Sesak Jubah Kemunafikan

Pegiat sosial dan aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari, Yusuf Blegur/Net
Pegiat sosial dan aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari, Yusuf Blegur/Net

BENAR dan terbukti apa yang dikatakan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam Al Quran. Bahwa sesungguhnya demi masa manusia dalam keadaan merugi. Betapapun Al Quran telah diturunkan menjadi panduan hidup sebagai petunjuk dan pembeda, kerap kali manusia lebih senang memilih jalan kesesatan. Selain mengabaikan apa yang menjadi perintah dan larangan-Nya. Semakin banyak yang dzolim pada dirinya sendiri dan berbuat keji pada orang lain. 

Bahkan di Indonesia yang dikenal sebagai negara yang masyarakatnya religius dan memilki keluhuran adab ketimuran yang tinggi sekalipun. Kian kemari terasa meninggalkan nilai Ketuhanan dan kemanusiaan. Ada pergeseran drastis dari masyarakat yang terbiasa menggengam nilai-nilai, kini mengejar materi.

Bangsa Indonesia kini bermetamorfosis menjadi masyarakat primitif di era modern. Menjadi jahiliyah di tengah peradaban yang mengusung kemajuan informasi dan teknologi. Atas nama Panca Sila, atas nama UUD 1945 dan atas nama NKRI. Juga atas nama Rakyat Indonesia. Pada akhirnya hanya menjadi jargon-jargon  dan simbol yang memuakkan.

Kehidupan mayoritas orang Indonesia tidak hanya berlandaskan prinsip-prinsip liberal dan sekuler. Tanpa sadar ataupun dengan  penuh kesengajaan. Pemimpin-Pemimpin dan kebanyakan  rakyat Indonesia cenderung menjadi masyarakat materialistik dan hedon.

Seakan manusia hanya hidup di dunia mencari kenikmatan dan kepuasan semata. Mengejarnya dengan segala cara dan resiko apapun sampai mati. Persfektif kehidupan akherat dianggap sebagai sebuah fantasi dan ilusi.

Masyarakat yang secara esensi dan subtansi miskin spiritual dan kerapkali menjual aqidahnya. Dalam tinjauan struktur sosial dan sistem nilai. Negara Indonesia tak ubahnya tempat  berhimpun masyarakat tak beragama.

Satu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, agama menjadi simbol dan formalitas semata. Agama hanya kelengkapan status sosial dan sekedar pemantas. Sementara keberadaan Tuhan dianggap sesuatu yang absurd dan dan tak berwujud sebagai solusi problematika kehidupan manusia.

Berhala Modern

Kecenderungan menumpuk harta, memburu jabatan dan mengekplotasi kenikmatan hidup di dunia. Seiring waktu membentuk habit dan melahirkan perangai komunal. Perilaku ndividual dan egosentris menjadi terlanjur kuat mendominasi dan menghegemoni interaksi sosial dalam tananan personal, kelompok atau golongan dan negara.

Apa yang kemudian dikenal dengan istilah kebebasan hakiki dan  privasi muncul sebagai keangkuhan pribadi. Pola ini semakin mengokohkan superiotas individual dalam ranah sistem kapitalistik. Sementara negara jumawa mengubur agama dan mengusung sekulerisme dan liberalisme. Rakyat terus disuguhi menu multi distorsi.

Indonesia melahap makanan campur aduk monarki, otokrasi, oligarki, borjuasi korpirasi, otoritarian dsb. Demokrasi cuma basa-basi. Di lain sisi agama sejak lama dianggap candu masyarakat. Islam diposisikan sebagai bahaya laten.

Indonesia yang kaya sumber daya alam dan memiliki beragam potensi lainnya. Sayangnya hanya ditempatkan sebagai obyek penderita. Setelah menjadi pasar bagi dunia. Tempat orang berdagang dan transaksi. Maka jual beli lintas barang dan modal itu. Hanya menampilkan tawar menawar dan kesepakatan. Bersamaan dengan itu  yang utama dan  paling penting adalah perputaran keuntungan dan pengelolaan modal berkesinambungan.

Dalam suasana hiruk-pikuk pasar dunia yang sesungguhnya merupakan globalisme. Tempat siasat dan manuver ideologi dunia yang licik. Selain dikeruk hartanya, masyarakatnya menjadi  serakah dan bermental korup. Berwajah bengis dan menindas. Tidak berhenti disitu. sebuah kerugian yang teramat besar mengikuti semua kerusakan sistem itu.

Masyarakat Indonesia mulai menggadaikan agamanya. Menjual aqidahnya. Tanpa malu melecehkan syariat. Mengabaikan kekuasaan Tuhan yang  sebenarnya. Menuhankan harta dan jabatan demi kesenangan dunia. Kemudian dengan tanpa beban. Semuanya menjadi berhala modern. Begitu bangga dan penuh kesombongan,  hidup dengan menghirup nafas kemunafikan.

Penulis adalah pegiat sosial dan aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari