GNP

Peneliti pada JPIPNetwork, Rosdiansyah/Ist
Peneliti pada JPIPNetwork, Rosdiansyah/Ist

KIAN hari aksi protagonis Gerakan Nambah Periode (GNP) kian agresif. Tak malu terus menarasikan perlunya tambah periode. Alasannya macam-macam. Mulai alasan stabilitas investasi, menjaga keamanan, meneruskan program, dan sebagainya. Sudah jelas konstitusi kita membatasi periode itu, tapi mereka tak peduli. Bagi mereka, nambah periode satu-satunya cara  melanggengkan zona nyaman.

Secara global, gejala nambah periode  bukan unik di Indonesia. Di negara-negara lain, terutama di Afrika, Asia, Timur-Tengah dan Amerika Latin, belakangan juga marak gerakan serupa. Padahal, pada era sebelumnya gelombang ketiga demokratisasi (1970-1990) justru negara-negara di kontinen ini berupaya membatasi periode kepresidenan. Negara-negara Afrika dan Timur-Tengah membatasi satu periode. Sedangkan negara-negara Asia umumnya memilih dua periode saja. Pembatasan tercantum dalam perundangan masing-masing negara.

Tujuannya sama, demi mempromosikan pergantian di lembaga kepresidenan serta mendorong akuntabilitas horisontal diantara berbagai cabang pemerintahan dalam rezim demokrasi baru. Dan saat perundangan batasan periode itu disetujui, lembaga formal tersebut berjanji untuk mengakhiri tradisi "presiden seumur hidup" yang telah merusak konstitusionalisme serta melabrak supremasi hukum beberapa dekade sebelumnya.  

Namun demikian, selalu ada upaya melawan pembatasan periode kepresidenan itu. Sejumlah kajian lintas kawasan yang dilakukan di awal abad 21 memperlihatkan berbagai cara perlawanan tersebut. Mulai dari upaya menghapus ketentuan perundangan, mempengaruhi lembaga legislatif, melobi parpol, sampai upaya melanggar konstitusi.

Pelanggaran konstitusional, ini paling serius. Dan terjadi hampir di semua negara-negara dalam empat kawasan di atas. Peneliti Universitas Lawrence, AS, Kristin McKie, dalam artikelnya ''Presidential Term Limit Contravention: Abolish, Extend, Fail, or Respect? (2019) yang terbit di jurnal Comparative Political Studies menyatakan cara paling sering dalam melanggar konstitusi ini. Yaitu, menciptakan personalisme sembari menyedot sumberdaya negara yang ada. Demokrasi diubah menjadi personalisme.

Penyedotan sumberdaya berlangsung selama tahun-tahun memerintah. Semua lini dibuat tergantung pada satu sosok penguasa. Birokrasi dikendalikan sedemikian rupa melalui pengawasan ketat tak kasat mata. Sebagian besar legislator tunduk padanya. Para pebisnis semu sepenuhnya bergayut pada penguasa, jika mbalelo ada sanksinya. Perangkap hukum digunakan memperangkap ketua-ketua partai politik tertentu.

Selain itu, kampanye terselubung mendongkrak popularitas penguasa berlangsung menjelang akhir masa kepresidenan. Dua pakar politik, Zachary Elkins dan Tom Ginsburg menyebut dalam bukunya ''The endurance of national constitutions. Cambridge'' (2009), bahwa demokrasi sejatinya tentang proses. Bukan tentang personalitas. Namun, ada kecenderungan, tulis kedua pakar itu, oknum-oknum penguasa menjadikan demokrasi alat personalisme, merekayasa perundangan demi memenuhi ambisi pribadinya.

Melawan Batasan Periode

Dalam kurun satu dekade ini, jagat akademis memberi perhatian khusus pada batasan periode kepresidenan. Sebab, tanda-tanda kemunduran praktek demokrasi mengarah pada re-otokratisasi, kian menguat. Penguasa menyiasati perundangan melalui cara memanfaatkan ruang demokrasi demi memperpanjang periode jabatan. Kontestasi jadi tak sehat. Kebebasan sipil tersendat. Arena politik, area akrobat. Semua aparat cenderung jadi alat.

Namun demikian, khazanah riset seputar stabilitas atau ketidakstabilan batas periode saat ini masih banyak terfokus pada penjelasan individual yakni perilaku dan kredensial presiden (misalnya, ikatannya pada militer), popularitas serta dukungan dari partai yang berkuasa.

