Ramayana Potehi

Prof Dr Kishore Mahbubani/Net
Prof Dr Kishore Mahbubani/Net

KETIKA memuji Presiden Jokowi sebagai ''jenius'', ikhlaskah Prof Kishore Mahbubani?

Ia memang seorang diplomat –yang umumnya suka basa-basi. Tapi Mahbubani juga seorang ilmuwan –yang umumnya tidak suka basa-basi.

Yang jelas pujian itu ia tulis bukan dalam rangka diplomasi. Prof Mahbubani sudah lama pensiun sebagai diplomat –ia pernah menjabat ketua Dewan Keamanan PBB dan duta besar Singapura di lembaga dunia itu selama dua periode yang panjang. Gayanya saja yang tetap diplomat: halus dan tidak meledak-ledak. Karena itu ia juga seorang pengajar yang baik. Seminar-seminarnya memikat. Wawancara-wawancaranya menarik. Ia juga seorang penulis yang produktif.

Sebuah sindikasi –semacam kantor berita untuk artikel bermutu– meminta Mahbubani sebagai salah satu penulis tetap. Seminggu sekali atau sebulan sekali. Media apa saja boleh memuat artikel produk sindikat itu –asal bayar.

Hanya penulis-penulis ternama yang dipilih menjadi anggota sindikat.

Mahbubani bukan kaleng-kaleng.

Sebenarnya Mahbubani tidak hanya memuji Jokowi. Ia juga memuji Indonesia secara keseluruhan. Misalnya: Indonesia ternyata berhasil tetap utuh. Padahal banyak analis Barat memperkirakan Indonesia bakal terpecah-pecah.

Seperti yang terjadi di Yugoslavia. Akibat krisis besar tahun 1998.

Di zaman Jokowi Mahbubani melihat kerukunan yang luar biasa. Capres dan cawapres yang di Pilpres menjadi pesaingnya dirangkul. Untuk dijadikan menterinya –Menteri Pertahanan (Prabowo) dan Menteri Pariwisata (Sandiaga Uno).

Saya setuju dengan pandangan Mahbubani itu. Dalam hal itu.

Tidak hanya itu. Mahbubani juga menyebut membaiknya Gini indeks –angka kesenjangan kaya-miskin di masa Jokowi. Tentu juga memuji pembangunan jalan tol di mana-mana. Mahbubani pun mengapresiasi kartu pintar dan kartu sehatnya Jokowi.

Mahbubani menjadikan Indonesia dan Jokowi sebagai contoh "keberhasilan tidak selalu menarik untuk dibicarakan". Orang bisa lebih asyik membicarakan kegagalan.

"Padahal Indonesia itu salah satu negara yang paling sulit ditangani," tulis Mahbubani.

Indonesia begitu luas. Berpulau-pulau. Penduduknya besar. Sistemnya demokrasi. Mayoritas Islam," begitu kurang lebih Mahbubani membayangkan betapa tidak mudah memimpin Indonedia. "Mengapa tidak banyak yang melihat ke keberhasilan Indonesia itu," tulisnya.

Jelaslah artikel itu untuk konsumsi pembaca dunia. Bukan hanya untuk konsumsi dalam negeri Indonesia.

Kita tentu senang ada promosi Indonesia yang positif di panggung dunia. Yang dilakukan seorang tokoh besar seperti Mahbubani.

Tentu pembaca dunia tidak peduli dengan kasus-kasus lokal: kereta cepat Jakarta-Bandung, tol laut atau pun SWF yang belum juga bisa memberi exit dari beban utang proyek-proyek besar. Semua itu urusan dalam negeri Indonesia(. Yang harusnya jadi tugas penulis dalam negeri untuk menjadi Mahbubani lokal.

Mahbubani warga Singapura, tinggal di Singapura. Umurnya kini 74 tahun. Ia masih laris jadi penasihat banyak lembaga pendidikan, politik maupun bisnis di banyak negara - -termasuk penasihat salah satu lembaga kajian di Golkar Indonesia.

Nasihatnya memang banyak didengar –kecuali oleh India, negara kelahiran ayahnya sendiri.

Tiga bulan lalu ia "menasihati" Amerika Serikat. Ia minta Amerika untuk jangan musuhan dengan Tiongkok. Ia juga minta: bebaskanlah Meng Wanzhou, bos Huawei yang ditahan di Kanada itu.

Kini Amerika sudah mengendurkan ketegangannya dengan Tiongkok. Inflasi yang naik di Amerika membuat Presiden Joe Biden akan melonggarkan lagi bea masuk barang Tiongkok. Dan, Anda sudah tahu, Meng sudah dibebaskan. Bisa jadi semua itu bukan karena Amerika mendengarkan nasihat Mahbubani. Amerika sendiri punya banyak orang yang lebih pintar dari guru besar Singapura itu.

Justru India yang membuat Mahbubani kelihatan jengkel. Harusnya, kata Mahbubani, India jangan lagi musuhan dengan Tiongkok. "India itu serba sangat emosional," ujarnya dalam satu wawancara media belum lama ini.

Tahun 1980, katanya, kekuatan ekonomi India itu persis sama dengan Tiongkok. "Sekarang tinggal seperlimanya," katanya.

Mahbubani mengusulkan ketegangan di perbatasan India-Tiongkok itu diakhiri. Caranya: jangan ada tentara penjaga perbatasan. Ganti manusia itu dengan teknologi. Agar tidak ada faktor emosi.

"Begitu banyak masalah lain yang harus diselesaikan. Kenapa terlalu fokus di sengketa perbatasan," ujarnya.

Ia memberi contoh untuk meniru fleksibilitas Vietnam. "Vietnam itu punya masalah perbatasan yang serius dengan Tiongkok. Sampai perang beneran. Juga punya masalah lain, sengketa di satu pulau," katanya. "Tapi perdagangan kedua negara jalan terus. Tiongkok adalah partner dagang terbesar Vietnam," katanya.

Pandangan Mahbubani seperti itu yang saya sukai - -meski saya juga menyukai hobi Mahbubani yang lain: mendengarkan lagu-lagu India yang dinyanyikan penyanyi terkemuka Muhamad Rafi (almarhum). Tentu saya juga menyukai pemikiran Mahbubani yang berikut ini:

India itu, mestinya, lebih bisa mewarnai seluruh Asia Tenggara. Budaya India itu  begitu dalam merasuk di seluruh Asia Tenggara. Di Filipina saja pertunjukan Mahabarata sangat dibanggakan. Padahal penduduknya Katolik.

Apalagi di Singapura. Orang India begitu banyak. Sampai-sampai ada istilah "Singapura itu kota terbersih di seluruh India".

Bagaimana kalau India akhirnya mau mendengarkan pendapat Mahbubani? Sehingga India maju sekali? Dan kekuatan India pun menjadi setara dengan Tiongkok?

Mungkin Anda akan berkata: menghadapi satu Tiongkok saja pusing. Apalagi tambah satu India.

Atau jangan-jangan kita justru bisa seperti dalang Enthus Sosmono: bisa memainkan wayang potehi dan wayang Ramayana.