifikat dengan adanya cacat administratif, maka pihak berkepentingan bisa meminta pembatalan hak.

Hal ini diatur dalam Pasal 106 ayat (1) Permen Agraria/BPN 9/1999 yang menyebutkan "keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacad hukum administratif dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh Pejabat yang berwenang tanpa permohonan."

Apabila sengketa itu hadir diakibatkan oleh adanya Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 9 UU Peradilan TUN) maka penyelesaian perkaranya menjadi ruang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Sedangkan untuk waris yang berbeda dengan keduanya, atau sengketa itu muncul bukan sebab pihak luar, maka penyelesaian sengketanya melalui Pengadilan Perdata atau Pengadilan Agama. Hal ini bergantung pada para pihak dilihat dari agama yang dipercaya oleh masing-masing pihak.

Kewenangan Eksekusi

Pihak berwenang yang melakukan eksekusi atas keputusan tersebut, apabila tidak ada kesukarelaan dari pihak yang dikalahkan, adalah pengadilan atau pejabat yang diamanatkan oleh undang-undang untuk melakukan tindakan atas itu. Eksekusi tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh pihak yang merasa mempunyai hak.

Eksekusi sepihak justru berpotensi memunculkan tindakan main hakim sendiri (eigenrichting). Demikian pula kepada pihak yang secara terang melakukan kesalahan tidak bisa mempertahankan sesuatu yang bukan haknya dengan cara memaksa.

Sebab, tindakan demikian nantinya dapat dikategorikan penyerobotan tanah (stellionat) yang melanggar Pasal 385 KUHP.

Kedua belah pihak perlu sesegera mungkin menempuh mekanisme hukum yang sah. Tujuan daripada hal itu tidak lain untuk memastikan dan menjamin kepastian hukum.

Tujuan selanjutnya adalah memberikan wawasan hukum yang mencerdaskan dan memberikan solusi kepada masyarakat.

Penulis adalah Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)