Berutang untuk Pulih dari Covid-19

Ilustrasi pemulihan ekonomi/Net
Ilustrasi pemulihan ekonomi/Net

KETIKA terjadi gangguan serangan Covid-19 sejak bulan Maret tahun 2020, pemerintah memilih untuk berutang guna menyelesaikan masalah Covid-19 dan untuk memulihkan perekonomian nasional.

Besar utang baru dan masih bercampur dengan agenda percepatan pembangunan fisik perekonomian, itu sebesar Rp 3230,2 triliun selama tahun 2020-2022.

Oleh karena hampir di semua negara di dunia terkena guncangan gangguan kesehatan masyarakat atas serangan pandemi Covid-19, maka dipilihlah mekanisme berutang dari metoda burden sharing.

Mekanisme tersebut memungkinkan Bank Indonesia melanggar prinsip independensinya dengan memberikan opsi pembiayaan APBN bersumber dari penjualan obligasi oleh Bank Indonesia untuk dapat dibeli oleh BUMN perbankan dan non perbankan, serta perusahaan swasta dan perorangan di dalam negeri.

Akan tetapi persoalannya bukanlah semudah pembukuan uang di saku kanan dapat dipinjam oleh uang di saku kiri, karena untuk dapat terbeli maka suku bunga utang pemerintah ditetapkan semakin tinggi dan periode pembayaran tenor yang tidak semakin panjang, melainkan beragam menjadi lebih pendek. Metoda burden sharing bukan hanya dipraktikkan oleh Bank Sentral di Indonesia, melainkan juga dipraktikkan oleh negara-negara lain di tingkat dunia.

Sumber alokasi pembiayaan utang terbesar pada APBN tahun 2022 berasal dari penjualan Surat Berharga Negara (SBN), yaitu sebesar 101,82 persen. Lebih besar dari 100 persen, karena terdapat pengelompokan akuntansi yang bersifat positif dan negatif dari akumulasi sumber-sumber utang dari dalam negeri dan luar negeri berdasarkan dari kegiatan berutang piutang.

Oleh karena belanja negara sebesar Rp 2.714,16 triliun dan pembiayaan utang yang baru sebesar Rp 973,58 triliun tahun 2022, maka penjualan SBN digunakan untuk mendanai belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah serta dana desa dengan alokasi sebesar 35,87 persen dari belanja negara pada APBN tahun 2022.

Persoalannya adalah seri dari SBN tidak mencantumkan jenis penggunaannya untuk kegiatan belanja pemerintah pusat yang mana saja, atau pun digunakan untuk mendanai kegiatan belanja pemerintah daerah dan rincian dana desa yang mana sajakah.

Akibatnya adalah lebih sulit dilakukannya evaluasi akuntabilitas dan efektivitas parsial penggunaan metoda pembiayaan bersumber dari SBN untuk melaksanakan kegiatan pembangunan nasional dan daerah.

Perbedaan dari semula pemerintah menggunakan paradigma pembiayaan pembangunan mayoritas dibiayai dari sumber pendapatan penerimaan perpajakan dan non perpajakan serta hibah, kemudian paradigma bergeser oleh semakin lebih besar menggunakan sumber pembiayaan dari penjualan SBN.

Persoalannya adalah kegiatan pembangunan nasional dan daerah, yang lebih banyak bersifat non profit, kemudian berubah diprivatisasikan dengan berbunga dan risiko atas pendanaan menggunakan suku bunga yang berbunga lebih tinggi, dan tenor pendek.

Penulis adalah peneliti Indef, yang juga pengajar Universitas Mercu Buana