Korupsi di Indonesia: Patologi Sosial ataukah Kerusakan Sistem Politik?

 Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

INDONESIA tidak lagi asing dengan kasus korupsi, setidaknya selama 5 tahun terakhir jumlah rata-rata kasus korupsi di Indonesia bisa mencapai 181 kasus. Pada 2021 semester 1, belum genap 1 tahun namun ICW telah menerima laporan sebanyak 209 kasus.

Korupsi bansos 2021 oleh Juliari Batubara, Menteri Sosial kala itu merupakan kasus korupsi yang sangat fenomenal, pasalnya kondisi pandemi tidak menghalangi nafsu jahat dan serakah para korup untuk melangsungkan operasi kerja korupsi di tubuh kekuasaaan.

Sangat menampar rakyat, mengetahui kenyataan bahwa yang melakukan penyelewengan adalah mentri yang seharusnya kaya empati akan penderitaan rakyat akibat pandemi covid-19 yang membawa dampak multidimensional.

Akan tetapi korupsi tersebut bukan satu-satunya yang paling mengguncang jagat tanah air, kasus yang terdahulu juga ikut mengukir sejarah, dari kasus korupsi dana haji hingga korupsi e-KTP yang masih sangat membekas di benak masyarakat.

Mau tidak mau, kita berdampingan dengan kenyataan bahwa negri ini adalah negri dengan budaya korup yang kental.

Bila merujuk pada definisi korupsi, korupsi adalah tindakan menyimpang dari tanggungjawab pada suatu otoritas atau bisa juga diartikan “sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi".

Korupsi merupakan salah satu bentuk maladministrasi, maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Berangkat dari definisi ini, maka tindakan korupsi merupakan tindakan yang sudah pasti dilakukan oleh penguasa, tidak mungkin rakyat jelata yang tidak memiliki otoritas hukum dan teritorial kekuasaan.

Korupsi oleh Kekuasaan

Tindakan korupsi yang terus dinormalisasi, resistan terhadap hukum dan budaya buruk yang dilestarikan, tentu dinamika kekuasaan ini akan mengakibatkan kerugian yang cukup besar baik pada instansi asal pelaku ataupun pihak terdampak lainnya.

Namun tidak cukup pernyataan bahwa korupsi merugikan negara lantas menjadi rem bagi penguasa untuk tidak korupsi, maka yang menjadi pertanyaan adalah “apakah para penguasa tidak mengerti konsekuensi akan perbuatannya? Tentu saja mereka mengerti, lalu bila mengetahui betul, lantas mengapa masih melakukan tindakan korupsi? Jawabannya adalah, tuntutan sistem politik yang kotor.

Terdapat fakta janggal untuk mengawali tulisan ini, Fakta yang janggal pertama yakni ditinjau dari pelaku korupsi, setiap kasus korupsi terjadi, yang tindak korupsi nya bisa merugikan negara sebesar triliunan rupiah, bahkan dilakukan oleh organisasi eksekutif yang dipilih langsung oleh presiden yakni kementrian, yang bukan saja sekedar instansi negeri berbadan hukum namun juga sebagai otoritas pelayanan publik yang terdiri dari beberapa bidang seperti ekonomi, pendidikan, sosial, dan sebagainya.

Tapi justru lumbung korupsi rata-rata berasal dari mereka yang menduduki jabatan tinggi. Jarang kita menemukan korupsi dilakukan oleh ketua RT misal, meski tidak menutup kemungkinan terjadi akan tetapi, lebih sering bupati hingga jabatan lebih tinggi lainnya.

Semakin tinggi jabatan seseorang maka semakin tinggi pula tuntutan politik uang. Bila menjadi lurah saja setidaknya membutuhkan suara beberapa kepala RT dan RW yang mampu memobilisasi beberapa kepala keluarga, terbayang bila menjadi seorang bupati berapa rakyat yang harus diakomodir dan dimobilisasi suara untuk mendapatkan kemenangan telak, dan politik tidak murah.

Tidak mungkin seseorang menang tanpa ada sepeserpun uang yang digelontorkan mulai dari menyiapkan biaya komunikasi politik, melalui kampanye, agitasi, atau bahkan baliho dan bendera parpol tertentu yang sepanjang jalan menghiasi kota-kota besar.

Kekuatan seorang calon untuk maju pada gelanggang pertandingan politik tidak mudah, seseorang harus memilki popularitas sebagai batu loncatan, seseorang harus memilki daya kharismatik untuk memengaruhi orang banyak, dan tentu saja uang, karena modal politik di sistem demokrasi tidak terlepas dari uang.

