Mahalnya Biaya Kesehatan dan Psikotes Perpanjangan SIM di Surabaya, IPW: Kalau Ada Murah Kenapa Harus Mahal

SIM Corner BG Junction Surabaya/RMOLJatim
SIM Corner BG Junction Surabaya/RMOLJatim

Biaya permohonan perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM) di wilayah Satlantas Polrestabes Surabaya, dianggap sangat memberatkan.  


Biaya ini jauh berbeda dengan biaya tes kesehatan di Puskesmas dan klinik-klinik. Sayangnya, saat ini Puskesmas 'dilarang' menerima tes kesehatan jasmani untuk pembuatan/perpanjangan SIM.

Hal ini diakui salah seorang dokter Puskesmas di Surabaya Barat yang ditemui Kantor Berita RMOLJatim. Dia mengaku didatangi anggota kepolisian dari wilayah setempat pada September 2022 lalu. 

"Katanya kita tidak boleh menerima lagi surat permohonan kesehatan dari masyarakat untuk pembuatan/perpanjangan SIM. Alasannya surat kesehatan bisa diterbitkan langsung di lokasi pembuatan/perpanjangan SIM," kata dokter tersebut. 

Dokter perempuan itu juga mengaku bingung dengan kebijakan kepolisian. Menurutnya tidak ada beda dokter umum di Puskesmas dan dokter umum yang direkomendasikan Polri. 

"Heran saja. Sama-sama dokter umum. Apa bedanya. Tesnya juga sama," ucapnya mempertanyakan kebijakan Polri.

Sekedar diketahui, pantauan di lapangan pada Senin (28/11) kemarin di SIM Corner BG Junction, sejumlah pemohon perpanjangan SIM mengeluhkan mahalnya biaya tes kesehatan dan psikotes.

Biaya tes kesehatan jasmani dipatok Rp 45.000 untuk permohonan satu SIM. Bila pemohon mengajukan SIM A/C biaya dipatok Rp 85.000. Sementara biaya tes psikologi dikenakan Rp 50.000 untuk satu pemohon SIM. Untuk  penerbitan dua jenis SIM dikenakan Rp 100.000.

Bila dibandingkan dengan biaya tes kesehatan di Puskesmas (sama-sama untuk pembuatan/perpanjangan SIM), pemohon hanya dikenakan tarif Rp 5.000. 

Artinya ada perbedaan mencolok dari biaya kesehatan yang dikeluarkan pihak Satpas dan Puskesmas. Padahal selama ini banyak pemohon SIM yang mengajukan surat kesehatan dari Puskesmas dan tidak ada kendala. Bahkan masyarakat tidak merasa diberatkan dengan biaya tersebut.  

Persoalan ini turut memantik reaksi Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso saat diskusi publik dengan tema "Reformasi Kultural Polri" di Bober Cafe dan Rang Komunitas Surabaya, Selasa (29/11). 

"Syarat kesehatan itu penting. Tapi kepolisian harus memberi keringanan biaya bagi masyarakat. Kalau biaya kesehatan bisa disepakati diturunkan, ya harus diturunkan," kata Teguh. 

Terkait perbandingan biaya yang murah di Puskesmas dan Satpas, menurut Teguh, pihak kepolisian harus memudahkan masyarakat untuk memilih tempat kesehatannya sendiri. 

"Tidak boleh polisi melarang Puskesmas menerbitkan surat kesehatan bagi masyarakat khusus untuk pembuatan/perpanjangan SIM. Karena Puskesmas merupakan unit kesehatan yang sudah ditunjuk secara resmi oleh pemerintah. Tidak boleh hak  masyarakat dihalangi atau dikurangi untuk tes kesehatan mengurus SIM," tegasnya. 

Sekedar diketahui pemohonan perpanjangan SIM di Surabaya harus mengikuti dua tahapan yang berlaku, yakni tes kesehatan jasmani atau kir dokter dan kesehatan rohani atau tes psikologi.

