Rani Jaringan

Foto Disway.
Foto Disway.

PANGGIL dia Rani. Kalau memanggilnyi dengan nama lengkapnyi bisa jadi Anda ragu: laki atau perempuan. "Betul. Banyak yang memanggil saya mas atau pak," ujar Syahrani Dwi Lukmana. Apalagi kakak angkatannyi ada yang bernama Syahrani –laki-laki.

Rani menjadi mahasiswi Disway hari ini.

"Saya begitu bangga pada Rani. Cepat menguasai kultur jaringan," ujar Pranowo Singgihsanjoyo.

Saya menghubungi Pranowo kemarin pagi. Saya pun merasa bersalah. Terutama ketika saya tahu ia sedang di mana: Namibia. Itu masih pukul 01.30 di pedalaman Namibia.

Pranowo, dosen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu lagi sebulan di Ogongo. Yakni di Universitas Namibia yang khusus bidang pertanian. Kampusnya seluas 4.300 hektare. Letaknya di dekat perbatasan dengan Anggola. Selisih waktunya lima jam.

"Nggak perlu minta maaf, Pak. Saya memang sudah bangun," katanya. Kok sepagi itu?

"Saya siap-siap memonitor penampilan Rani. Sebentar lagi," tambahnya.

Dua jam setelah itu Rani memang akan tampil sebagai salah satu  pembicara di zoominar pertanian. Dia membawakan topik pembenihan porang lewat kultur jaringan.

"Dia mahasiswi saya," ujar Pranowo. "Masih semester 7," tambahnya.

Pembicara lainnya adalah Prof Dr Edi Santoso dari Institut Pertanian Bogor dan Aditya Demi Al Ersyad Fadli, pengusaha benih terkemuka asal Ngawi. Dr Ir Suwardi, dirjen Tanaman Pangan juga memberi paparan.

"Saya bangga ada milenial mau terjun ke pertanian," ujar Pranowo tentang Rani.

Saya jadi tertarik mengikuti seminar itu. Saya juga ingin tahu kebijakan baru soal porang. Saya pun menelepon Rani –sebelum saya tahu dia itu perempuan.

Ternyata dia asli Makassar. Kuliahnyi saja di Politeknik  Pembangunan Pertanian Yogyakarya di Magelang. Program D4. Jurusan teknologi benih.

Sebenarnya Rani ingin mengikuti jejak ayahnyi: di dunia perhotelan. Sang ibu melarang. "Kamu kan wanita. Berjilbab pula. Tidak cocok," kata sang ibu rumah tangga, seperti ditirukan Rani.

Kebetulan keluarga ini punya famili di Magelang. "Sebenarnya saya tidak ingin merantau. Tapi saya juga ingin menyenangkan orang tua. Saya pun ke Magelang," ujar gadis Bugis ini.

Maka begitu lulus SMAN 3 Makassar Rani ikut tes.

Tidak lulus.

Rani pun belum tahu harus ke mana. Maka dia putuskan untuk ambil kursus bahasa Inggris. Satu tahun. Sambil menunggu tes tahun berikutnya.

Hampir saja Rani tidak lulus lagi.

Tiga gelombang pengumuman tidak menyebutkan namanyi. Baru di gelombang terakhir sejumlah calon mahasiswa yang sulit lulus itu diminta membuat karya tulis. "Saya menulis tentang kelapa sawit. Bahan saya ambil dari internet. Saya diterima," katanyi.

Dari perkuliahan di Magelang Rani tahu salah satu dosennyi ahli kultur jaringan: Pranowo. Sampai pun dia tahu Pranowo tidak hanya ahli ilmunya tapi juga ahli membuat uang dari ilmu itu.

Pranowo memang dikenal sebagai pengusaha bibit anggrek berbasis kultur jaringan. Pranowo sukses di bisnis itu.

"Kok di Sulsel belum ada pengusaha kultur jaringan ya. Saya pun ingin tahu," ujar Rani. Dia pun minta untuk bisa belajar di laboratorium kultur jaringan milik dosennyi itu.

"Waktu itu bulan puasa. Rani ingin memulai setelah Lebaran. Saya pikir paling cepat 10 hari setelah Lebaran," kisah Pranowo. "Lima hari setelah Lebaran dia sudah datang," ujar Pranowo. "Berarti anak ini punya kemauan keras," tambahnya.

Kebetulan ada Covid. Perkuliahan berubah ke online. Rani memanfaatkan waktu pandemi untuk tenggelam di lab. "Pernah sampai jam 2 malam," katanyi.

Waktu itu harga porang lagi gila-gilaan. Minat menanam porang meluas. Pun sampai Sulsel. Harga bibit porang melonjak sampai Rp 150.000/kg. Belum ada teknik kultur jaringan di porang. Rani pun masuk ke sana.

"Itulah kali pertama saya dengar nama porang," ujar Rani mengenang.

Dua tahun kemudian Rani sudah menguasai kultur jaringan porang. Sudah sering diminta jadi penceramah bidang itu. Termasuk di seminar nasional seperti kemarin.

"Berapa nilai penampilan Rani kemarin?" tanya saya kepada dosennyi itu.

"Sebenarnya saya ingin memberi nilai 9. Tapi saya turunkan jadi 8,5," ujar Pranowo.

"Anak ini rajin. Saya tidak pernah menyuruh ke laboratorium. Tetap saja setiap habis salat Subuh pasti sudah ke laboratorium," kata Pranowo.

Ia tahu itu. Pranowo sendiri biasa ke lab pukul 06.00. Selalu saja sudah ada botol-botol kontaminasi. Lalu ada material yang akan diperiksa di lab.

Kelebihan lain Rani, katanya, dalam hal membaca. Ini jarang dilakukan oleh mahasiswa Polbangtan. Terutama membaca buku dalam bahasa Inggris. "Dia juga membaca buku-buku saya yang dalam bahasa Inggris. Lalu membuat ringkasannya," kata Pranowo.

Itu jelas merupakan hasil pemanfaatan waktu Rani yang baik setelah tidak lulus tes masuk dulu.

Rani masih berniat mendalami kultur jaringan satu tanaman pangan lagi: bawang putih. "Lebih sulit tapi menantang," katanyi. "Ternyata sulit sekali untuk mendapatkan embrionya. Embrio itu ada di daging bawang putih," katanyi.

Bibit bawang putih sangat mahal. Bisa antara Rp 40.000 sampai Rp 50.000. Per kilogram. Padahal tiap tahun diperlukan lebih 50 juta bibit bawang putih. Begitu banyak bawang putih yang terpakai untuk bibit.

Kalau saja Rani berhasil lagi, tentu problem nasional bawang putih akan teratasi. Tapi Rani tetaplah Rani yang masih mahasiswi: apakah sudah tepat kalau harus mendapat beban seperti itu.

"Kalau saya, demi anak-anak didik, penginnya mereka nanti jadi pengusaha yang ilmuwan atau ilmuwan yang jadi pengusaha."