Barulah Anna Fruhstorfer dan Alexander Hudson dalam artikel mereka yang bertajuk ''Costs and benefits of accepting presidential term limits: ''should I stay or should I go?'' (2022) pada jurnal Democratization mengurai spektrum kajian pembatasan periode ini lintas perspektif. Menurut mereka, pembatasan periode punya kaitan pada kelembagaan. Khususnya, terkait hubungan kekuasaan seputar kepatuhan atau pembangkangan. Meski juga ada perspektif struktural berkonteks sosial, politik dan ekonomi. Pembangkangan berlangsung diantaranya melalui pengendalian kontestasi serta merangkul partai politik.  

Anna Fruhstorfer dan Alexander Hudson juga secara khusus bertumpu pada argumen kepatuhan batas periode berkaitan pada hegemoni elektoral serta tesis kohesi intra-elit. Hegemoni elektoral terlihat dari upaya terus-menerus penguasa menggalang pendukung, mengarahkan sinyal dukungan ke sosok tertentu, sembari memblok semua lini yang berpotensi menciptakan kontra-hegemoni. Diantaranya melalui pembatasan ruang bagi kontestan potensial di lapangan. Birokrasi dikerahkan untuk kerja-kerja hegemonik ini.

Sedangkan kohesi intra-elit dilakukan melalui kalkulasi apa yang akan terjadi jika seorang penguasa tak lagi berkuasa. Ia membutuhkan kenyamanan serta keamanan, pasca kepresidenan. Oleh karenanya, kohesi intra-elit menjadi penting meski bukan jaminan para elit di dalam kohesi itu akan bertahan ketika periode sudah berakhir lalu kontestasi berlangsung normal serta sehat.

Ada dua cara mereka membangun kohesi intra-elit ini. Melalui interest bisnis serta pengaruh politik. Elit yang sudah terlanjur melihat politik satu-satunya cara mempertahankan bisnis oligarkis, maka ia tak akan bisa melihat peluang selain ikut dalam kohesi tersebut. Ini soal kepentingan oligarki rakus, bukan kepentingan bangsa.

Studi Charlotte Heyl dan Mariana Llanos yang kemudian diterbitkan di jurnal Democratization pada tahun ini, 2022, memperlihatkan bagaimana upaya penguasa di Amerika Latin serta Afrika Sub-Sahara mengakali situasi. Artikel bertajuk ''Contested, violated but persistent: presidential term limits in Latin America and sub-saharan Africa'' secara gamblang mengurai otokratisasi berlangsung ketika perlindungan terhadap perundangan pembatasan periode menurun. Penguasa berusaha mengalihkan perhatian publik dari keharusan menaati perundangan kepada propaganda perpanjangan periode melalui berbagai iming-iming.

Situasi di Indonesia

Di Indonesia, rambu-rambu pembatasan periode kepresidenan sudah jelas lugas bernas, terang-benderang tercantum dalam Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen pertama tahun 1999. Amandemen terhadap pasal ini tentu berdasar pada pengalaman sejarah kepresidenan kita. Fakta sejarah kita menunjukkan akibat ketiadaan pembatasan periode kepresidenan pada masa Orde Lama dan era Orde Baru. Ini catatan penting. Janganlah kita setback.

Namun demikian, amandemen tersebut juga bisa dilihat dalam konteks demokratisasi gelombang ketiga sebagaimana dimaksud dalam awal tulisan ini. Kita jangan pula bersikap xenophobik, seolah-olah amandemen itu memenuhi agenda pihak asing atau latah ikut-ikutan gelombang ketiga demokratisasi.

Sikap xenophobik justru berlawanan dengan sikap para pendiri bangsa ini, yang sepanjang hayat mereka menunjukkan sikap tidak anti-asing. Soekarno sudah terbiasa membaca literatur berbahasa asing, idem ditto dengan Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Ahmad Soebardjo, dan yang seangkatan dengan mereka. Mereka menyerap wacana dari luar-negeri namun tetap tegak kokoh berkarakter jati diri Indonesia.

Akhirulkalam, pembatasan periode kepresidenan merupakan keharusan dalam demokrasi yang sehat. Upaya ingin menambah periode, tentu saja bertentangan dengan UUD 1945. Itu inkonstitusional.

Peneliti JPIPNetwork