Petani Indonesia, Sudahkah Sejahtera?

Ilustrasi petani/Net
Ilustrasi petani/Net

LAGI-lagi memang bukan soal kekayaan sumber daya alam, kompleksitas masalah kesejahteraan memang masih saja melanda negeri ini. Meski dijuluki negeri agraris yang identik dengan pertanian, Indonesia bukan termasuk Negara dengan ketahanan pangan nasional yang cukup independen.

Pasalnya Indonesia tahun ini memecah rekor harga termahal beras di ASEAN. Bank Dunia menyebutkan bahwa harga beras Indonesia paling mahal jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Ironisnya, jumlah impor beras Indonesia terbilang sangat tinggi.

Berdasarkan data BPS, Indonesia mengimpor beras mencapai 408.000 ton pada 2021, angka tersebut naik dari tahun 2020 yang hanya 356.000 ton. Hal ini dilakukan karena selain kepentingan sebagian pihak, kebutuhan bisnis kuliner juga mematok kualitas beras yang tidak ditanam di Indonesia, seperti restoran tertentu, hotel hingga usaha catering.

Bila merefleksi lebih jauh permasalahan kesejahteraan petani, maka faktornya jauh lebih kompleks lagi. Secara normatif, dalam hal ini penulis berusaha merangkum beberapa faktor untuk menjawab mengapa petani di Indonesia belum bisa dikatakan sejahtera.

Pertama, instabilitas cuaca tentu sangat mempengaruhi produktivitas hasil panen. Petani bisa saja rugi akibat cuaca ekstrem, harga pasar yang juga turun drastis bahkan pada tingkat yang lebih ekstrem bukan mustahil petani gagal panen satu musim karena lahan pertaniannya terdampak banjir.

Hal ini memang diluar prediksi, akan tetapi permasalahannya adalah, petani Indonesia sangat minim memiliki teknologi yang mampu menanggulangi hal-hal yang tidak dinginkan terjadi, dalam kasus cuaca ekstrem misalnya.

Selain cuaca, permasalahan kultural juga turut mewarnai minimnya tingkat kesejahteraan petani di Indonesia. Contoh kongkritnya seringkali petani-petani kolot atau sebutlah yang berusia lanjut tidak bisa mengikuti transisi teknologi pertanian yang sebetulnya memudahkan pekerjaan mereka, hal ini bisa saja berdampak domino.

Transisi nilai juga terjadi pada mereka para petani yang tercipta karena dampak dari kebijakan, contohnya saja revolusi hijau besar-besaran yang terjadi pada era Soeharto. Perlu diakui memang hal tersebut cukup membawa kemajuan khususnya dalam bidang pertanian, sayangnya hanya bersifat parsial bahkan dalam jangka panjang akhirnya meninggalkan nilai kultur pada petani yang terbawa hingga sekarang.

Nilai kultur yang ditinggalkan yakni penggunaan pupuk kimia atau non organik yang digunakan pada revolusi hijau era Soeharto itu akhirnya berdampak buruk, sisa-sisa kebijakan tersebut tidak dipungkiri membuat lena para petani lokal. Pasalnya dalam penggunaan pupuk non organik, petani jadi jauh lebih mudah, selain itu tenaga dan energi yang dibutuhkan juga lebih sedikit.

Contohnya saja petani organik bisa saja pergi subuh pulang petang karena memupuk sendiri kadangkala mengolah kompos sendiri. Sedangkan petani dengan pupuk kimia, akan pulang lebih cepat. Sayangnya keuntungan yang di hasil kan sebetulnya tidak sebanding, karena pupuk kimia rentan hama dan lebih rentan dengan cuaca ekstrem. Apakah petani tidak tahu?

Tentu kebanyakan dari mereka tahu, akan tetapi kembali lagi ini memang faktor kultural, mereka sudah terlalu malas kembali menggunakan pupuk organik sehingga akhirnya berdampak pada penurunan produktivitas hasil panen dan jelas saja hal ini juga menjadi faktor tidak sejahtera nya petani lokal.

Selanjutnya, kurangnya modal petani. Dalam hal ini memang faktor yang sangat bersifat relatif namun sangat menentukan. Aviliani, Sekretaris Ekonomi Nasional menyebut bahwa petani Indonesia berada pada garis kemiskinan dengan penghasilan yang sangat rendah, hal ini dikarenakan indeks aktivitas bertani yang masih sangat minim. Hal ini akhirnya berdampak pada minimnya kepemilikan modal, pihak bank ataupun pemerintah sekalipun tidak mungkin memberikan modal secara cuma-cuma.

