Menyoal Banalitas Aparat di Stadion Kanjuruhan

Maulana Sumarlin/Ist
Maulana Sumarlin/Ist

TULISAN Rosdiansyah dengan judul ‘Banalitas Aparat’ yang dimuat di RMOLJatim pada hari Senin, 3 Oktober 2022 bagi saya sangat menarik untuk didalami. Menggunakan konsep ‘Banality of Evil’ dari buku yang ditulis oleh Hannah Arendt dengan judul Eichmann in Jerusalem: "a report on the banality of evil" (reportase tentang banalitas kejahatan), penulis mengatakan bahwa praktek kekerasan yang dilakukan oleh aparat sudah pada taraf yang memprihatinkan karena sudah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah atau dianggap sebagai hal yang biasa. 

Disebutkan dalam beberapa kasus seperti KM 50, Pembunuhan Brigadir Joshua, dan terakhir kerusuhan di Kanjuruhan dimana aparat menembakkan gas air mata yang memicu tewasnya ratusan korban, aparat dianggap bersembunyi di bawah payung demi menegakkan ketertiban umum sehingga kekerasan aparat pun dihalalkan. Alasan mematuhi komando atau perintah atasan.

Dalam beberapa hal saya sepakat bahwa konsep ‘Banality of Evil’ dapat dipakai dalam menjelaskan fenomena kejahatan modern, utamanya setelah dua perang dunia. 

Hannah Arendt melontarkan konsep tersebut pertama kali setelah menonton pengadilan 1961 atas perwira SS Nazi Adolf Eichmann. Arendt terkejut saat pertama melihat Eichmann tidak menunjukkan rasa bersalah terhadap kejahatan yang telah ia lakukan. Arendt juga merasa heran ketika melihat Eichmann sebagai sosok biasa dan tidak nampak sebagai sosok yang kejam dan mengerikan. 

Padahal banyak yang beranggapan bahwa pelaku kejahatan brutal adalah penjelmaan setan. Dari sinilah akhirnya Arendt mengambil kesimpulan bahwa Eichmann adalah orang normal yang menjadi korban birokrasi karena taat pada komando atau perintah atasan. Ketaatan dalam mematuhi perintah inilah yang dianggap menghilangkan naluri dan kemampuan berpikir kritis. Mematuhi perintah dianggap bukan kejahatan.

Konsep ‘Banality of Evil’ dianggap kontroversial dan mendapatkan kritikan dari berbagai tokoh dengan pertanyaan dasar dapatkah orang bertindak jahat tanpa menjadi jahat? Bagaimana orang yang berperan utama dalam genosida NAZI dianggap tidak memiliki intensitas melakukan kejahatan? 

Mary McCarthy mendebat Arendt dengan mengatakan bahwa ketidakmampuan dalam berpikir, tidak menghilangkan kenyataan bahwa Eichmann adalah seorang monster. 

Terkait dengan hal ini, Alan Wolfe pada tahun 2011 dalam bukunya berjudul Political Evil: What It Is and How to Combat It? mengkritik Hannah Arendt dengan mengatakan bahwa Arendt hanya berfokus kepada siapa Eichmann tanpa melihat apa yang telah dilakukan Eichmann.

Terkait dengan kasus KM 50 dan pembunuhan Brigadir Joshua, saya berpendapat bahwa konsep ‘Banality of Evil’ dapat dipakai untuk membantu dan menolong dalam memahami serta menjelaskan kasus-kasus tersebut. Namun demikian, dalam kasus Kanjuruhan saya merasa bahwa penulis di RMOLJatim terlalu terburu-buru dan terlalu emosional dalam menerapkan konsep tersebut dan terlalu cepat dalam melakukan generasi dan menimpakan kesalahan pada pihak aparat, mengingat kompleksitas kasus Kanjuruhan itu sendiri dan didasarkan atas fakta-fakta yang ada. 

Pertama, tidak dapat dipungkiri bahwa kapasitas Stadion Kanjuruhan yaitu 38 ribu tempat duduk, namun yang dicetak sebanyak 42 ribu. Artinya telah terjadi pelanggaran oleh panitia penyelenggara pertandingan sepak bola. 

Kedua, fakta adanya penonton yang merangsek turun ke lapangan sehingga menimbulkan kerusuhan akibat tidak adanya disiplin dan edukasi yang cukup sebagai supporter yang baik. 

