JPU Tuntut Bendahara Dusun 12 Tahun, Kajari Pasuruan Dilaporkan ke Jamwas

Ahmad Riyadh/ist
Ahmad Riyadh/ist

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya di Sidoarjo, kembali menggelar sidang perkara korupsi dengan terdakwa Samut, Bendahara Dusun Jurang Pelen, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan.


Dalam sidang tersebut, terdakwa Samut dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Kabupaten Pasuruan, Dimas Angga selama 12 tahun penjara.

Tuntutan yang dilayangkan tersebut karena Samut didakwa melakukan korupsi perihal menjual tanah urug. Tanah tersebut, diklaim sebagai tanah kas desa (TKD).

"Menuntut pidana 12 tahun (tuntutan) penjara," kata Dimas saat membacakan surat tuntutan di PN Tipikor Surabaya di Sidoarjo, Selasa (5/7).

JPU menyebut, perbuatan terdakwa dinilai merugikan negara. Bahkan, mencapai Rp 3,32 miliar.

Dalam dakwaannya, Samut dinilai diuntungkan. Sebab, melakukan jual beli tanah urug yang diklaim berstatus TKD.

Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Ahmad Riyadh menegaskan, tuntutan JPU itu dianggap tuntutan yang emosional. Menurutnya, perkara kliennya itu seyogyanya bukan perkara korupsi.

"Saya kira tidak tepat kalau (terdakwa dijerat) korupsi, boleh dibandingkan dengan perkara lain," jelas Riyadh.

Riyadh menegaskan, kliennya hanya menjabat sebagai bendahara dusun. Namun, dituntut 12 tahun.

"Jaksa terkesan emosional sekali. Mungkin, ada pidananya, seperti soal izin tambang atau Undang-Undang soal Lingkungan," lanjutnya.

Riyadh mengungkapkan, tingginya tuntutan JPU pada kliennya dinilai tak wajar. Lalu, ia membandingkan kasus kliennya dengan perkara korupsi pejabat daerah setingkat bupati.

Riyadh mencontohkan, kasus suap eks Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat. Dalam tuntutannya, JPU menuntut pidana penjara selama 9 tahun. Namun, oleh hakim, divonis penjara selama 7 tahun.

Begitu juga dengan perkara gratifikasi Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko. Ia menganggap, Eddy hanya dituntut 8,5 tahun. Namun, divonis penjara 7 tahun.

Menurutnya, tidak ada saksi mau pun sejumlah bukti yang menguatkan perihal terdakwa melakukan perbuatan pidana. Yakni, mengeruk tanah di TKD, Bulusari.

"Banyak perkara lain yang tuntutannya tidak setinggi perkara terdakwa (Samut)," tuturnya.

Riyadh memaparkan, gelar perkara kasus itu telah dilaksanakan di Kejaksaan Agung. Menurutnya, kala itu hasil gelar menyatakan kasus tersebut harus dihentikan. Sebaliknya, oleh Kejari Pasuruan, kasus tersebut malah dinaikkan. Bahkan, ketika sidang perdana, Samut langsung ditahan.

"Dia (Samut) tidak melakukan pengerukan tanah di TKD, melainkan di tanah milik swasta. Klien kami hanya rakyat kecil," katanya.

Terkait naiknya kasus hingga ke meja hijau atau persidangan, Riyadh menegaskan sudah melaporkan Kajari Pasuruan ke Jaksa Muda Pengawasan (Jamwas) Kejagung RI. Ia mengklaim, naiknya kasus kliennya itu bertolak belakang dengan hasil gelar perkara di Kejagung.

"Sudah kami laporkan ke Jamwas," tegasnya.

Terkait nilai dan jenis kerugian negara, Riyadh mempertanyakan perhitungan BPKP. Terlebih, perihal berkurangnya volume tanah di lokasi Tanah Kas Desa sebelah timur.

Riyadh beranggapan, hal itu bukan terkait kompensasi dari ritase truk yang diterima warga Dusun Jurang Pelen 1. Sementara, dalam tuntutan JPU, sambung Riyadh, menambahkan kerugian negara dari uang kompensasi tersebut.

"Yang notabene terhadap hal tersebut tidak ada," kata Riyadh.

Ketika ahli BPKP dihadirkan ke persidangan, Riyadh menyatakan bila ahli tak bisa menjelaskan mengalir pada pihak siapa. Begitu pula denhan penguasaan kerugian negara tersebut.

"Ahli BPKP menyatakan dirinya tidak mengetahui aliran kerugian negara kepada siapa dan dikuasai siapa," jelasnya.

Dalam pembelaannya, Samut menyatakan bila dirinya tak bersalah dalam kasus tersebut. Ia mengaku tak habis pikir dengan perkara yang membelitnya tersebut.

"Saya tidak mengeruk tanah kas desa. Saya punya surat perintah kerja itu," katanya.

Oleh karena itu, ia bersikukuh tidak mengeruk tanah milik TKD. Tapi, tanah yang digarap tersebut adalah milik swasta.