Insiden Pengroyokan Siswa SMA di Surabaya, AH Thony: Kalau Provinsi Tidak Bisa Handle, Serahkan Kota

AH Thony/RMOLJatim
AH Thony/RMOLJatim

Insiden pengroyokan seorang siswa SMA Negeri (SMAN) di Kota Surabaya, oleh beberapa oknum siswa dan alumni yang diduga dari SMAN lain telah dilaporkan ke Polrestabes Surabaya. 


Pengroyokan ini lantaran salah satu pihak tidak terima dengan pertandingan basket antar sekolah.

Kasus ini pun mendapatkan perhatian dari Wakil Ketua DPRD Surabaya, AH Thony yang menyatakan bahwa pihaknya sangat menyayangkan insiden tersebut.

"Kami sebagai DPRD Surabaya mempertanyakan, bagaimana pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi atas penyelenggaraan kegiatan di tingkat SMA/K itu," ungkap Thony dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Senin (1/8).

Thony menyatakan, problematika pengroyokan ini merupakan yang kesekian kalinya terjadi, setelah adanya kendala siswa MBR saat mengenyam pendidikan di bangku SMA/K.

"Padahal sebelumnya itu kan ada masalah siswa MBR tingkat SMA, mulai saat masuk sekolah, bayar SPP hingga nebus ijazah. Kemudian, dihadapkan lagi dengan praktek jual beli kursi ketika masuk PPDB kemarin," ujarnya.

Menurutnya, seluruh perangkat pemerintahan, termasuk Forkopimda Provinsi dan Kota juga selalu membahas bagaimana ketertiban bisa berlangsung di Surabaya. 

Tapi, lanjutnya, untuk lingkup SMA/K sendiri tidaka ada naungan yang baik untuk siswa.

"Tidak ada naungan yang baik, sehingga kegiatan lomba olahraga berujung pada pengroyokan," kata Thony. 

Ia meminta pada aparat penegak hukum, untuk menangani kasus ini dengan sangat serius. 

Selain itu, Thony juga berpinta pada provinsi untuk lebih serius dalam pengawalan kegiatan.

"Jangan sampai provinsi lepas tangan. Kalau sudah ada kejadian begini kan mencoreng dunia pendidikan. Bahkan, kejadian ini berpotensi menanamkan kebencian yang nantinya bisa menjadi sebuah tradisi yang tidak diharapkan," paparnya.

Thony juga menilai bahwa pihak provinsi sendiri kurang sepenuh hati dalam kepengurusan pendidikan, sehingga banyak momen yang terlewatkan. 

Idealnya, kegiatan olahraga di Surabaya menjadi ajang persahabatan yang dapat meningkatkan hubungan antar sekolah.

"Ini kami melihat ada indikasi pembiaran, ada kesan ketidak seriusan dan tidak ada pengawasan sehingga siswa berjalan sendiri-sendiri. Ketika ada persoalan kecil, kalau kayak gini kan jadi besar," urainya.

Dia menuturkan, bila hal ini terus menerus terjadi maka Surabaya bisa saja dianggap sebagai kota yang bar-bar untuk para siswanya. 

Padahal, lanjutnya, sewaktu SMA/K dipegang oleh Pemerintah Kota Surabaya, sangat minim kejadian kekerasan di kalangan pelajar.

"Kita bukan bermaksud apa-apa, tapi kita bisa bandingkan bahwa siswa SMA/K saat dipegang oleh Kota itu hampir tidak ada kejadian (pengroyokan) itu. Kalau memang provinsi tidak bisa, ya bilang saja ke pemerintah pusat," tutur Thony.

Selain itu, dengan adanya kejadian ini, Thony menjelaskan bhwa pemerintah pusat dapat mengambil langkah evaluasi. 

Hal ini dapat menjadi pertimbangan selain Kota Surabaya, supaya SMA/K bisa dikelola oleh Pemkot atau Pemda masing-masing apabila mampu.

"Jadi kalau memang kabupaten atau kota mampu untuk mengelola SMA/K, ya lepaskan saja. Kalau tingkat daerah menyatakan tidak mampu, baru provinsi berikan intervensi," pungkas Thony.