Masih Marak Penipuan Via Seluler, Ngapain Aja Kominfo?

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

PADA tanggal 22 September 2022, tepat pada pukul 14.56 siang, saya mendapatkan informasi melalui whatsapp group bahwa salah satu rekan dosen di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) menjadi korban penipuan mengatasnamakan dirinya.

Isi pesan singkatnya menyatakan “Saya dikabari oleh mahasiswa hukum Unusia. Ada orang yang mengaku sebagai Kaprodi Hukum dengan meminta-minta uang, korbannya bukan hanya anak hukum tetapi anak akuntansi dan lainnya. Dengan menganti-ganti nomor,” terangnya agar penghuni group waspada dan menyampaikannya kepada dosen dan mahasiswa.

Karena membaca ada mahasiswa akuntansi, langsung saya cek ke whatsapp group mahasiswa akuntansi angkatan 2022. Saya juga mendapatkan informasi dari mahasiswa akuntansi, bahwa benar ada mahasiswa akuntansi yang kena tipu. Atas nama pengelola Program Studi (Prodi) Akuntansi Unusia, saya langsung menghimbau kepada seluruh mahasiswa dan dosen akuntansi agar waspada terhadap penipuan berkedok atas nama dosen.

Menurut penuturan mahasiswa atas nama Siti bahwa mahasiswa atas nama Audry menjadi korban penipuan berkedok atas nama dosen. “Kerugiannya mencapai 3,5 juta,” jelas Siti.

Besoknya, saya langsung meminta untuk ketemu si Korban dan seluruh mahasiswa akuntansi angkatan 2022 untuk mendapatkan keterangan. Sebab, dibenak saya informasinya masih simpang siur. Setelah saya ketemu dengan mahasiswa, faktanya bahwa hampir seluruh mahasiswa akuntansi angkatan 2022 menjadi korban penipuan.

Meskipun mereka bisa mengatisipasi, karena telah mengetahui informasi penipuan tersebut dari teman-temannya melalui whatsapp group, tatapi mereka sempat ditelpon oleh penipu tersebut dengan nomor yang berbeda-beda dengan modus yang sama yaitu mengaku salah satu dosen dari Prodi Akuntansi Unusia.

Modus lainnya, si Penipu meminta tolong kepada calon korban untuk mencetak sejumlah dokumen dengan menggunakan uang mahasiswa terlebih dahulu. Namun, itu hanya siasat si penipu saja, karena tidak pernah mengirimkan dokumen yang dimaksud. Perlu diketahui, bahwa metode penipuannya dengan menelpon lewat seluler, memadukan konsep hipnotis dengan memanfaatkan atas nama dosen untuk dikirimkan pulsa ke nomor tertentu.

Adit dalam paparanya merasa tidak sadar saat diminta untuk membelikan pulsa di konter terdekat. Ia merasa terhipnotis, dan sempat mengirimkan pulsa kepada nomor yang disebutkan si penipu melalui telpon. Hingga akhirnya sadar jika tertipu saat diperingatkan oleh pemilik konter untuk memastikan bahwa yang dikirimkan pulsa adalah betul dosennya.

Sama dengan modus yang dialami Adit, Audry mengalami kerugian hingga Rp 3 juta lebih dengan rincian pengiriman pulsa seharga Rp 500 ribu 6 kali, Rp 100 ribu 3 kali dan Rp 200 ribu sekali. Pengakuannya sama seperti Adit, merasa tidak sadar.

Dari hasil penelusuran saya, mahasiswa atas nama Ridho adalah mahasiswa pertama di Prodi Akuntansi yang dihubungi oleh si penipu dengan mengatasnamakan dirinya sebagai dosen akuntansi untuk meminta data struktur kelas seperti ketua tingkat, sekretaris dan nendahara kelas. Termasuk meminta kontak masing-masing, namun yang sempat disebutkan hanya nomor ketua tingkat atas nama Adit.

Dari sini si penipu itu memulai aksinya, hampir seluruh mahasiswa akuntansi menjadi sasaran dan beberapa dari mahasiswa jurusan lain seperti hukum dan ekonomi syariah. Dan tampaknya, mahasiswa baru menjadi incaran si penipu dalam menjalankan aksinya.

Fenomena penipuan dengan modus mengatasnamakan diri sebagai dosen, tidak hanya terjadi pada mahasiswa Unusia, banyak mahasiswa dari kampus lain yang jadi korban. Kejadiannya bukan hanya tahun ini, hampir setiap tahun pada masa orientasi mahasiswa baru selalu menjadi target operasi oleh sindikat penipuan yang sama.

Oleh karena itu, tindak pidana ini perlu menjadi perhatian bagi Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan korporasi provider seperti Telkomsel.

Rumusan Kebijakan Kominfo

Kemajuan teknologi yang begitu cepat, harus diikut oleh tranformasi kebijakan oleh Kominfo untuk memastikan keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam mengakses jaringan telekomunikasi. Absennya kebijakan pemerintah bisa menjadi pemicu bagi tumbuhnya tindakan kriminal berbasis telekomunikasi. Bukan hanya soal penipuan berbasis telpon seluler, kemajuan teknologi memantik tindak taduk perilaku kriminal yang semakin modern dan canggih.