Ketiga, jumlah pengunjung dan rasio aparat pengamanan di Stadion Kanjuruhan. 

Keempat, penembakan gas air mata menunjukkan kepanikan aparat pengamanan, sekaligus menunjukkan bahwa aparat pengamanan di Stadion Kanjuruhan tidak teredukasi dengan baik. 

Hal ini dikarenakan aturan FIFA terkait pengamanan dan keamanan stadion (FIFA Stadium Safety and Security Regulations) menyebutkan bahwa petugas keamanan tidak diperkenankan membawa atau menggunakan senjata api dan gas pengendali massa/gas air mata. 

Terakhir, apakah betul aparat keamanan menggunakan gas air mata dengan niatan jahat untuk mencelakakan penonton/supporter, atau memang itu murni kecelakaan akibat kesalahan dalam mengambil tindakan?

Jika ditelaah secara lebih detail, Rosdiansyah mengklaim bahwa pada saat beraksi, yang ada dalam ‘batok kepala aparat’ hanyalah instruksi komando mengamankan, menertibkan bahkan kalau perlu beringas kepada warga tak berdosa, seperti mengejar, memukul dan menyeret bahkan kalau perlu menginjak.

Penggunaan atau pemilihan kata dan diksi seperti perilaku aparat sebagai perilaku biadab yang sudah dianggap wajar jika diimbuhi alasan sudah sesuai prosedur, sudah tegas dan terukur, menunjukkan nada kebencian yang luar biasa terhadap aparat keamanan.

Tulisan Rosdiansyah bahwa sistem aparat keamanan yang dibangun lembaga melalui penghalalan kekerasan sebagai satu-satunya opsi penyelesaian masalah, juga merupakan tuduhan yang sangat ekstrim yang sarat dengan generalisasi dan sangat keterlaluan dalam memojokkan aparat keamanan.

Tulisan Rosdiansyah ini seakan-akan melupakan bahwa aparat keamanan seolah-olah dianggap sebagai sekumpulan orang yang tidak mengenal akan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan jauh dari kata melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. 

Lebih lanjut, Rosdiansyah juga menyebutkan bahwa presisi (prediktif, responsibilitas dan transparansi serta berkeadilan) dianggap sebatas jargon. Dari sini terlihat jelas bahwa penyebutan aparat keamanan secara umum di awal, namun pada akhir tulisan justru menggiring opini agar pembaca menumpahkan seluruh kesalahan dan sekaligus mengutuk institusi kepolisian.

Klaim dan tuduhan yang dilontarkan tersebut, jika boleh saya sebut sebagai upaya provokatif yang tersistematis dan sengaja dilakukan untuk memperkeruh suasana dan penuh dengan nuansa adu domba antara aparat keamanan dengan masyarakat. 

Narasi dan diksi yang dibangun oleh penulis, dengan memaksakan konsep ‘Banality of Evil’ pada persoalan kerusuhan di Stadion Kanjuruhan adalah perbuatan yang sungguh tidak elok, berpotensi mengundang polemik, sangat tendensius dan bersifat menghasut, khususnya pada institusi Polri. Hal ini ditunjukkan secara jelas dari pemilihan kata-kata yang cenderung kasar dan terkesan penuh cacian.

Sebagai penutup, saya ingin menekankan bahwa tulisan ini hanyalah penyeimbang dari tulisan yang dimuat oleh RMOLJatim. Saya berpendapat bahwa ini adalah momen yang tepat untuk melakukan evaluasi dan introspeksi bersama terkait dengan masa depan persepakbolaan di tanah air kita.

Menumpahkan kesalahan hanya pada satu pihak saya pikir bukan tindakan yang bijaksana. Namun demikian, saya sepakat apabila ada aparat keamanan yang melakukan tindak kekerasan diluar batas dan terbukti bersalah, hendaknya dihukum seberat-beratnya. Saya juga menyampaikan duka cita yang sedalam-dalamnya pada korban kerusuhan Kanjuruhan dan keluarganya. Semoga Tuhan menempatkan para korban di tempat yang mulia di sisi-Nya dan keluarga korban senantiasa diberikan kesabaran dan keikhlasan.

Founder De' HMS, Sebuah Firma Sosial yang memperjuangkan nilai-nilai Demokrasi, Equity, Hope-Humanity, Moderation dan Solution (De' HMS)