Maka bisa bayangkan apa yang para penjabat lakukan setelah terpilih sebagai pemimpin ataupun wakil rakyat? Ya, tentu saja upaya balik modal, mengutip perkataan bupati Banjarnegara yang mengatakan bahwa gaji seorang bupati amatlah kecil, maka tak heran jalan kotor pun ditempuh guna upaya balik modal biaya politik yang telah dikeluarkan besar-besaran kala menjadi kandidat dan calon.

Kemudian kejanggalan selanjutnya adalah pelaku korupsi yang selalu sebatang kara, contoh saja pada kasus korupsi bansos, mentri sosial yakni Juliari saat itu ditangkap hanya seorang diri, lantas mengherankan dengan kasus korupsi yang sangat fenomenal tersebut dapat dilakukan seorang diri jelas tidak mungkin.

Lantas apakah korupsi ini adalah sebuah tindakan yang dilakukan sebagai penyimpangan segelintir orang saja? Ataukah memang tercipta dan terlahir dari sistem yang rusak?

Korupsi sebagai Patologi Sosial

Diawal kita bersepakat bahwa korupsi merupakan tindakan yang menyimpang, bila dikaitkan dengan patologi sosial secara terminologi, patologi merupakan penyakit, istilah ini juga sering digunakan dalam kopendium kedokteran, lantas bagaimana dengan patologi dalam realita sosial?

Bayangkan tatanan sosial merupakan organisme yang didalamnya terdapat kumpulan dari sistem-sistem yang terdiri dari sub sistem hingga jaringan dan sel darah serta sel-sel lainnya dalam dinamika kehidupan.

Patologi adalah penyakit, dan kondisi sakit adalah adanya kesenjangan antara idealisme fungsional suatu sub sistem dalam organisme dengan realita yang dialami tubuh, misal adanya kelainan pada sel, adanya kekurangan zat tertentu ataupun adanya benda asing seperti virud dan bakteri masuk menginfeksi tubuh, maka untuk melawan kesenjangan tersebut tubuh akan menunjukkan gejala-gejala tertentu untuk memberikan signal ke tubuh bahwa ada benda asing yang masuk ke dalam tubuh, indikasi itu berupa demam, rasa gatal, pusing dan sebagainya.

Sama halnya dalam dinamika sosial, sosial merupakan sistem sebagai kumpulan dari norma, nilai, dan sub sistem lainnya yang membentuk suatu kontrak sosial dengan wujud hukum, pemerintahan hingga negara. Tindakan penyimpangan tidak selalu diartikan sebagai patologi. Patologi bersifat dinamis dan terus berkembang secara aseksual di tengah masyarakat, patologi adalah penyakit yang di dalamnya memiliki gejala, indikasi yang beragam dan bervarian dan tentu lebih kompleks dari penyimpangan.

Maka tindakan korupsi termasuk dari patologi yang lebih dari sekedar penyimpangan biasa, karena didalamnya melahirkan produk hukum hingga manifestasi keberlangsungan fungsional negara beserta jajarannya.

Politik Korup, Kerusakan Sistem Politik dan Hukum

Realitas korupsi di indonesia sebagai patologi sudah mencapai di puncak kesimpulan, akan tetapi pertanyaan yang masih tersisa adalah apakah peristiwa korupsi hanyalah sebagai penyakit sosial ataukah ada hal yang lebih fundamental yakni apakah peristiwa ini hanyalah peristiwa symptomic, sehingga faktor pendorong pelaku hanyalah aspek humanitic, ataukah peristiwa ini merupakan peristiwa systemic yang menjadi harga mati bila pada sistem tersebut sudah pasti menciptakan kondisi yang sakit diakibatkan hasil dari ekosistem yang buruk.

Ironisnya, realitas korupsi di Indonesia tentu karena dua hal, ini tentang human error dan system error atau secara harfiah dua faktor tersebut adalah keteledoran manusia dan kerusakan sistem. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa segelintir manusia yang berkuasa melakukan upaya balik modal melalui cara yang kotor, tentu perilaku tersebut merupakan kekejian dan keserakahan, kesalahan besar tersebut bahkan dapat merugikan negara.

Kita bersepakat tidak semua penjabat melalui jalan kotor tersebut sehingga kesimpulan human eror bukanlah keliru akan tetapi bila mengerucutkan ke permasalahan yang lebih fundamental, bayangkan saja setiap dari calon-calon pemimpin tidak bisa membayar murah sebuah kepercayaan.

Ironisnya rakyat indonesia pula masih tergiur dengan rupiah yang tidak begitu banyak, mereka tidak mau tahu tentang program unggulan sang calon pemimpin ataupun track record calon legislatif. Ditambah ekosistem ini selalu berulang sebagai siklus pada pesta demokrasi 5 tahunan atau agenda pemilihan penjabat lainnya. Apalagi tuntutan politik demokrasi untuk meraih kekuasaan sudah harga mati harus menggelontorkan uang yang tidak sedikit.