Maka apa yang terjadi pada petani yang kurang modal? Tentu saja kurang nya lahan yang tidak bisa menutupi kebutuhan sehari-hari, dalam pertanian padi misalnya petani baru bisa sejahtera jika memiliki 2 hektar sawah, belum lagi kurangnya modal berdampak pada pemupukan yang minim bail secara kuantitas maupun kualitas akibatnya kualitas hasil panen memburuk, bukannya untung petani justru merugi.

Faktor lain mengapa petani lokal masih berada pada garis kemiskinan adalah faktor pendidikan, mayoritas petani lokal didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar. Jenjang pendidikan jelas mempengaruhi tingkat pengetahuan hingga keterampilan petani. Belum lagi teknologi terapan pada dunia pertanian seringkali baru diajarkan di Perguruan Tinggi Pertanian, hal ini akhirnya mau tidak mau berpengaruh pada jumlah tenaga ahli atau SDM profesional yang tidak memadai, berdampak pada kualitas hasil panen terlebih secara holistik berdampak pada kesejahteraan petani itu sendiri.

Belum lagi faktor pemasaran, pasalnya petani yang tidak berkuasa atas harga pasar akhirnya seolah-olah mengundi nasib, menjadi petani seolah tentang bertaruh harga pasar yang tidak stabil dan cenderung naik turun. Belum lagi permainan harga dari para broker yang seringkali merugikan pihak petani, mereka membeli komoditas dengan harga murah dan menjual ke pasaran dengan harga tinggi.

Hal inilah yang kadangkala membingungkan masyarakat, sebagai konsumen tentu kita dibuat bingung, dengan harga pasar yang kian tinggi mengapa pula masih saja petani lokal rugi dan tidak sejahtera?

Selain broker memang harga pasar dipengaruhi oleh jumlahnya ketersedian komoditas di pasar, jumlah komoditas yang melimpah membuat harga menjadi turun drastis. Namun itulah letak permasalahannya, mengapa jumlah ketersedian pangan justru membawa kerugian bagi petani?

Hal itu karena kurangnya polarisasi distribusi hasil pertanian, akhirnya seluruh daerah pertanian tidak terkendali terus memproduksi berbagai macam komoditas tanpa peduli analisis kebutuhan pasar, alhasil jumlah ketersedian pangan berlimpah akhirnya tidak terdistribusi dengan baik dan berdampak pada kerugian petani.

Ada dua solusi dari permasalahan distribusi hasil panen yang melimpah dan tidak terkontrol, yang pertama perlunya ada regulasi sentralisasi dan lokalisasi komoditas unggulan di beberapa daerah tertentu, misalnya daerah Jawa Barat disentralisasi kan sebagai daerah produksi beras dan Jawa Tengah menjadi daerah produksi sayur mayur. Sehingga seluruh daerah diarahkan pada produksi jenis komoditas yang sesuai dengan pembagian jenis pangan yang telah ditentukan. Siapa yang bertanggungjawab atas pelaksanaan regulasi ini? Tentu pemerintah, baik mentri pertanian ataupun mentri perdagangan.

Solusi yang kedua perlunya pengembangan produksi produk-produk olahan hasil panen pertanian yang dikembangkan langsung oleh petani. Menimbang membeludaknya jumlah ketersedian komoditas di pasaran sehingga harga pasar turun drastis, petani bisa saja mengolah langsung hasil panennya sendiri.

Namun demikian, tentu tantangannya juga kompleks, selain petani harus memikirkan formulasi yang tepat untuk produk dari hasil panennya, petani juga perlu menganalisis pasar, kebutuhan sumber daya manusia, juga packaging. Modalnya juga bisa bertambah, mereka perlu merintis usaha dari nol. Lagi-lagi inovasi tersebut sebetulnya sangat baik jika di manajamen pula dengan baik.

Sebetulnya bantuan dana dari anggaran dasar desa bisa saja diorientasikan pada hal-hal yang lebih konkrit  dalam konteks pertanian, membantu petani merintis usaha hasil panennya sendiri menjadi makanan olahan lokal, dan ini tidak mudah, selain kemauan dari petani, sistem sumber yang tersedia juga perlu mendukung dan sistem sumber terbesar dalam hal ini tentu saja pemerintah.

Memang lagi-lagi permasalahan kesejahteraan masyarakat secara luas tidak lepas dari bagaimana optimalisasi peran pemerintah. Kebijakan yang mendukung juga perlu, bukan saja faktor kultural, faktor struktural justru lebih fundamental dalam menyemai kesejahteraan. Dan ironisnya hingga saat ini pemerintah masih saja belum berbenah dan serius dalam menyejahterakan rakyat, lebih tertarik dengan transaksi kepentingan yang sama sekali tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat.

*Penulis adalah Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ.