Pasal 7 UUD 1945 Asli

Peneliti JPIPNetwork, Roadiansyah/Ist
Peneliti JPIPNetwork, Roadiansyah/Ist

POSISI UUD 1945 terhadap dinamika bangsa selalu menarik untuk dikaji. Apalagi setelah belakangan ini gerakan kembali ke UUD 1945 yang Asli telah digaungkan sejumlah komponen bangsa. Begitu heroik, sangat patiotik. Sembari mengumandangkan kembali ke UUD 1945, para protagonisnya secara implisit meratapi dampak amandemen UUD 1945.

Dari empat kali amandemen terhadap UUD 1945, yang paling krusial adalah pada amandemen pertama. Amandemen ini terjadi pada Sidang Umum MPR 1999 tanggal 14-21 Oktober 1999. Disebut krusial karena amandemen pertama ini menambahkan pembatasan periode kepresidenan pada Pasal 7 UUD 1945. Jika semula substansi Pasal 7 tak memberi batasan periode, maka hasil amandemen terhadap Pasal 7 memberi batasan periode.

Amandemen Pasal 7 UUD 1945 juga memenuhi keinginan kuat publik secara luas saat reformasi 1998, agar ada pembatasan periode kepresidenan. Selama Orde Lama dan Orde Baru berkuasa, elit politik ketika itu selalu mendasarkan alasannya pada Pasal 7 UUD 1945 asli. Yang berbunyi ''Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali''.

Kalimat ''dapat dipilih kembali'' dalam Pasal 7 UUD 1945 asli memberi peluang bagi presiden yang telah habis masa jabatannya untuk tampil kembali dalam periode kepresidenan berikutnya secara berkali-kali. Situasi ini tentu tidak sehat karena memblok kontestasi, merusak demokrasi kerakyatan serta menciptakan kediktatoran.

Dalam sejarah ketatanegaraan kita, pemberian batasan periode kepresidenan hasil amandemen pertama UUD 1945 merupakan penanda penting sejak 54 tahun kita merdeka. Amandemen itu menutup pintu dua upaya yang telah terjadi pada masa kepresidenan sebelumnya. Pertama, upaya menyiasati terpilihnya kembali seorang presiden berulangkali karena tidak adanya pembatasan periode. Kedua, upaya menjadikan seseorang sebagai presiden seumur hidup.  

Kedua upaya itu merujuk pada fakta sejarah panggung ketatanegaraan kita. Yakni, masa Orde Lama dan masa Orde Baru. Pada masa Orde Lama, Sidang Umum Kedua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 15-22 Mei 1963 di Bandung telah mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang pengangkatan presiden seumur hidup. Sedangkan pada masa Orde Baru, telah terjadi upaya penyiasatan terpilihnya presiden untuk beberapa periode.

Pembatasan Periode

Peneliti pusat kajian hukum dan demokrasi Universitas Stanford, AS, Gideon Maltz, dalam artikelnya ''The Case for Presidential Term Limits'' pada Journal of Democracy, January 2007, menyebut prinsip-prinsip pembatasan periode kepresidenan serta rotasi dalam jabatan pemerintahan

 bisa dilacak sampai ke republik Athena dan Roma. Di era demokrasi modern, pembatasan periode presiden sudah ada sejak pertengahan abad ke-19, ketika prinsip-prinsip itu pertama kali muncul di Amerika Latin.

Setelah itu, batasan masa jabatan presiden secara bertahap diadopsi di negara lain, dan dekade berikutnya pembatasan periode tersebut menyebar cepat ke seluruh dunia, dan mulai dilihat sebagai ciri utama pemerintahan demokratis. Namun, saat ini, ada tren mengkhawatirkan, karena presiden dan sekutunya membatalkan ketentuan konstitusional yang memberlakukan batasan masa jabatan melalui berbagai cara.

Pembatasan periode kepresidenan berkaitan juga pada kebebasan publik. Secara tradisional, manfaat pergantian individu dalam jabatan presiden, dan bahaya dari individu yang memegang kekuasaan terlalu lama, telah membenarkan pembatasan periode kepresidenan. Kekuasaan eksekutif yang begitu lama  di tangan satu orang akan mengancam kebebasan publik.

Sebab, kekuasaan itu akan digunakan untuk melibas kritik atau koreksi yang dilontarkan publik. Itulah yang mendasari presiden pertama AS, George Washington, untuk memprakarsai tradisi batas masa jabatan ketika pada 1796 dia menolak mencalonkan diri untuk periode ketiga.

Namun, sikap George Washington itu belum menjadi aturan tertulis dalam konstitusi AS untuk pembatasan periode kepresidenan. Batas dua masa jabatan baru dikodifikasikan dalam Amandemen Kedua Puluh Dua Konstitusi AS pada tahun 1951, setelah Franklin D. Roosevelt melanggar aturan tak tertulis politik AS tersebut. Memang tanpa aturan tertulis itu sebelumnya, telah timbul preseden buruk bagi politik AS karena Roosevelt mencalonkan diri dan menang empat kali periode kepresidenan antara tahun 1932 dan 1944.

Ada beberapa alasan kenapa pembatasan periode kepresidenan itu penting. Pertama, mencegah terjadinya fenomena kuasi-monarki, yakni ketika seseorang dinyatakan presiden seumur hidup. Indonesia punya pengalaman ini ketika MPRS menerbitkan ketetapan tahun 1963. Kuasi-monarki jelas bukan demokrasi. Kedua, masa jabatan yang panjang mengarah pada akumulasi kekuasaan yang berbahaya di tangan presiden, bahkan terjadi kecenderungan yang lebih besar untuk menyalahgunakannya. Ketiga, pembatasan periode memberi ruang penyegaran puncak eksekutif pemerintahan. Keempat, mencegah terjadinya kediktatoran. Kelima, menggairahkan kontestasi politik.

Siasat Tiga Periode

Setelah melihat seksama substansi serta dampak Pasal 7 UUD 1945 Asli di atas, maka patut diduga gerakan kembali ke UUD 1945 Asli saat ini bukan lagi murni gerakan mencerahkan bangsa. Gerakan tersebut justru telah menjadi ''kuda Troya'' kelompok politik tertentu untuk mengembalikan substansi lama Pasal 7 UUD 1945 Asli, yang jauh dari nilai-nilai demokrasi kita.

Mengembalikan substansi Pasal 7 UUD 1945 Asli, walaupun kemudian diberi adendum, tetap akan membuka peluang terjadinya kuasi-monarki serta kediktatoran. Fakta sejarah kita di masa lalu telah menunjukkan itu dan menjadi pelajaran penting bagi masa depan bangsa.

Ketika Pasal 7 UUD 1945 Asli diamandemen pada tahun 1999 sesungguhnya saat itu sudah sejalan dengan amanah reformasi demi perbaikan kehidupan berbangsa serta kesehatan bernegara. Inti persoalan selama era Orde Lama dan Orde Baru terkait periode kepresidenan segera terselesaikan, yakni diberlakukannya pembatasan periode kepresidenan.

Ala kulli hal, para protagonis tiga periode kini menemukan jurus baru yang berlawanan dengan semangat reformasi 1998. Kepada publik, mereka mengumandangkan kembali ke UUD 1945 Asli sambil mengkritisi hasil amandemen, meski sesungguhnya ajakan kembali ke UUD 1945 Asli justru mengembalikan substansi Pasal 7 UUD 1945 Asli yang tak mengandung pembatasan periode sama sekali.@

Peneliti JPIPNetwork