- Panggung Besar
- Menunggu Takdir
- Quick Count
DI SINGAPURA beredar meme lucu: makan nasi dengan lauk paha ayam. Bukan ayam beneran. Paha ayam yang terbuat dari nasi.
Ayam beneran memang lagi langka di Singapura. Khususnya ayam segar. Itu karena Malaysia menghentikan ekspor ayam segar ke Singapura. Sebanyak 3,6 juta ekor setahun. Sejak awal bulan tadi.
Malaysia bukan sedang marah ke Singapura. Penghentian ekspor itu mirip yang dilakukan Presiden Jokowi di bidang minyak goreng: demi ketersediaan daging ayam di dalam negeri.
Ekspor membuat harga daging ayam di Malaysia melonjak. Emak-emak di sana ngomel. Marah. Perdana menteri Malaysia turun tangan. Ia ikut cara Pak Jokowi: larang ekspor.
Tentu masih ada yang jual daging ayam di Singapura. Tapi, tidak ada lagi daging ayam segar. Yang ada tinggal daging ayam beku. Yang diimpor dari Amerika. Atau dari Brasil. Stok ayam beku cukup. Untuk empat bulan ke depan.
Para penjual daging ayam segar pun –umumnya suku Melayu– menutup kios mereka di pasar basah Singapura.
Negara pulau itu memang yang paling dag-dig-dug di masa seperti ini. ”Sekarang ayam segar. Lain kali bisa sayur. Kita harus siap,” ujar Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.
Apalagi setelah Indonesia melarang ekspor CPO. Dan India melarang ekspor gandum. Negara mana pun bisa tiba-tiba melarang ekspor bahan pangan. Menurut catatan WTO –badan perdagangan dunia– sekarang ini tercatat sudah 20 negara melarang ekspor bahan pangan.
Padahal, Singapura sangat bergantung pada hasil pangan impor. Singapura tidak mungkin mengembangkan pertanian tradisional di dalam negeri.
Memang berbagai upaya agar bisa mandiri dilakukan. Salah satunya dengan urban farming. Cara lainnya: memproduksi daging ayam lewat pengembangan sel.
Temasek, raksasa BUMN Singapura, ikut memberikan suntikan dana besar. Yakni, ketika Benjamin Swan mendirikan Sustenir. Itu adalah start-up di bidang urban farming.
Sustenir mendapat izin membangun 40.000 kaki persegi pertanian vertikal. Perusahaan itu merencanakan memproduksi 240 ton sayur segar.
Rupanya tidak semudah cari modal. Belum bisa dikatakan berhasil. Tapi, Temasek tidak menyerah. Manajemen Sustenir dirombak. Benjamin tidak boleh lagi jadi CEO. Ia hanya boleh jadi pemegang saham minoritas. Kalau toh namanya tetap tercantum di susunan direksi, itu hanya direktur non-eksekutif. Dicarilah pengurus perusahaan yang independen.
Benjamin sendiri awalnya bergerak di bidang konstruksi. Ia ikut membangun ikon baru Singapura: gedung kasino Marina Bay. Yang Anda pasti sudah pernah ke sana. Yang bentuk atasnya seperti kapal itu.
Sembilan tahun lalu Benjamin mulai mencoba menanam sayur kale. Itu jenis sayur yang mahal. Yang sangat cocok untuk salad. Benjamin menanam kale di dalam ruangan. Di sebelah kolam renang. Berhasil. Di skala kecil.
Lalu, Benjamin mencoba menanam stroberi. Yakni, buah yang hanya tumbuh di udara dingin. Juga berhasil. Di skala uji coba. Maka, Benjamin mendirikan perusahaan start-up: Sustenir. Ia menghimpun dana dari publik. Investor tertarik.
Benjamin mampu mengumpulkan dana sampai sekitar Rp 350 miliar. Banyak yang tertarik pada start-up Benjamin. Termasuk Temasek.
Seperti umumnya start-up, Sustenir pun rajin bakar uang. Perusahaan itu belum bisa dikatakan berhasil, tapi nilai perusahaannya sudah mendekati Rp 1 triliun.
Di mata kita, besarnya nilai perusahaan itu memang agak ganjil: di negara yang tidak punya sawah dan kebun, bisa lahir perusahaan bidang pertanian yang nilainya Rp 1 triliun. Itu karena Benjamin pintar memanfaatkan emosi ”swasembada pangan”. Pun untuk negara seperti Singapura. Begitu mudah menakut-nakuti Singapura: dengan ancaman akan terjadi krisis pangan. Sumber makanannya begitu terbatas.
Maka, Singapura pun punya program yang disebut ”30/30”. Di tahun 2030 nanti, 30 persen bahan pangan Singapura harus dihasilkan di dalam negeri. Urban farming itu harus berhasil. Saat ini Singapura hanya memproduksi pangan 10 persen dari kebutuhan. Selebihnya harus impor: ayam, babi, sapi, sayur, kedelai, kacang, dan apa saja.
Krisis daging ayam sekarang ini juga mendorong industri daging ”tiruan” lebih serius. Belum juga berhasil. Secara teknologi sangat masuk akal. Sudah sukses. Mesin tersebut sudah menghasilkan daging ayam tanpa memelihara ayam.
Rasanya sudah rasa ayam. Warnanya sudah warna ayam. Teksturnya pun sudah tekstur ayam. Tapi, harganya masih jauh lebih mahal daripada ayam dari Malaysia.
Soal harga masih memusingkan. Setidaknya sudah ada gambaran jelas: tanpa Malaysia, orang Singapura tetap bisa makan ayam –meski mahal.
Mungkin Singapura akan menyewa lahan pertanian. Perkiraan saya. Bisa di Malaysia. Bisa di Bintan. Atau di Riau daratan. Di mana pun di Indonesia. Ia bisa menanam sendiri, di lahannya sendiri, di Indonesia.
Singapura sudah banyak membantu program pertanian di Riau sampai Aceh. Syaratnya: harus menggunakan benih yang ditemukan Singapura dan menjalankan sistem pertanian yang disusun Singapura. Padi dan sayur
Singapura dianggap unggul di tanah-tanah uji coba mereka di beberapa negara. Termasuk di Sumatera.
Singapura memang punya banyak uang. Ia bisa melakukan apa saja dengan uangnya itu. Penduduknya pun mampu membeli bahan pangan. Biarpun mahal. Pengeluaran warga Singapura untuk membeli pangan sangat kecil.
Hanya kurang 10 persen dari penghasilan. Bandingkan dengan kita: 30 persen penghasilan habis untuk membeli makanan.
Krisis pangan terjadi di mana-mana. Indonesia tergolong dapat berkah. Dua tahun terakhir tingkat hujan di Indonesia sangat baik. Pertanian berjaya. Kecuali buah dan tembakau –yang di masa pembuahan kurang suka hujan.
Tahun ini hasil buah kita kurang baik. Pun Malaysia. Panen durian musangking-nya pun kurang banyak.
Petani kita tetap bisa jadi andalan ketahanan pangan nasional. Nasib mereka sendiri saja yang kurang baik. Kurang bisa menikmati kenaikan harga-harga itu. Petani kita bukan Bayan.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Panggung Besar
- Menunggu Takdir
- Quick Count