Lantas semua kejanggalan ini seharusnya sudah disadari oleh mereka yang masuk ke dalam parlemen menjalani peran check and balances penguasa agar tidak ada penguasa yang absolut, mereka seharusnya mampu menjadi alat kontrol dan mewakili rakyat untuk mengemukakan aspirasi.

Nahasnya, realita berkata lain yang jauh sekali dengan teori yang ada di buku. Parlemen dibungkam, mereka tak berkutik bahkan walau hanya menegur mentri yang jarang senyum.

Untuk memperjelas pernyataan bahawa permasalahan ini merupakan permasalahan sistem eror maka penulis memberikan sebuah silmulasi, bayangkan dalam suatu parlemen. Parlemen sendiri memiliki kekuatan sebagai sebuah lembaga resmi yang masuk ke dalam sistem, parlemen seharusnya lebih dari cukup menjawab soal penyelewengan kekuasaan, akan tetapi mengapa kenyataan tersebut tidak sejalan dengan idealitas?

Tentu saja parlemen diciptakan oleh sistem, sebut saja demokrasi adalah produsen obat dan racun, racun adalah penguasa absolut, setiap dari tingkatannya ada saja penguasa abolut di tingkatan tersebut dari yang terendah sampai yang tertinggi, sebagai penawar, sistem menciptakan obatnya yakni parlemen yang diisi oleh para legislatif, namun tahukah? Bahwa legislatif tidak sepenuhnya mewakili suara rakyat, melainkan mewakili suara para kapitalis atau para pengusaha dan pemilik modal. Mengapa? Tentu saja karena sistem politik demokrasi tidak murah.

Singkatnya kebutuhan biaya operasional sebuah partai politik menjadi komoditas kekuasaan. Baik pemenangan legislatif ataupun eksekutif, baik sebagai petahana juara bertahan demokrasi ataupun oposisi sang pihak yang kalah suara pada kontestasi poltik, akan tetapi satu persamaannya adalah sama-sama membutuhkan biaya operasional agar suatu pemerintahan berjalan, dari mana?

Dalam hal ini tentu saja dari para pemiliki modal. Jadilah sebuah transaksi. Pemiliki modal memberikan uangnya dan penguasa memberikan Undang-undang yang menguntungkan pemilik modal.

Puncaknya ketika mereka saling memiliki dosa masa lalu dan yang menjadi rahasia besar, dosa masa lalu itulah yang menjadi alat gebuk bagi para legislatif yang duduk di kursi parlemen, dosa yang dimaksud bisa saja mengenai RUU yang haikatnya beirisi UU korup, dosa penyelewengan kekuasaan dan bisa saja ketika masalah itu di bongkar mereka dapat hengkang dari jabatan, tidak hanya satu bahkan bukan tidak mungkin berbondong-bondong.

Maka penguasa akan leluasa melakukan politk jalan tengah dengan negosiasi yang akhirnya menyisakan tahu sama tahu. Komitmen itulah yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun, jika legislatif disini mengkiritik saja satu kesalahan yang diperbuat oleh penguasa, ia tidak akan selamat, baik dirinya, jabatannya hingga bahkan keluarganya.

Dengan ancaman tersebut tidak ada lagi jalan lain selain bungkam, diam dan sunyi tak bersuara. Resikonya sama-sama besar, berhenti mengkihianati rakyat dengan berhenti menjual undang-undang kepada para pemiliki modal, namun resikonya adalah biaya operasional politik tanggung sendiri, ataukah berhenti menjadi munafik, tetap mengkritik penguasa dengan resiko bahwa mereka akan kena imbasnya, dilucuti dan ditelanjangi habis-habisan tentang dosa masa lalu mereka hingga hengkang dari jabatan atau beralih menjadi penjilat.

Mirisnya mereka memilih menjadi pengkhianat rakyat sekaligus menjadi munafik mewakili rakyat pu tidak, apalagi bertugas sebagai pengkritik ulung pemerintah sudah pasti ciut dan ancaman dari pengusa absolut sangat mereka takuti. Realitas dinamika politik tersebutlah yang menjadi permasalahan sistem, mengapa?

Tercebur kedalam sistem sekali saja dapat terlibat dengan budaya korupsi, transaksi undang-undang hingga negosiasi tahu sama tahu sudah lebih dari cukup memberikan penegasan bahwa sistem politik indonesia sudah harga mati musti korupsi.

Maka jawaban yang tepat untuk pertanyaan politik korup di indonesia, apakah sekedar patologi sosial ataukah justru juga kerusakan sistem politik? Jawabannya adalah kerusakan sistemlah yang menjadi faktor penting dan aktor utama sebagai produsen generasi korup di Indonesia.

*Penulis adalah mahasiswa Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