Anies Dalam Tiga Sorotan

Anies Baswedan/RMOL
Anies Baswedan/RMOL

ANIES Rasyid Baswedan sudah dicapreskan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) pada 3 Oktober 2022. Momen ini menyedot perhatian publik. Begitu deklarasi pencapresan usai, muncul beragam tanggapan. Ada yang menyambut baik, biasa-biasa saja, bahkan ada yang berkomentar ''Ojo kesusu'' (jangan terburu-buru). Semua tanggapan ibarat dekorasi momen pencapresan. Anies dan Nasdem jadi perbincangan publik.

Yang terbaru, tokoh senior sekaligus maestro politik Partai Golkar, Akbar Tanjung, juga mengapresiasi pencapresan Anies. Walau kemudian ada respon fungsionaris partai Golkar yang menganggap apresiasi Bang Akbar, sapaan akrab Akbar Tanjung, bersifat normatif. Namun, tak bisa dipungkiri, apresiasi Bang Akbar pada Anies telah menambah bobot citra Anies. Itu harus diakui, tak perlu disangkal. 

Jangan tanya soal kualitas apalagi kapasitas Anies. Itu sudah banyak dibahas. Disebar kemana-mana. Dan tak masalah, karena semua sudah tahu prestasi kinerja Anies selama ini. Barangkali, yang agak mengkhawatirkan adalah puja-puji pada Anies dari pengikutnya. Puja-puji instrumen pengganti nalar sehat. Seperti tulis Umberto Eco, pakar semiotika, dalam buku ''Travels in Hyperreality'' (1986). Nalar sudah tergantikan instrumen lain.

Menurut Eco, pada esai bertajuk ''On the Crisis of the Crisis of Reason'' (Krisis dari Krisis Nalar) ada beberapa instrumen pengganti nalar. Diantaranya, penurunan kesadaran (delirium), ada peningkatan perasaan, ada keheningan mistis, kebingunan, kegalauan, eforia berkepanjangan dan sejenisnya. Semua itu melawan nalar. Ketika pengagum Anies melihat sosok Anies, mendadak kekagumannya menyurutkan nalar. Mendadak resisten pada kritik. Padahal, kritik nalar jelas penting. 

Kritik merupakan cermin. Tanpa kritik, tiada cermin. Lalu yang ada hanyalah kebanggaan, puas diri, memanjakan. Situasi semacam itu jelas mengkhawatirkan. Apalagi kalau sampai alergi kritik. Menganggap kritik bentuk ketidak-sukaan, kritik dianggap negatif. Padahal, mencurigai kritik artinya membiarkan ketidakberesan. Ini tentu berbahaya.  

Sorotan Pertama

Masalah pertama Anies Baswedan bukanlah dengan partai politik. Sebab, urusan partai sudah ditangani Partai Nasdem. Partai ini tentunya yang mengelola komunikasi politik dengan partai lain atau koalisi partai lain. Anies bukan ketua umum Partai Nasdem, namun partai ini tak menyebut Anies 'petugas partai'. Justru Anies dihadirkan dengan penuh hormat, dijaga kewibawaannya serta diperhatikan harkatnya. Itu terlihat dari bagaimana Surya Paloh memperlakukan Anies.

Namun, masih ada pendukung Anies melihat posisi Anies disubordinasi Partai Nasdem. Bahkan yang lebih ekstrem melihat, bahwa Anies bakal digeser kelak nanti kalau Partai Nasdem berkoalisi dengan partai lain yang lebih besar yang menyodorkan capres lain. Anies digeser jadi cawapres. Kekhawatiran ini bisa merebak di kalangan pendukung Anies setelah ada pengamat politik pesimis pada niat baik Partai Nasdem mencapreskan Anies. 

Analisa semacam itu tentu saja bertujuan menggerogoti hubungan Anies dan Partai Nasdem. Namun, ada dua hal yang bisa membantah analisa tersebut. Pertama, Anies deklarator pendirian organisasi massa (ormas) Nasional Demokrat pada tahun 2010. Ironinya, sejak itu tak banyak orang melihat hubungan akrab Anies dengan Surya Paloh. Kedua, Partai Nasdem sudah mencapreskan Anies, bukan menjadikan Anies sebagai bakal capres (bacapres). 

