Pesantren Lirboyo, Jalinan Persaudaraan dan Sepakbola Api

Reza Ahmad Zahid (tengah kopyah putih)
Reza Ahmad Zahid (tengah kopyah putih)

Bermain sepak bola memang sangat menyenangkan. Akan tetapi permainan sepak bola yang satu ini selain menyenangkan juga sangat menantang, karena sepak bola ini adalah Sepak Bola Api.

Berdoa Sebelum Bertanding

Layaknya sepak bola biasanya, ada dua tim yang bertanding dalam permainan ini. Biasanya, tiap-tiap tim beranggotakan lima orang, walaupun terkadang lebih dari lima orang, dengan mengikuti kesepakatan di antara kedua belah pihak tim yang akan bertanding.

Bola yang akan ditendang bukanlah bola biasa yang terbuat dari kulit atau plastik, melainkan dari batok kelapa tua yang sudah dibuang kulit luarnya. Kemudian, batok itu direndam di dalam minyak tanah beberapa hari dengan tujuan agar minyak dapat meresap ke dalam batok.

Sebelum bermain, kedua tim yang bertanding memanjatkan doa terlebih dahulu agar diberi keselamatan. Bahkan ada yang melakukan ritual puasa beberapa hari sebelum pertandingan. Hal ini dilakukan agar mereka mendapatkan perlindungan dari Tuhan.

Biasanya, para pemain mengoleskan minyak kelapa ke tangan dan kakinya, hal ini dilakukan agar dapat mengurangi rasa panas bola api. Ketika batok kelapa sudah siap dipakai, maka dibakarlah dan bersiaplah kedua tim untuk bertanding.

Biasanya, pertandingan ini dimainkan oleh laki-laki dewasa walaupun terkadang perempuan juga tertarik untuk ikut bermain. Adapun bagi anak-anak kecil, permainan ini tidak diperkenankan karena dianggap sangat berbahaya.

Lapangan yang dipakai untuk bertanding relatif lebih kecil dari lapangan sepak bola biasanya. Ukuran lapangan yang dipakai biasanya sama lebarnya dengan lapangan futsal. Para pemain biasanya juga tidak memakai alas kaki sehingga membuat permainan menjadi lebih menantang.

Tidak ada durasi yang pasti untuk permainan ini, melainkan berdasarkan kesepakatan di antara kedua tim. Dan, tim yang mencetak gol terbanyak akan menjadi pemenangnya. Lebih baik permainan Sepak Bola Api ini dimainkan di malam hari, agar nyala api tampak lebih jelas, dan tentunya lebih menarik.

Dari Sumba ke Pelosok Nusantara

Permainan sepak bola api ini sebenarnya sudah ada sejak lama. Menurut berbagai sumber informasi, permainan ini berasal dari Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, dengan nama lailang. Kemudian menyebar ke berbagai daerah khususnya di daratan pulau Jawa. Biasanya, permainan sepak bola api ini dijadikan rutinan olah raga dan hiburan bagi santri di pondok pesantren.

Suatu ketika, penulis menceritakan tradisi-tradisi yang biasanya dilakukan di pondok pesantren di Indonesia kepada saudara Sugiarto Wijono, seorang keturunan Tionghoa berasal dari Surabaya yang telah memiliki kekerabatan yang dekat dengan Pondok Pesantren Al Mahrusiyah. Termasuk tradisi yang penulis ceritakan adalah olah raga sepak bola api.

Sugiarto kelihatannya tertarik untuk mencoba memainkannya. Akhirnya dia mengajak teman-temannya berkunjung ke Pondok Pesantren Al Mahrusiyah Lirboyo di kota Kediri, Jawa Timur, untuk bermain sepak bola api bersama para santri.

Senin sore tanggal 12 September 2022, Sugiarto bersama dengan rombongan sampai di pondok pesantren Al Mahrusiyah Lirboyo. Kemudian kami sampaikan kepada mereka tentang mekanisme permainan sepak bola api dan mengambil kesepakatan durasi permainan.

Sambil menunggu waktu malam tiba, kami bercengkerama dan beramah tamah dengan para santri. Ketika matahari sudah terbenam, kami melakukan persiapan dengan membentuk dua tim dengan tiap-tiap tim beranggotakan lima orang.

Saatnya bola api dibakar dan permainan siap dimulai. Melihat bola api yang membara, kedua tim tampak semangat dan antusias dalam bermain. Mereka seakan lupa akan panasnya bola api dan tersihir oleh asyiknya permainan sehingga saling berebut bola api untuk dimasukkan ke gawang lawan.

Rasa kekeluargaan sangat terasa hangat selama permainan berlangsung, seakan tidak ada sekat antara pemain, baik sekat suku bangsa, budaya ataupun agama. Dari para pemain, ada yang bersuku Jawa, Madura, Sunda, Sasak, bahkan ada yang bersuku bangsa Tionghoa.

Kekompakan tim menjadi sangat penting karena dalam permainan ini seorang pemain tidak mungkin akan menggiring dan menempelkan kakinya terlalu lama pada bola api karena bahaya melepuh. Secara otomatis para pemain pasti akan saling mengoper bola dan berkoordinasi.

Maka dengan permainan Sepak Bola Api ini, kita diajarkan untuk selalu menjalin kekompakan, kebersamaan, serta persatuan dan kesatuan dalam memecahkan permasalahan.

Tinggi Toleransi

Sesuai dengan materi yang diajarkan oleh kyai di pondok pesantren kepada para santri, semakin tinggi ilmu seseorang, akan semakin tinggi toleransinya, semakin luas wawasan seseorang, semakin luas pemahamannya terhadap perbedaan.

Di pondok pesantren, selain memelajari ilmu agama dan wawasan dunia, santri juga berinteraksi dengan teman-temannya yang berbeda suku bangsa. Sehingga dengan demikian, mereka bisa memahami dan menerima perbedaan.

Sepak bola api ini juga memiliki tantangan tersendiri. Para pemain harus benar-benar memiliki keberanian yang tinggi. Apabila pemain memiliki nyali kecil, dia pasti tidak akan berani mendekat atau menendang bola tanpa alas kaki. Akan tetapi dia harus tetap mendekat dan menendang bola api itu agar dapat membobol gawang lain.

Selain menambah keberanian, para pemain juga diharuskan mampu mengatur strategi keberaniannya agar mampu mewujudkan gol. Maka dengan permainan bola api ini, para pemain mendapatkan pelajaran tentang keberanian dan strategi. Dan mereka termotivasi untuk menjadi orang yang berani untuk menghadapi rintangan.

Permainan sepak bola api sebenarnya bukan hanya sekadar permainan, akan tetapi penuh dengan pelajaran. Bermain Sepak Bola Api dapat menjadikan orang bertambah nyali dan berani, pandai dalam berstrategi, kompak dalam bertindak dan tentunya dapat menambahkan sikap toleran dan persaudaraan.

Di samping itu semua, panasnya bola api juga mengingatkan kepada para pemain tentang panasnya api neraka. Dengan demikian para pemain dapat mengambil hikmah untuk selalu menjauhi larangan-larangan Tuhan, agar terjauhkan dari siksa api neraka.

Penulis adalah Chairman of Islamic Boarding School of Al Mahrusiyah Lirboyo, Rector of Tribakti Islamic Institute, dan Supreme Council Vice Secretary of Nahdlatul Ulama.