Karya Ilmiah, Banyak Hidup dalam Ruang Kosong

 ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Mukhaer Pakkanna/Net
ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Mukhaer Pakkanna/Net

KATA Cicero, filsuf kenamaan Romawi, “Semakin banyak produk hukum sebuah negara, semakin jauh keadilan.” 

Kalimat sarkastis itu bisa pula dimaknakan, makin banyak aturan dalam perolehan gelar akademik menjulang di Perguruan Tinggi, makin banyak cara-cara yang kurang elok untuk memperolehnya.

Terus terang, saya ikut tergelitik membaca sebuah opini yang ditulis Asit K. Biswas (Lee Kuan Yew School of Public Policy in the National University of Singapore) dan Julian Kirchherr (School of Geography and the Environment, University of Oxford) pada kolomnya The Straits Times (11/4/2015) berjudul: “Prof.. No One is Reading You”.

Opini ini dikutip kembali oleh seorang penulis Opini di Kompas (25/9/2021) dan telah memicu perdebatan produktif tentang eksistensi makna profesor dan karya ilmiah .

Biswas dan Kirchher menyebutkan, menurut risetnya, bahwa sebuah tulisan ilmiah yang diterbitkan di jurnal bereputasi sekalipun, rerata dibaca hanya sepuluh orang. Argumentasi bahwa kualitas sebuah tulisan ilmiah pada jurnal adalah sitasi (rujukan), dalam faktanya sitasi tidak selalu berarti dibaca.

Biswas dan Kirchherr menyebutkan hanya 20 persen dari tulisan ilmiah yang digunakan sebagai sitasi yang sungguh-sungguh dibaca. Para pengambil kebijakan tentu saja tak sempat dan tak mau membayar mahal untuk mendapatkan sebuah artikel di jurnal.

Maka, kedua penulis itu merekomendasikan agar para professor perlu mulai memikirkan untuk menulis komentar dalam menuangkan pemikirannya dalam artikel pendek dimedia popular.

Bahkan banyak Profesor di Perguruan Tinggi menghindar dalam perdebatan ilmiah. Mereka hanya asyik utak-atik administrasi dan birokrasi untuk mempertahankan eksistensi gelarnya. Kemanfaatan gelar dan keilmuannya kurang terasa di masyarakat.

Ilmunya teralienasi dengan fakta karena dialektika keilmuannya gagap dibenturkan. Banyak akademisi di Tanah Air hidup dalam ruang kosong.

Makanya, saya teringat kembali kisah inspiratif Muhammad Yunus, yang sadar segera melepas mantel gelar PhD-nya, menjadi ”tamparan” bagi kita yang asyik dalam ”menara gading”. Yunus akhirnya bergumul dalam lumpur persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan.

Yunus ingin melepaskan diri dari kesombongan yang menyertai seorang PhD, yang cenderung melihat situasi dengan sudut pandang mata burung. Malas mendapatkan sudut pandang cacing, yakni berfokus pada satu persoalan kecil dan mencoba berada di atasnya – sebuah strategi yang lebih efektif karena beranjak dari kenyataan lapangan.

Akhirnya, saya kutip kembali akhir tulisan Biswas dan Kirchherr di The Straits Times, bahwa, may be about time to re-assess scholars' performance. For tenure and promotion considerations, their impact on policy formulation and public debates should also be assessed. These publications often showcase the practical relevance and potential application of the research results to solve real world problems, and ability to communicate in a simple, understandable manner.

Ingat artikel ilmiah yang ditulis oleh para akademisi di jurnal bereputasi hanya dibaca oleh kalangan tertentu tanpa memberi dampak dalam perubahan sosial. Banyak profesor dan karya ilmiah yang terbit di jurnal bereputasi hanya asyik “bermatrubasi” dengan dirinya sendiri.

Penulis adalah ITB Ahmad Dahlan Jakarta