Meluruskan Miskonsepsi Pembelajaran Tatap Muka Terbatas

Direktur DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati/RMOL
Direktur DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati/RMOL

WABAH memang belum usai, tetapi kebutuhan pembelajaran tatap muka juga menjadi hal yang tidak dapat terelakkan dan mendesak untuk dapat dilakukan. Anak-anak tidak bisa dibiarkan terlalu lama belajar di rumah.

Sebab, ini akan menganggu perkembangan psikologis anak. Kendala yang dihadapi dalam pembelajaran jarak jauh selama kurang lebih satu tahun lamanya oleh para orangtua siswa semakin berat, kewalahan dan tidak bisa terkendali.

Hal ini diperparah dengan banyaknya juga anak yang mengalami putus sekolah karena kondisi pandemi virus corona baru (Covid-19).

Meski memang, pembelajaran tatap muka bagi sebagian orangtua masih menimbulkan pro kontra, akan tetapi sebagian orangtua lainnya terus mendorong dan mendesak agar pembelajaran tatap muka segera digelar.

Keselamatan jiwa anak juga menjadi pertaruhan apabila sekolah dikhawatirkan menjadi kluster penularan virus mematikan.

Oleh karenanya, vaksinasi untuk para pendidik menjadi hal yang sangat diprioritaskan. Situasi yang dilematis ini, harus segera mendapatkan titik temu untuk menjadi solusi dan kebaikan bersama.

Keselamatan dan kesehatan jiwa manusia tetap terjaga tetapi pembukaan sekolah juga tetap aman dan tidak menimbulkan kluster baru di bidang pendidikan.  

Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pendidikan, ilmu pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) dan dana PBB untuk anak-anak (Unicef) selalu mengingatkan agar negara-negara memprioritaskan pembukaan sekolah saat laju penularan Covid-19 terkendali atau melandai.

Temuan kasus Covid-19 saat pembelajaran tatap muka tetap memiliki risiko tinggi, meskipun seluruh persyaratan telah dipenuhi dan perketatan protokol kesehatan.

Peningkatan kasus di masyarakat juga sempat terjadi karena efek cluster baru dari sekolah yang mengancam keselamatan jiwa anak-anak.

Pelajaran yang berharga saat pembelajaran tatap muka sempat digelar di Indonesia, tidak sedikit sekolah yang memunculkan klaster baru, apalagi dengan kondisi pendidik yang belum sepenuhnya mendapatkan vaksin secara lengkap.

Dalam hal ini, pemerintah tentu perlu memperhatikan mitigasi risiko ketika pembelajaran tatap muka ini dilaksanakan. Sebab hal ini yang akan menentukan perencanaan yang baik dan terukur.

Mitigasi risiko yang kuat juga akan menjadi faktor keberhasilan pembelajaran tatap muka.

Syarat kasus penularan virus yang melandai dan protokol kesehatan selama pembelajaran tatap muka harus dibarengi dengan upaya mencegah kasus Covid sampai di sekolah.

Pengukuran suhu sebelum warga sekolah memasuki kompleks sekolah tidak bisa mendeteksi orang tanpa gejala (OTG). Sementara tidak semua sekolah bisa menyelenggarakan tes Covid-19 kepada warga sekolah sebelum pelaksanaan PTM karena alasan biaya.

Strategi risiko juga harus dimulai sejak dari rumah. Sekolah melakukan tracking apakah siswa yang akan melakukan pembelajaran tatap muka memiliki kontak dengan orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 atau tidak.

Termasuk juga melakukan identifikasi riwayat penyakit yang dimiliki oleh siswa, terutama di daerah yang masih zona merah.

Pemetaan ini tentu diperhatikan untuk menjadi acuan siswa mana yang layak mengikuti PTM dengan yang tidak.

Pengetahuan dan kesadaran juga perlu ditumbuhkan akan pentingnya protokol kesehatan dan mempermudah pengawasan dan evaluasi secara berkala.

Namun, berbagai macam kekhawatiran PTM juga menyeruak ke permukaan publik sehingga banyak isu-isu yang beredar liar dan menyebabkan disinformasi.

Komunikasi Publik Pemerintah

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah melakukan komunikasi publik yang efektif dalam menanggapi tas berbagai isu yang terjadi.

Disinformasi pertama, terkait dengan terjadinya klaster akibat PTM terbatas.

Direktur Jenderal Paud Dikdasmen menyampaikan bahwa angka 2,8 persen satuan pendidikan itu bukanlah data klaster Covid-19, tetapi data satuan pendidikan yang melaporkan adanya warga sekolah yang pernah tertular Covid-19.

Sehingga, lebih dari 97 persen satuan pendidikan tidak memiliki warga sekolah yang pernah tertular Covid-19.

Disinformasi kedua, belum tentu juga penularan Covid-19 terjadi di satuan pendidikan.

Data tersebut didapatkan dari laporan 46.500 satuan pendidikan yang mengisi survei dari Kemendikbudristek. Satuan pendidikan tersebut ada yang sudah melaksanakan PTM Terbatas dan ada juga yang belum (Jumeri, 2021).

Disinformasi ketiga, angka 2,8 persen satuan pendidikan yang diberitakan itu bukanlah laporan akumulasi dari kurun waktu satu bulan terakhir.

Hal yang harus ditekankan bahwa angka itu bukan berdasarkan laporan satu bulan terakhir, tetapi 14 bulan terakhir sejak tahun lalu yaitu bulan Juli 2020.

Disinformasi keempat, terkait 15.000 (lima belas ribu) siswa dan 7.000 (tujuh ribu) guru positif Covid-19 berasal dari laporan yang disampaikan oleh 46.500 satuan pendidikan yang belum diverifikasi, sehingga masih ditemukan kesalahan.

Hal ini terjadi disebabkan kesalahan input data yang dilakukan satuan pendidikan seperti laporan jumlah guru dan siswa positif Covid-19 lebih besar daripada jumlah total guru dan siswa pada satuan pendidikan.

Kemendikbudristek juga saat ini tengah mengembangkan sistem pelaporan yang memudahkan verifikasi data dengan melakukan uji coba sistem pendataan baru dengan aplikasi PeduliLindungi.

Harapannya, berbagai macam isu disinformasi yang terjadi, dapat diluruskan. Pemerintah sendiri telah melakukan klarifikasi dan sifat informasi yang semuanya hanya satu pintu.

Bagi orangtua yang khawatir dan belum mengizinkan anaknya untuk mengikuti PTM, maka pihak sekolah tidak melakukan pemaksaan. Artinya, anak tetap belajar dari rumah dengan segala konsekuensinya.

Kolaborasi, sinergitas dan kerjasama yang maksimal antara guru, kepala sekolah, komite sekolah, dan pengawas sekolah, serta orangtua menjadi kunci keberhasilan implementasi PTM terbatas.

*Penulis adalah Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia dan Pemerhati Pendidikan