Berharap Vonis Bebas, PH Terdakwa Pemalsuan Surat Sebut Perkara Kadaluarsa dan Menang Perdata

Penasihat hukum terdakwa kasus pemalsuan surat/RMOLJatim
Penasihat hukum terdakwa kasus pemalsuan surat/RMOLJatim

Rudolf Ferdinand Purba Siboro selaku penasihat hukum H. Zainal Adym, terdakwa kasus pemalsuan surat yang saat ini sedang diadili di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya berharap kliennya dibebaskan dari jeratan hukum lantaran telah menang dibeberapa perkara perdata yang  telah berkekuatan hukum tetap. 


Permohonan bebas tersebut juga telah dituangkan dalam nota pembelaannya usai Jaksa Penuntut umum (JPU) Kejari Tanjung Perak Diah Ratri Hapsari menjatuhkan tuntutan 1 tahun penjara kepada kliennya.

"Harapan kami memang bebas karena dibeberapa perkara perdatanya sudah menang dan putusannya sudah Inkrcaht. Pertama soal gugatan wanprestasi, kedua soal sita eksekusi dan ketiga soal gugatan perlawanan eksekusi," katanya saat dikonfirmasi di PN Surabaya, Senin (5/9).

Selain itu, Rudolf menyebut jika perkara pidana tersebut telah kadaluarsa.

"Selain kami memang perkara perdata, perkara pidana yang dilaporkan juga sudah kadaluarsa," bebernya.

Ketika ditanya soal bocornya putusan bebas perkaranya, Rudolf tidak mau menanggapinya. Pria bertubuh kekar ini menyerahkan putusan tersebut kepada majelis hakim.

"Kami tidak mau mendahului kerso, kita tunggu saja putusannya," pungkasnya.

Sementara itu, Kasi Pidum Kejari Tanjung, Hamonangan P. Sidauruk menyatakan akan melakukan upaya hukum jika putusan majelis hakim tidak sesuai dengan tuntutan JPU.

"Kita lihat saja putusannya. Kalau bebas iya kita kasasi," katanya.

Sebelumnya, dugaan bocornya putusan bebas kasus ini diungkapkan oleh Ormas Komunitas Rakyat Anti Korupsi (KORAK), Jum'at (2/9). 

"Sejak awal kami sudah memantau kasus itu. Dan kemarin ada informasi kalau terdakwa mau dibebaskan," kata Ketua Harian DPP KORAK, Efianto. 

Dari informasi yang didapatnya, masa tahanan terdakwa akan habis pada 6 September 2022 mendatang. KORAK pun akan melaporkan dugaan bocornya putusan bebas tersebut ke Mahkamah Agung, Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial maupun ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Namun putusan perkara yang sedianya akan dibacakan pada Jum'at (2/9) batal digelar lantaran JPU Diah Ratri Hapsari masih ada kegiatan lain. Majelis hakim yang diketuai Dewantoro memutuskan pembaca amar putusan perkara tersebut akan digelar hari ini, Senin (5/9).

Dugaan pemalsuan surat ini bermula ketika terdakwa membuat surat pengakuan hutang atau pemakaian dana kopontren tanggal 17 Juli 1996 perihal perjanjian penggunaan dana kopontren Assyadziliyah dalam tempo satu tahun sampai tanggal 17 Juli 1997.

Dalam perjanjian itu, terdakwa menjaminkan SHBG No 221 dengan obyek tanah dan bangunan yang terletak di Jl Prapanca No 29 Surabaya yang  ditandatangani oleh terdakwa sebagai yang menerima perjanjian, yang  seolah-olah ditandatangani oleh Soebiantoro sebagai yang membuat perjanjian dan disetujui oleh K.H. Achmad Djaelani sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Assyadziliyah, padahal Soebiantoro telah meninggal sejak 22 Januari 1989.

Surat perjanjian itu selanjutnya digunakan oleh terdakwa untuk melakukan gugatan ke PN Surabaya dengan perkara No 211/Pdt.G/2016/PN.Sby tanggal 04 Maret 2016 dan berujung pada eksekusi, padahal objek tanah dan bangunan tersebut telah dijual oleh ahli waris Soebiantoro ke Ferry Widargo pada tahun 2005.

Mengetahui hal itu, Bambang Sumi Ikwanto akhirnya membawa perkara dugaan pemalsuan surat tersebut ke ranah hukum. Oleh JPU, terdakwa didakwa dengan Pasal 263 ayat (1) KUHP.