Tujuan tes tersebut dimaksud untuk menilai beberapa aspek dalam meminimalisir risiko saat berkendara. Mulai dari kemampuan konsentrasi, kecermatan, pengendalian diri, kemampuan penyesuaian diri, stabilitas emosi, serta ketahanan kerja.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021. 

Disebutkan dalam Pasal 11 bahwa Kesehatan jasmani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a meliputi pemeriksaan: penglihatan; pendengaran; dan fisik anggota gerak dan perawakan fisik lain.

Pemeriksaan kesehatan jasmani sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh dokter Polri atau dokter umum yang telah mendapat rekomendasi dari Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri atau Bidang Kedokteran dan Kesehatan Kepolisian Daerah.

Pemeriksaan kesehatan jasmani sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Surat keterangan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat digunakan paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterbitkan.

Kemudian dalam Pasal 12 disebutkan Kesehatan rohani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b, dilaksanakan melalui pemeriksaan psikologi yang meliputi aspek: kemampuan kognitif; kemampuan psikomotorik; dan kepribadian.

Pemeriksaan psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh psikolog Polri atau psikolog di luar Polri yang telah mendapat rekomendasi dari Biro Psikologi Staf Sumber Daya Manusia Polri atau Bagian Psikologi Biro Sumber Daya Manusia Kepolisian Daerah.

Pemeriksaan psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuktikan dengan surat keterangan lulus tes psikologi.

Surat keterangan lulus uji psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat digunakan paling lama 6 (enam) bulan sejak diterbitkan.

Sayangnya, dalam Perpol Nomor 5 Tahun 2021 tidak disebutkan besaran biaya untuk tes kesehatan dan psikotes. Memang disebutkan bahwa dokter yang ditunjuk harus mendapat rekomendasi dari Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri atau Bidang Kedokteran dan Kesehatan Kepolisian Daerah. Cuma peraturan ini banyak dipertanyakan pemohon SIM. Padahal pihak Polri bisa saja menunjuk dokter berbiaya murah dan tidak memberatkan masyarakat. Apalagi biaya tes kesehatan dan psikotes bila dihitung secara konkret lebih mahal dari biaya pembuatan/perpanjangan SIM yang jelas-jelas  masuk dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sementara pada praktiknya dokter yang ditunjuk tidak berada di tempat saat para pemohon mengajukan surat kesehatan. Bagaimana dokter menganalisa kesehatan pasiennya bila tidak berada di tempat. 

Bila dihitung secara rata-rata, keuntungan pembuatan surat kesehatan untuk perpanjangan SIM sangat menggiurkan. Bila dalam sehari ada 30 pemohon di SIM Corner maka Rp 45.000 x 30 (@orang) = Rp 1.350.000. Bila dikalikan dalam sebulan Rp 1.350.000 x 30 hari = Rp 40.500.000. Ini belum termasuk biaya tes psikologi. Ini juga masih di satu lokasi SIM Corner. Belum lokasi-lokasi lain. Ini sekaligus jadi  bisnis menggiurkan untuk praktik tes kesehatan dan psikotes perpanjangan SIM yang notabene tidak masuk dalam PNBP. Berbeda jauh bila biaya kesehatan dilakukan di tiap-tiap Puskesmas. 

Kalau pihak Polri benar-benar serius mau melayani masyarakat,  seharusnya bisa menunjuk dokter umum Puskesmas. Polri bisa bekerjasama dengan pemerintah setempat. 

"Polisi itu pengayom, pelindung, dan pelayanan masyarakat. Polisi harus melakukan komunikasi penting, civil society antara polisi dan pemerintah," terang Teguh. 

Terakhir Teguh berpesan kepada Kapolda Jatim Irjen Pol Tony Hermanto, agar segera menertibkan biaya kesehatan dan psikotes perpanjangan SIM yang dianggap terlalu memberatkan masyarakat. Pasalnya, masyarakat itu tidak membeli SIM melainkan mengajukan permohonan. Hal ini agar tidak menjadi preseden buruk ke depannya.

"Ya, Kapolda Jatim harus menertibkan ini. Kalau ada yang murah kenapa harus mahal," demikian Teguh.[bersambung]