Manfaat Ekonomi Politik KTT G20 bagi Perekonomian Indonesia dan Dunia

KTT G20 di Bali/net
KTT G20 di Bali/net

PERHELATAN KTT G20 telah usai 2 hari yang lalu telah menghabiskan anggaran Rp 674 miliar. 

Penyelenggaraan yang sangat luxurious ini diklaim telah memberi dampak ekonomi senilai Rp 7,4 triliun bagi Indonesia dan membuka 33 ribu lapangan kerja seperti yang disampaikan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno.

Entah bagaimana dan lembaga apa menghitungnya dalam waktu 2 hari bisa ketemu angka Rp 7,4 triliun tersebut. Agar lebih jelas, sebaiknya data ini disampaikan kepada publik secara transparan darimana saja kontribusi yang memberikan dampak ekonomi 7,4 triliun tersebut.

Penyerapan tenaga kerja sebanyak 33 ribu orang tersebut apakah yang terserap saat penyelenggaraan event saja ataukah lapangan kerja yang sustainable. Tentunya untuk mengetahui semua ini pemerintah bisa mempublikasikan datanya secara lengkap.

Secara penyelenggaraan berhasil menservis dan menjamu para tamu dengan baik serta keselamatannya bisa dijaga. Pelaksanaan KTT G20 ini tentu ada 3 pihak yang merasa senang, pertama para tamu yang diundang, kedua yang mengerjakan proyek infrastruktur untuk persiapan KTT G20, ketiga tentunya tuan rumah dalam hal ini Presiden Jokowi.

Output dari penyelenggaraan ini berhasil membuahkan ketenaranan. Tapi secara outcome pelaksanaan KTT G20 ini tekor. Presiden Jokowi telah mengunjungi Rusia dan Ukraina agar bisa dihadirkan dalam KTT G20 tapi ternyata tidak hadir.

Pada hari H, Indonesia tidak menghasilkan komunike untuk menghentikan perang secepatnya. Yang terjadi adalah, pada saat gala dinner terjadi serangan rudal ke Polandia yang menyulut ketegangan baru.

Tekor berikutnya adalah, KTT G20 ini menghasilkan komitmen dengan ADB berupa komitmen dana pinjaman dengan total sekitar Rp 314 triliun untuk pendanaan transisi energi sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira.

Sementara Sekretaris Jendral Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana bahwa kebutuhan anggaran untuk transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan ini membutuhkan anggaran 1 triliun dolar AS.

Bulan September yang lalu pemerintah menaikan subsidi BBM yang disinyalir untuk membayar utang luar negeri sekitar Rp 900 triliun menjadi preseden buruk karena tentunya untuk membayar utang yang akan bertambah sebanyak Rp 314 triliun ini akan memangkas berbagai anggaran yang seharusnya dapat mensejahterakan dan meringankan beban rakyat.

Publik semakin khawatir jika dampak utang yang semakin ugal-ugalan akan menambah beban masyarakat seperti menaikan pajak sebagaimana kebijakan yang telah dilakukan yaitu menaikan pajak dari 10 persen ke 11 persen, apalagi menurut UU PPN maksimal bisa mencapai 15 persen.

Dan bagaimana opportunity manfaat terhadap pemulihan ekonomi Indonesia dan dunia?  Peluangnya sangat rendah. Masalahnya adalah selain pandemi COVID 19 pemicu krisis global adalah konflik Rusia vs Ukraina.

Peranan Indonesia dalam meredakan konflik ini dianggap gagal, pertemuan pihak-pihak yang bertikai yang difasilitasi dalam KTT G20 ini tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Eskalasi ketengan yang makin tinggi membuat pemulihan ekonomi ini menjadi pesimis.

Yang harus diingat adalah KTT G20 sekarang merumuskan persoalan krisis ekonomi global yang sedang terjadi yang salah satunya adalah akibat perang Rusia dan Ukraina. Jadi tentunya urusan stabilitas geopolitik ini harus dibahas dan diupayakan solusinya dengan kemampuan diplomasi yang smart.

Hal ini membuktikan bahwa kemampuan diplomasi Indonesia masih rendah. Fokus penyelenggaraan KTT G20 ini tampaknya lebih kepada keberhasilan penyelenggaraan seremonial event sehingga esensi dari tujuan besar KTT ini tidak tercapai.

Kesempatan besar ini kurang bisa dimanfaatkan secara optimal oleh Indonesia dalam mengambil peranan yang lebih signifikan. Indonesia dalam hal ini telah melewatkan peluang (missed opportunity).

Jika membaca Bali Leader Declaration dari KTT G20 ada lima hal dan semuanya normatif, hentikan perang, perkuat PBB, dan lain-lain. Dunia sekarang sudah multipolar, tapi deklarasinya menunjukan unipolar.

Artinya masih menjadikan PBB ini satu-satunya solusi untuk memecahkan persoalan, padahal lima anggota Dewan Keamanan PBB seperti Amerika, Rusia, Cina, Prancis dan inggris yang semuanya saat ini yang sedang bermasalah. Harusnya KTT G20 mengambil peran strategis untuk membuat tatanan lebih baru karena PBB tidak efektif.

Akhirnya, ajang KTT G20 ini menjadi lebih kental menjadi sebuah selebrasi dan seremoni saja, ditengah publik dunia kelaparan dan tidak aman akibat perang.

Banyak yang bereforia dengan keberhasilan penyelenggaraan event ini, tapi banyak yang tidak memahami persoalan besar yang semestinya mampu dipecahkan melalui event ini.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute