Si Jono

Ilustrasi rokok/Net
Ilustrasi rokok/Net

INI kisah si Jono. Kisahnya sekekumit. Cuma, kalau mau dirunut ceritanya bisa panjang. Berjilid-jilid. 

Kemarin saya bertemu sahabat bapak. Namanya Jono. Lengkapnya tidak tahu. Orang-orang memanggilnya Jono. Itu saja.

Dia lulusan PNS. Alias pensiunan. 

Usianya tak lagi muda. 71 tahun. Kulitnya keriput. Pipinya cekung saking tuanya. Kalau tertawa yang terlihat gigi ompong. Bicaranya agak gratul-gratul. Mungkin karena usia tadi. 

Saya benar-benar pangling. Maklum sudah lama tidak bertemu. Sekali bertemu, wajahnya berubah. Maksudnya menua. Pun Jono, dia juga pangling dengan saya. 

Kendati begitu, Jono tetap ceria. Lincah juga. Hanya kecepatannya agak berkurang. Tapi pendengarannya masih oke. Ingatannya juga oke. 

Teman-teman sebaya Jono sudah meninggal semua. Termasuk bapak saya. 

Dia bilang, "Gak tahu kapan saya menyusul mereka," tukasnya sembari merogoh sesuatu dalam kantongnya.

Eh, ternyata rokok. 

"Masih merokok, Pak!" seru saya.

"Iya dong. Ga bisa kalo nongkrong gini tanpa rokok."

Jono sejak muda tak pernah lepas dari rokok. Sewaktu di kecamatan, rokok selalu menjadi teman setianya. Sampai-sampai dia sering diceramahi teman-teman kantor bahwa merokok itu tidak baik.

Cuek si Jono. 

Kali ini, rokok Jono beda dengan dulu. Sewaktu masih muda rokoknya Surya 12, kadang Surya 16. Sekarang ganti kretek. Merknya tidak terkenal. Harganya murah meriah. Cuma Rp 6.000/bungkus

"Murah meriah. Cuma nyarinya sulit. Di toko-toko tertentu saja yang jual. Mungkin rokok ilegal," kata Jono terbahak-bahak. 

Saya sempat lihat sekilas. Benar. Merk tidak terkenal. Di minimarket pasti tidak ada. 

"Makanya saya sudah siap serep," kata Jono lagi, lantas mengeluarkan satu bungkus dari kantongnya. 

"Ini kalau yang ini habis," jawabnya.

"Sampeyan habis berapa bungkus sehari?" tanya saya penasaran.

"Sehari dua bungkus," ujarnya. 

Beda lagi kalau ada pertandingan sepakbola. Jono bisa habis tiga bungkus. Tim kebanggaan Jono, ya Persebaya. Itu karena dia asli Surabaya. 

"Pas nonton bola bisa tiga bungkus," ujarnya.

"Edan!" pikir saya. 

Di usia senja, orang tua ini masih doyan merokok. Katanya rokok membahayakan kesehatan. Kok bagi Jono biasa-biasa saja. 

Tiga bungkus sehari lho

Bagaimana dia menjaga kebugaran tubuhnya? Apakah Jono menjaga pola makan? Apakah dia rutin berolahraga? Apakah dia tidak takut sakit gara-gara rokok?

"Ga pernah olahraga. Makan seadanya. Sing penting rokok."

"Tidak pernah sakit gara-gara rokok?" Tanya saya sambil membatin, kok bisa rokok 'TIDAK MEMBUNUHNYA'.

Dia menggeleng. 

"Alhamdulillah, sehat. Paling flu biasa."

"Sekarang lagi musim Covid, sampeyan sempat tertular gak?"

"Gak sih. Biasa-biasa saja."  

Apa mungkin rokok ini penyebab Jono tahan dari serangan Covid? Ah, pikiran gombal dan ngawur. Jono terbebas dari Covid memang belum waktunya saja. Bisa jadi sewaktu Covid mewabah, Jono sedang tiduran di rumahnya sambil mengisap berbatang-batang rokok. 

"Mas Novi sering berolahraga?" Jono tanya balik.

"Jarang, Pak!"

"Tapi merokok kan?"

"Iya."

"Sip, saya jadi ada teman. Soalnya teman-teman sebaya sudah tidak merokok lagi. Takut dimarahi istri," cerita Jono.

Weleh, si Jono bisa saja. 

Siang itu, kami pun terlibat dalam obrolan panjang. Sangat panjang sekali. Dari Jono saya mendapat cerita lucu. Termasuk saat dia mengendarai mobil bersama ibu saya dan teman-teman Satpol PP. 

Lagi enak jalan, tiba-tiba ban mobil copot dan meluncur sendiri. Pas ibu tanya kok mobilnya miring, Jono yang sedang nyetir cuma bilang, "Lha itu bannya menggelinding di depan," jawab Jono santai. 

Setiba di kantor, pak Camat menanyai Jono mengapa roda mobil bisa copot. Jono menjawab lugas, "gara-gara ada Krisdayanti yang menumpang. Mobilnya malu ditumpangi artis," celotehnya.

Ah, cerita Jono mengingatkan film Dono, Kasino, Indro saat main di film Chips.

*Wartawan RMOLJatim

ikuti terus update berita rmoljatim di google news