Sidang Kasus SPI Hadirkan Kak Seto, Saksi Ahli Sebut Data Tunggal Tidak Lengkap Harus Ada Data Pembanding 

Tim kuasa hukum JE dan Ketua LPAI Dr Seto Mulyadi usai sidang sebagai saksi ahli di PN Kota Malang, Senin (4/7)/Ist
Tim kuasa hukum JE dan Ketua LPAI Dr Seto Mulyadi usai sidang sebagai saksi ahli di PN Kota Malang, Senin (4/7)/Ist

Sidang perkara dugaan asusila di Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) dengan terdakwa JE menghadirkan saksi ahli Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Dr Seto Mulyadi atau lebih akrab disapa Kak Seto. 


Agenda sidang saksi ahli dari kuasa hukum terdakwa ini memasuki sidang ke-20 dan digelar di ruang Cakra, Pengadilan Negeri (PN) Kota Malang, Senin (4/7) kemarin. 

Ditho Sitompul, kuasa hukum terdakwa JE mengatakan, pihaknya menghadirkan Kak Seto dalam kapasitasnya sebagai ahli psikologi khusus anak. 

"Ahli kita hari ini dari psikolog. Tentu yang kita hadirkan orang yang punya kapasitas psikologi. Kak Seto sudah 40 tahun bergelut di bidang psikologi dan juga dia ketua LPAI. Kami menghadirkan Kak Seto untuk menunjukkan hal-hal yang sudah terungkap dalam persidangan selama ini. Sebab bagi kami, ada hal-hal yang tidak bisa membuktikan bahwa klien kami sebagai pelaku seperti yang diisukan selama ini," ujar Dhitho pada awak media usai sidang.  

Dalam sidang tersebut, tim kuasa hukum menanyakan kepada Kak Seto terkait data tunggal dari pihak korban apakah bisa disajikan sebagai alat bukti.  

"Kami menanyakan hal itu pada Kak Seto. Apakah dengan satu data tunggal dari korban dapat disajikan menjadi alat bukti. Dan menurut keterangan saksi ahli, bahwa data tunggal itu tidak lengkap. Harusnya ada data pembanding. Misalnya, diperiksa orang-orang di sekitarnya. Seperti orangtuanya. Atau bahkan pelaku juga diperiksa secara psikologi," terangnya.  

Lanjut Ditho, selama ini psikologi forensik memang mengaku bahwa data itu tidak lengkap. Karena itu pada awalnya, pihak penyidik diminta agar memeriksa pelaku meski hal ini disampaikan secara lisan. Tetapi tidak diijinkan.

"Menurut kami, data yang sekarang itu tidak lengkap karena hanya menyajikan dari satu sisi. Kita harus mendengarkan data dari satu sisi, kita harus mendengarkan dari kedua belah pihak," ungkapnya. 

Ditho menambahkan, dalam sidang kali ini, Kak Seto menegaskan bahwa Lembaga Perlindungan Anak Indonesia yang dipimpinnya adalah lembaga resmi. 

"LPAI adalah lembaga yang memiliki legal standing dan kekuatan hukum. Di luar dari lembaga itu tidak memiliki dasar hukum yang tepat. Jika ada yang mengaku-ngaku sebagai aktivis anak meskipun dalam perkara ini bukan lagi anak, maka kapasitasnya patut dipertanyakan," tegas Ditho. 

Kak Seto, imbuh Ditho, juga mempertanyakan dalam keterangannya, jangan sampai keinginan untuk membela anak malah menjatuhkan anak itu sendiri. 

"Jangan sampai membela anak dengan cara-cara tidak beretika dan berestetika, sebab itu dapat menjatuhkan anak itu sendiri. Karena itu harus disampaikan dengan cara baik seperti pesan Kak Seto," tuturnya.  

Ditho juga menceritakan bahwa saksi ahli selama ini sudah mengikuti perkembangan SPI. Dan sekolah ini dinilai Kak Seto memiliki standard internasional, dan anak-anak itu terlindungi di sana. 

"Ya, dia meyakini bila ada terjadi sesuatu hal di sana, mestinya sudah dari lama. Bukan belasan tahun kemudian," jelasnya. 

Apalagi Ditho mengungkapkan, bahwa Kak Seto pernah bertemu korban di SPI pada suatu show. Bahkan sempat terjadi dialog antara Kak Seto dan korban. Namun Kak Seto saat itu tidak melihat ada tanda-tanda aneh dari korban.    

"Kak Seto juga kenal dengan korban. Kak Seto melihat korban orangnya ceria dan optimis. Sewaktu dia datang ke sana tahun 2015, tidak ada isu-isu ini. Dia sendiri bilang bahwa dia dekat dengan anak-anak dan berdialog, tapi tidak pernah ada isu-isu seperti ini. Kalau memang ada isu dugaan pelecehan seksual, seharusnya puluhan tahun kemudian. Kalau orang memiliki kecerdasan, misalnya diludahin orang, saat itu kita pasti akan melawan. Bukan puluhan tahun kemudian mengaku 'saya dulu diludahi'," demikian Ditho.  

Sementara Kak Seto menjelaskan bahwa dalam persidangan tersebut, dirinya ditanya soal bedanya LPAI, KPAI dan Komnas Anak. Menurut Kak Seto, dulu pada tahun 1989, PBB mencanangkan konvensi hak anak. Namun pada tahun 1990, Indonesia meratifikasi konvensi itu. Lalu pada 23 Juli 1997, Presiden Soeharto mencanangkan Gerakan Nasional Perlindungan Anak. Kemudian dibentuklah Lembaga Perlindungan Anak Indonesia di tingkat provinsi hingga pusat. 

"Saat itu dikumpulkan para aktivis peduli anak, termasuk saya juga hadir. Kami diminta sendiri untuk menentukan lembaga ini. Akhirnya saya ketiban pulung ketua umum. Akhirnya diputuskan setiap tahun ada forum nasional. Pada tahun 1998, kami pakai nama populer karena sudah ada Komnas HAM dan Komnas Perempuan, maka kami pakai Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA)," tandas Kak Seto. 

Namun berdasarkan hasil pertemuan Forum Nasional Biasa Perlindungan Anak 2016, kata Kak Seto, penamaan dan penyebutan Komnas PA sudah tidak digunakan lagi. Penamaan organisasi kembali ke penamaan awal tahun 1997, yaitu Lembaga Perlindungan Anak Indonesia disingkat LPAI.  

"LPAI sama sekali tidak mengakui keberadaan organisasi Komnas PA karena penamaannya sudah disepakati kembali ke LPAI. Selain itu, sejarah dan kronologis organisasi kami adalah satu kesatuan informasi yang utuh sebagai informasi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan oleh pengurus LPAI baik periode 2016-2021, 2021-2026 serta periode selanjutnya," demikian Kak Seto.