Kecepatan respon dan kemudahan akses adalah kewajiban Kominfo dalam menutup celah penyelewengan telekomunikasi di Indonesia. Soal kejahatan telekomunikasi berbasis penipuan, seharusnya Kominfo sudah memiliki aplikasi yang dirancang sedemikian rupa untuk menkounter tindak pidana tersebut. Saya melihat, Kominfo belum memiliki kebijakan yang konkrit terhadap antisipasi penipuan berbasis telpon seluler.

Modus yang sama sudah ada sejak telekomunikasi mulai popular di Indonesia. Akan tetapi, belum ada inovasi dan kebijakan yang relevan untuk mengantisipasi hal tersebut.

Pada saat saya cek satu persatu kontak yang digunakan si penipu pada Getcontact, saya mendapatkan informasi bahwa seluruh nomor yang digunakan sudah memiliki riwayat pelaporan oleh korban sebelumnya. Aplikasi yang sama, saya mendapatkan keterangan bahwa nomor tersebut digunakan dalam penipuan secara berkali-kali.

Artinya, ada ketidakpekaan oleh Kominfo kepada laporan masyarakat. Tidak dilakukan tindakan yang responsif, sehingga korban terus berjatuhan oleh pelaku dengan nomor yang sama. Tentu tidak sulit bagi Kominfo menelusuri suatu nomor dan berkoordinasi dengan penegak hukum untuk menertibkan kejahatan dibidang telekomunikasi. Tergantung, dianggap receh atau pentingkah kasus penipuan berkedok atas nama dosen ini?

Apa yang Dilakukan Tim Siber Polri

Jika mendengar kecanggihan dan kemajuan teknologi siber yang digunakan Polri dalam mengungkap kejahatan dunia maya, hampir kita berpikir bahwa tidak akan ada satupun kejahatan siber yang bisa lolos darinya. Nyatanya, jika pelanggar UU ITE seperti penghinaan, penyebaran berita hoax, fitnah dan lain-lain selalu lebih cepat diungkap dan ditangkap.

Namun, soal penipuan, sampai laporan polisinya (LP) berkali-kali, tetap tidak direspon. Mungkin LPnya hanya berakhir sebagai arsip, bahkan hanya menjadi sampah. Ada persepsi bahwa kasus-kasus penipuan seperti itu dianggap receh dan membuang-buang waktu polisi. Ditambah jika yang melapor hanya rakyat biasa atau mahasiswa, kepolisian tambah tidak memiliki alasan untuk menggarapnya.

Patut diduga, jika kasus-kasus penipuan tidak berkurang, mungkin dikarenakan yang melapor hanya orang biasa. Sangat berbeda dengan kasus-kasun pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan dan lainnya, yang dilaporkan oleh seorang pejabat atau memiliki jabatan strategis selalu tertangani secara tuntas.

Padahal, kerugian yang dialami oleh orang bisa karena penipuan (mungkin di mata orang mapan nilainya tidak banyak) tapi bagi mereka nilai tersebut sangat besar baginya, bahkan mungkin lebih besar dibandingkan mereka yang merasa dihina, difitnah dan merasa dicemarkan nama baiknya.

Tim Siber Polri harus menjunjung tinggi keadilan dalam penegakan hukum, termasuk memberi perhatian pada pengungkapan kasus sindikat penipuan berkedok telpon seluler yang mengatasnamakan dosen atau orang tertentu. Sasaran mereka orang menengah ke bawah, maka jika dibiarkan akan banyak menyengsarakan masyarakat kecil yeng memiliki jumlah lebih banyak dari orang kaya.

Tanggung Jawab Telkom Indonesia Apa?

Berdasarkan hasil pengakuan dari korban. Setidaknya, dia mencatat, kurang lebih sembilan nomor yang digunakan si penipu melancarkan serangannya. Baik digunakan untuk menelpon si korban, maupun digunakan untuk menampung pulsa kiriman dari korban. Sembilan nomor yang diungkapkan oleh si korban, semuanya adalah nomor yang terafiliasi dengan Telkomsel.

Saya sudah cek satu-persatu pada aplikasi penyedia layanan identifikasi nomor telpon, semua terkonfirmasi dan tertandai sebagai penipu.

Tentu kita meyakini, bahwa korporasi sebesar Telkom Indonesia memiliki integritas yang tidak diragukan. Termasuk tidak mungkin mendukung tindakan penyelewengan atau pengunaan produk mereka dalam tindakan kriminal seperti penipuan. Hal tersebut akan berdampak buruk terhadap kepercayaan masyarakat nantinya.

Oleh karena itu, perlu sebuah menajemen control system produk dalam mengantisipasi penyelewengan yang dilakukan oleh konsumen. Perlu ditinjau kembali prosedur registrasi agar pengguna provider bisa diakses dengan cepat jika terkonfirmasi melakukan kejahatan atau penipuan.

Termasuk menyediakan layanan mandiri, terkait pengaduan nomor tertentu jika terbukti melakukan penipuan dengan produk yang diproduksinya.

Korporasi telekomunikasi tidak hanya memiliki tanggung jawab sampai dengan produknya di tangan konsumen. Akan tetapi, perlu membangun mitigasi jika terjadi aktivitas dan tindakan melawan hukum dengan menggunakan produk Telkom Indonesia.

Perlu kolaborasi Polri, Kominfo dan Telkom Indonesia dalam membangun ketertiban dalam pertelekomunikasian di Indonesia. Sehingga tidak lagi menjadi provider yang dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menipu atau dimanfaatkan pada tindakan-tindakan yang mengarah pada profesional.

*Penulis adalah Kepala Prodi Akuntansi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)