Bakal capres bisa berubah, tapi rasanya mustahil untuk sosok yang sudah dicapreskan. Situasinya sudah bukan lagi mencari siapa bakal capres, melainkan mencari sekutu untuk mendukung capres. Dua situasi berbeda jika tak dibaca cermat, maka yang muncul adalah analisa ngawur. Seakan sosok yang disorot masih berstatus bakal capres, padahal faktanya sudah ditetapkan sebagai capres.

Sorotan Kedua

Masalah berikutnya yang dilekatkan pada Anies berasal dari isu hengkangnya sejumlah kader Partai Nasdem usai pencapresan Anies. Kesan yang hendak ditampilkan adalah betapa tak solidnya partai ini usai mencapreskan Anies. Masih ada kader atau fungsionaris partai Nasdem yang tak bisa menerima Anies, lalu mereka memilih mundur.

Mundur atau bertahan dalam partai tentu menjadi hak tiap kader. Tidak bisa dipaksa, apalagi dipaksakan. Menjadi kader partai jelas butuh kesukarelaan dan memahami bahwa dinamika internal partai perlu pemahaman. Ketika seseorang masuk ke dalam partai, maka ia harus sepakat pada misi serta tujuan partai. Rasanya mustahil memanfaatkan partai cuma jadi payung perlindungan tujuan pribadi. Seperti, mengolok-olok pihak lain tapi bebas dari hukuman karena dilindungi partai.   

Pertanyaannya, apakah itu artinya Partai Nasdem membiarkan keluarnya kader partai demi pencapresan Anies? Dari pengakuan mereka yang mengundurkan diri dari partai, bisa diketahui bahwa mereka umumnya masih melihat Anies dalam bingkai politik identitas. Walaupun mereka menegaskan tidak punya masalah pribadi dengan Anies, tapi mereka tak bisa mengelabui publik bahwa selama ini mereka memakai framing politik identitas kepada Anies. 

Sorotan Ketiga

Begitu Anies dicapreskan Partai Nasdem, mendadak muncul respon pegiat PA 212, Novel Bamukmin. Dalam berbagai media, Novel melihat pencapresan Anies bertujuan memecah-belah ummat. Secara implisit, Novel menyoal pencapresan lewat Partai Nasdem itu. Walau kekhawatiran Novel ini sebenarnya bisa jadi bertolak-belakang dengan keinginan ummat yang menginginkan Anies tampil sebagai capres. Dan Partai Nasdem yang mencapreskan.

Respon Novel bisa jadi mewakili suara PA 212. Selain Novel, kemungkinan ada banyak pihak dalam PA 212 saat ini yang tak bisa menerima Anies dicapreskan Partai Nasdem. Persoalan mereka sesungguhnya dengan Partai Nasdem, bukan dengan Anies. Urusan PA 212 dengan partai Nasdem belum selesai atau mungkin PA 212 memang enggan melihat realpolitik kini. Bahwa dalam peta parpol, baru Partai Nasdem yang berani mencapreskan Anies.    

Jika dilihat secara fragmentatif, sesungguhnya resistensi PA 212 kepada Partai Nasdem harus dibedakan dari fragmen Partai Nasdem dan Anies. Bagi sebagian besar pegiat PA 212, Partai Nasdem punya rekam jejak buruk menghadapi ummat. Kasus kriminalisasi terhadap ulama, menurut PA 212, melibatkan Partai Nasdem. Meski tudingan PA 212 ini masih perlu dibuktikan kesahihannya. Apalagi, situasi politik kini sudah berbeda dibanding beberapa tahun silam.   

Masalahnya, PA 212 saat ini masih mempunyai simpatisan di luar kota Jakarta. Mereka jarang diliput media, bahkan cenderung menghindari media karena menganggap media bagian dari oligarki. Melalui jejaring simpatisannya, PA 212 bisa menyebarkan keengganannya pada pencapresan Anies oleh Partai Nasdem.

Peneliti JPIPNetwork