Kesadaran Politik Kaum Milenial

Bakhrul Amal (paling kiri) dan Direktur Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, Erik Kurniawan/RMOL
Bakhrul Amal (paling kiri) dan Direktur Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, Erik Kurniawan/RMOL

HAMPIR tiga puluh tahun, atau setidaknya jika dihitung dari pertama kali William Strauss dan Neil Howe mencetuskan istilah milenial, wajah politik kita selalu tua. BJ Habibie menjadi Presiden ketika usianya masuk 62 tahun dan berturut-turut Abdurrahman Wahid (59 tahun), Megawati (54 tahun), Susilo Bambang Yudhoyono (55 tahun) dan terakhir Jokowi (53 tahun).

Kalangan milenial, dengan rata-rata usia 25-40 tahun, yang digadang-gadang akan menjadi penentu nyatanya tak jua menemukan panggungnya. Bahkan nahasnya kaum milenial kadang justru menjadi penyangga panggung manakala panggung itu hendak rubuh.

Problem ini datang bukan ujug-ujug. Bukan seperti bumi yang selalu patuh berputar pada porosnya. Problem kurangnya keterlibatan milenial di dalam dunia politik, utamanya dalam jabatan-jabatan yang memiliki pengaruh publik, disebabkan oleh keadaan dan sikap milenial itu sendiri dalam memandang politik.

Padahal jika kaum milenial mau memahami bahwa semua yang terjadi hari ini dan yang akan datang itu amat dipengaruhi oleh politik. Louisa Valenzuela, sastrawan ternama, bahkan mengatakan dunia ini bernafas politik, tidak hanya soal kebebasan berpendapat, hak asasi manusia, tetapi soal gaya berpakaian, makan, hingga perkara berak pun politik.

Partai Politik

 Tahun lalu Indopol Survey & Consulting merilis survey perihal Arah Politik Milenial di Pemilu 2024. Hasil survey tersebut menemukan bahwa kaum milenial sangat meminati partai berideologi nasionalis religius dengan angka 26,57 persen. Berurutan kaum milenial kemudian memilih partai berideologi nasionalis dengan angka 18,11 persen, Islam atau religius 8,07 persen, sosialis religius 6,30 persen, dan sosialis 4,53 persen, lainnya 0,20 persen.

Sayangnya, persentase di atas hanyalah hitungan preferensi pilihan. Bukan hitungan keinginan keterlibatan di dalam partai politik itu sendiri.

Kaum milenial adalah kaum yang merasa tidak dapat bekerja dengan keterikatan dan tanpa kepastian. Mereka berada dalam nuansa fluid, nuansa cair. Hal itu memengaruhi minat mereka untuk mengenal dan terlibat ke dalam partai politik. Bisa dikatakan pilihan kalangan milenial untuk masuk ke dalam partai politik adalah pilihan yang terpaksa.

Belum lagi hitungan milenial itu sendiri terhadap resiko yang harus mereka peroleh ketika mereka memilih terlibat di dalam partai politik. Risiko itu antara lain adalah risiko untuk tidak dapat bekerja di lingkungan yang menuntut mereka netral seperti ASN, PPPK, ataupun perusahaan swasta yang non politik.

Padahal untuk dapat duduk di berbagai jabatan politik pintu masuknya utamanya adalah melalui partai politik. Tidak ada satu jabatan politik pun, mulai dari DPRD, DPR RI, DPD, Bupati, Walikota, Gubernur, hingga Presiden, yang tanpa melalui partai politik.

Hal ini kemudian mengakibatkan milenial tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya menjadi objek perubahan dari semestinya menjadi subjek yang mempengaruhi dan mewujudkan perubahan.

Biaya Tinggi

Mahalnya biaya politik bagi seseorang yang berminat memangku jabatan politik sudah menjadi rahasia umum. Jumlahnya bervariasi dari ratusan, miliaran, hingga puluhan miliar tergantung jabatan politik apa yang hendak disasar.

Ongkos kontestasi ini tentu bukanlah hal yang mudah dipenuhi oleh milenial. Terlebih menurut data jumlah pengangguran terbuka saat ini mencapai angka 9,1 juta penduduk. Nahasnya milenial berada diantara jumlah tersebut.

Problem ini menjadi problem utama yang membuat milenial memilih menjadi pemilih ketimbang pelaku. Lebih cenderung memberikan harapan kepada mereka yang tentu punya komitmen politik dengan partai politik ketimbang kepentingan milenial itu sendiri.

Untuk itulah menurut Ward Berenschot, seorang peneliti Belanda, biaya politik harus diturunkan. Tingginya biaya politik itu memiliki kaitan erat dengan fenomena politik transaksional. Yang akibatnya adalah keberlangsungan demokrasi ke depan tidak lagi berorientasi pada terwujudnya tatanan masyarakat dari, oleh, dan untuk

rakyat tetapi berorientasi pada politik transaksional antar elite.

Perubahan Gerakan

Jika memang pilihan untuk masuk ke dalam partai politik merupakan pilihan yang sulit. Pun jika terlibat sebagai kontestan adalah hal yang musykil. Maka milenial yang jumlahnya di tahun 2024 ini mencapai kurang lebih 60 persen harus mencari formulasi lain, formulasi di luar kontestasi, yang dapat memperjuangkan harapan-harapan milenial.

Formulasi itu adalah formulasi membangun ruang-ruang kesadaran bersama seperti yang dilakukan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) di Cirebon dengan tema Political Cheerfull, Sabtu 18 Juni 2022 kemarin. Kesadaran sebagaimana disebutkan Bertolt Brecht bahwa buta terburuk adalah buta politik. Buta yang dengan kebutaan itu dia tidak tahu bahwa harga makanan pokok, harga tempat tinggal, harga obat, dan lain-lain bergantung pada politik.

Oleh sebab itu milenial harus sadar bahwa penting menguasai segala macam hal termasuk ilmu di dalamnya tentang politik. Tugas, pokok, dan fungsi jabatan-jabatan publik harus dipahami secara rigit dan benar sesuai peraturan perundang-undangan.

Kesadaran itu nantinya akan membuat milenial memiliki daya tawar sebagai bagian checks and balances jabatan-jabatan politik yang akan mempengaruhi mereka dengan kebijakannya.

Kesadaran itu pulalah yang nantinya akan membuat milenial dipandang kuat tidak hanya dari sisi jumlah tetapi juga dari sisi gagasan.

*Penulis adalah Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta