Haji Masdar

Iustrasi ibadah Haji di tengah pandemi Covid-19/Net
Iustrasi ibadah Haji di tengah pandemi Covid-19/Net

IDE lama ini muncul lagi: agar boleh berhaji di luar musim haji. Inilah ide yang umurnya sudah 30 tahun, tapi sama sekali tidak beringsut maju.

Yang memiliki ide itu ulama muda (waktu itu). Kini 66 tahun. Ia juga pengurus Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU). Ia pengikut Gus Dur yang konsisten: KH Masdar Farid Mas’udi.

Pendidikannya: Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, yang terkenal itu. Lepas kelas III tsanawiyah (setingkat SMP), Masdar pindah ke Pondok Krapyak, Jogja. Di sana ia langsung diterima di kelas III aliyah (setingkat SMA). Itu menandakan kemampuan agamanya istimewa. Terutama dalam ilmu tafsir hadis –sabda, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad yang harus diikuti umatnya.

Setamat aliyah, Masdar langsung menjadi asisten kiai Krapyak, KH Ali Maksoem. Beliau pernah menjadi rais aam syuriah –pemimpin tertinggi NU.

Masdar sendiri putra kiai terkemuka di Banyumas. Ia juga pernah menjadi anggota Tim Enam PB NU. Yakni, tim yang merumuskan konsep NU kembali ke khitah. Itulah perjuangan di awal kepemimpinan Gus Dur di PB NU. 

Masdar juga pengurus pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Setelah lama meninggalkan sekolah, belakangan, ia kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, Jogja. Ia masuk ke jurusan ilmu tafsir hadis. Lalu, ia mengambil S-2 di Jurusan Filsafat Universitas Indonesia.

Masdar merasa aneh kalangan Islam bersikap dingin atas idenya itu. Padahal, katanya, jelas sekali ditegaskan dalam Al-Qur’an: waktu haji itu beberapa bulan. ”Ayatnya ada. Tegas. Tanpa perlu ditafsirkan pun bunyinya begitu,” ujar Masdar. 

”Ayo, Cak Dahlan, kita diskusikan lagi. Kita ajak sejumlah pihak untuk membicarakan ide ini,” ujar Masdar kepada saya kemarin.

Menurut Masdar, kalau saja idenya itu bisa diterima, banyak kesulitan yang bisa dipecahkan. Terutama soal panjangnya antrean untuk dapat giliran naik haji. ”Antrean naik haji kita bisa 60 tahun,” katanya. ”Berarti, sebelum lahir kita sudah harus mendaftar haji,” guraunya. ”Saya dengar antrean di Malaysia sudah sampai 100 tahun,” tambahnya.

Bahwa Nabi Muhammad melaksanakan haji tanggal 9 sampai 12 di bulan Besar (bulan Haji), kata Masdar, itu tidak bisa menghapus ayat Qur’an yang mengatakan waktu haji itu beberapa bulan. ”Nabi Muhammad kan hanya sekali berhaji,” ujar Masdar. ”Kecuali, Nabi Muhammad itu berkali-kali berhaji dan selalu di tanggal itu,” tambahnya.

Menurut Masdar, ”beberapa bulan” yang dimaksud Al-Qur’an itu adalah tiga bulan: Syawal, Selo, Besar. Kapan saja boleh selama masih di dalam tiga bulan itu. ”Yang tidak boleh berubah adalah tempatnya, persyaratannya, dan urutan ibadahnya,” ujar Masdar.

Kalau berhaji itu bisa dilakukan di tiga bulan tersebut, kita punya waktu 90 hari. Kalau setiap musim haji berlangsung 7 hari, kelak setahun bisa 12 kali musim haji. 

Belum lagi kalau bisa pakai sistem in-out: tiap dua hari padang Arafah bisa dibuka untuk ritual wukuf. Wukuf sendiri hanya satu hari. Selama satu hari itu untuk keperluan kebersihan. 

Itu berarti dalam tiga bulan bisa terlaksana 40 kali musim haji.

Sebagai ahli agama, Masdar sudah lama tahu ketentuan baku dalam Qur’an tersebut. Tapi, ia baru tergerak melontarkan ide tersebut pada 1994. Yakni, 4 tahun setelah peristiwa terowongan Mina. Yang menelan korban sekitar 1.500 orang. Mereka mati terinjak-injak. Saking padatnya musim haji. 

Di zaman awal Islam, jumlah yang naik haji hanya puluhan ribu orang. Sekarang sudah sekitar 2,5 juta orang. Masjid Makkah memang terus diperluas. Tetap saja kurang besar. 

Yang mengelilingi Ka’bah (tawaf) pun makin jauh dari Ka’bah. Bahkan, banyak yang terpaksa tawaf di ”atas” Ka’bah. Yakni, di lantai 5 Masjidilharam.

Tentu tidak mudah menerima ide Kiai Masdar itu. Bahkan pun untuk kalangan NU sendiri.

”Misalkan bisa diadakan voting di antara anggota Syuriah PB NU, apakah ide sampean itu bisa menang?” tanya saya.

”Tidak mungkin menang,” jawab Kiai Masdar.

Berarti ide itu memang masih jauh untuk bisa diterima.

Secara individu, sebenarnya sudah ada yang setuju dengan ide tersebut. Saya mengalaminya sendiri. Yakni, waktu saya umrah sekitar 20 tahun lalu. 

Hari itu saya bertemu orang Indonesia di Makkah. Tidak lagi muda, tapi juga belum tua. Ia intelektual Islam. Ia seorang dokter. Ia bercerita bahwa kedatangannya ke Makkah kali itu untuk berhaji.

”Hah? Berhaji? Ini kan bukan musim haji?” tanya saya.

”Saya meyakini berhaji boleh dilakukan di luar musim haji,” ujarnya. Ia pun menguraikan alasannya. Persis dengan yang disampaikan Kiai Masdar. 

Tapi, ia mengaku hari itu gagal melaksanakan haji. Bukan soal keyakinan, melainkan karena persoalan teknis. ”Waktu saya mau wukuf di Arafah, pintu Arafah dikunci,” ujarnya.

Ia pun tidak bisa masuk Arafah. Tidak ada petugas yang menjaga pintu terkunci itu. Bahkan, di seluruh padang Arafah tidak ada satu pun manusia. 

Lokasi wukuf tersebut memang dipagari. Gerbangnya hanya dibuka di musim haji. Setahun hanya dibuka satu hari itu saja.

Saya pernah tiba di padang Arafah pukul 23.00-an. Tahun 1990-an. Waktu itu kami berlima jalan kaki dari Makkah. Kami berangkat dari Makkah pukul 17.00. Tiba di Arafah pukul 23.00. Kami mengira bisa masuk Arafah lebih awal. Untuk mencari tempat yang terbaik. Pada jam segitu ternyata gerbang besi berjeruji itu masih terkunci. Baru akan dibuka beberapa jam kemudian. Malam itu kami yang kelelahan tiduran di atas pasir di luar gerbang. Lampunya terang benderang. Seluas mata memandang. Pedagang makanan dan minuman juga banyak sekali. 

Walhasil, kalaupun banyak kalangan yang bisa menerima ide Kiai Masdar, tetap saja bergantung penguasa di Arab Saudi: mau atau tidak membuka pagar padang Arafah. 

Maka, kalaupun ide kiai Masdar itu perlu didiskusikan, salah seorang peserta diskusi harus Muhammad bin Salman –putra mahkota Kerajaan Arab Saudi yang mulai mengizinkan K-pop konser di sana.