Signifikasi Pajak dan NIK

  Ilustrasi/Current Affair
Ilustrasi/Current Affair

PAJAK itu tidak wajib. Pajak itu perkara perdata. Pajak bisa dibayar atau diterapkan jika  seseorang melakukan tindakan yang berdasrkan UU Pajak dapat dikenai pajak. Jika tidak melakukan apa apa, maka tidak dapat dikenai pajak. Penyebutan wajib pajak itu mengandung kesan manipulatif dan berwatak menindas.

Secara history pajak itu budaya warisan kolonial. Bangsa Indonesia pernah melakukan perlawanan mati-matian terhadap sistem pajak. Salah satunya adalah perang yang dilancarkan pasca pemberlakuan sistem pajak Raffles di Hindia Belanda (wilayah Indonesia sekarang). Datuk Maringih juga melawan pajak kolonial. Penerapan pajak warisan kolonial bertentangan dengan semangat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Pajak sendiri merupakan ajaran negara-negara yang menganut paham welfare state atau negara kesejahteraan. Sebuah sistem negara yang berpijak pada paham kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai alat mendistribusikan kekayaan dari si kaya ke si miskin. 

Di negara kapitalis, konsep itu gagal dijalankan dan menjadi tempat di mana ketimpangan ekonomi dan pendapatan amat tinggi. Sementara Indonesia adalah negara yang didasarkan pada Pancasila yang sistem ekonominya gotong royong atau tolong menolong. Pajak hanya diatur dalam satu pasal UU amandemen yang bunyinya Pasal 23A

Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang (Amandemen ke 3 UUD ). Jadi pengaturan pajak dan pungutan menurut UU seharusnya mengacu pada pancasila preambul UUD 1945. Kata memaksa dalam UUD muncul dalam UUD amandemen, masih kontroversi dan lemah secara historis dan sosilogis.

Sedangkan Nomor Induk Kependudukan adalah kewajiban negara. Siapa pun warga negara Indonesia harus memiliki NIK. Tidak pedulia dia miskin atau kaya, NIK ini melekat sejak dia lahir hingga mati. 

NIK menyangkut kewarganegaran diatur dalam puluhan pasal UUD yang harus dipenuhi segala haknya oleh negara. Hak atas NIK tidak bergantung pada masalah perpajakan dan sebaliknya perpajan tidak bergantung pada NIK.

Lantas apa signifikasi pajak dan NIK? Tidak ada. Tidak semua orang yang memiliki NIK adalah subyek pajak. Seorang ibu rumah tangga, anak bayi, anak sekolah, fakir miskin, anak anak terlantar, mereka bukan subyek pajak orang pribadi. Jadi, rencana pemerintah untuk menempelkan surat tagihan pajak pada kelompok yang tidak ada urusannya dengan pajak orang pribadi adalah salah kaprah.

Belum lagi, data NIK di Indonesia masih kacau balau akibat korupsi berjamaah dalam  proyek e-KTP. Data perpajakan Indonesia setali tiga uang. Sehingga walaupun tax amnesty digelar berkali-kali, data pajak tetap kacau. Jadi pajak dan NIK adalah bertemunya dua hal yang masih sama sama kacau.

Pemerintah harusnya memahami bahwa usaha menjaring pajak dari orang pribadi hanya menjadi proyek sia-sia. Bahkan hal ini dapat mengulang kisah korupsi e-KTP. Kebutuhan dana untuk proyek ini tidak sebanding dengan hasilnya. Sebanyak 100 juta penduduk Indonesia berpendapatan USD 2 dolar purchasing power parity (PPP) yang tidak signifikan sebagai sumbyek pajak. 

Jadi langkah ini hanya akan menghabiskan anggaran dan buang buang waktu. Seharusnya pemerintah mengambil langkah yang masuk akal dalam mencari uang di tengah pandemi. Yakni dengan menggunakan UU Mutual Legal Assitance (MLA) untuk memburu aset rekening rahasia milik para pejabat Indonesia yang disimpan di luar negeri dan di dalam negeri dan disita oleh negara. Tercatat dalam dokumen menteri keuangan tentang uang Rp 11 ribu triliun yang disimpan orang-orang di Indonesia di rekening luar negeri.

Prioritas lainnya adalah memburu aset Panama Papers dan Pandora Papers yang di dalamnya juga terdapat banyak sekali pejabat Indonesia. Mereka mencoba penghindari pajak atas usahanya di Indonesia. Dua orang menteri senior Indonesia tercantum namanya di Pandora Paper. 

Jika pajak orang pribadi digenjot, tapi pejabat negara menghindari pajak, maka ini akan menjadi masalah. Hal ini bakal meruntuhan moral penyelenggara negara dan memicu penolakan dan bahkan pergolakan.

Pemerintah juga memiliki prioritas lain. Yakni untuk membenahi masalah data penerimaan negara berkaitan dengan eksplotasi sumber daya alam, terutama sekali ekploitasi hasil hutan, eksploitasi batubara, eksploitasi sawit, eksploitasi tambang emas tembaga dan bahan tambang lainnya. 

Pemerintah juga dituntut untuk menghentikan seluruh kegiatan ilegal yang sangat marak, mengubah sistem pembagian hasil eksplitasi kekayaan alam agar negara mendapatkan manfaat dari investasi yang selama ini banyak merugikan negara.  

Pemerintah juga bisa meningkatkan penerimaan negara dengan mengakiri korupsi pajak dan korupsi SDA, yang merupakan korupsi terbesar di Indonesia yang selama ini tidak tersentuh hukum.

Karena pajak yang dipungut dari orang pribadi semacam ini tidak akan berpengaruh terhadap pembangunan di tengah tingginya angka pengangguran dan kemiskinan. Bahkan kewajiban bunga utang dan cicilan utang pokok tahunan setara penerimaan pajak Indonesia. Sementara penerimaan dari bagi eksploitasi sumber daya alam dihilangkan secara sistematis melalui regulasi. Alahmak.

Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia.