Penerapan ERP di Jakarta Membuat Orang Miskin Terpinggirkan

Ilustrasi penerapan jalan berbayar di Jakarta/RMOLJakarta
Ilustrasi penerapan jalan berbayar di Jakarta/RMOLJakarta

HIDUP di Indonesia semakin susah. Teknologi semakin maju tapi kebutuhan-kebutuhan mendasar semakin ribet. Begitu pula berbagai kerumitan birokratif membuat masyarakat mengalami kesulitan.

Saat ini Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono berencana menerapkan Electronic Road Pricing (ERP) dimana penggunaan jalan tertentu akan dikenai tarif pembayaran. ERP ini bukan hal yang baru, Singapura menerapkan ERP sudah sejak tahun 1998.

Kebijakan ini sudah dipastikan akan banyak penentangan dari publik seperti yang terjadi di Hong Kong dimana proposal tentang skema ERP ini ditolak oleh masyarakat.

Kabarnya ERP ini berhasil mengurangi kemacetan di beberapa negara yang menerapkannya. Tapi apakah kondisinya sama seperti Jakarta atau Indonesia pada umumnya?

Kita lihat bagaimana Singapura yang masyarakatnya harus mengeluarkan biaya yang mahal untuk mendapatkan lisensi mengemudi (SIM). Dari hal ini saja sudah sangat terurai bahwa pengguna kendaraan khususnya roda empat disana adalah masyarakat dengan penghasilan yang besar. Belum lagi jumlah penduduk yang tidak begitu besar, yang tentunya penerapan ERP di Singapura akan lebih mudah dirasakan dampaknya. Tentunya jika dibandingkan dengan kondisi Jakarta menjadi tidak Apple to Apple.

Di Indonesia khususnya di DKI Jakarta, pengguna kendaraan roda empat belum tentu masyarakat menengah ke atas yang jika ERP ini diterapkan akan mengganggu kehidupan perekonomiannya apalagi wilayah aktivitasnya berada di wilayah yang menerapkan ERP. Ini akan sangat memberatkan.

Rakyat harus berinvestasi membeli alat in-vehicle unit (IU) tempat kartu pintar dipergunakan. Hal ini tentunya selain membebani masyarakat juga akan menyulitkan pengguna jalan yang berasal dari luar Jakarta yang ingin lewat.

Bagi masyarakat kelas atas tentunya program ini akan sangat menggembirakan. Mereka akan lebih nyaman terhindar dari kemacetan dengan menggunakan jalan yang menggunakan skema ERP. Bagi vendor pun tentunya akan menjadi proyek yang akan mendatangkan keuntungan.

Tapi bagaimana dengan masyarakat kelas bawah? mereka lagi-lagi akan terpinggirkan karena tidak mampu melewati jalan yang menerapkan skema ERP. Padahal pada prinsipnya jalan itu milik rakyat, kenapa rakyat harus bayar?

Lagi-lagi akan ada kesan bahwa pemerintah DKI Jakarta lebih melayani kepentingan kalangan atas daripada masyarakat kelas bawah.

Sebetulnya masih ada cara lain jika ingin mengurai kemacetan. Yang secara kongkrit sudah dilaksanakan oleh Jakarta adalah penerapan transportasi publik terintegrasi di DKI Jakarta kini sudah dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Pengguna jalan yang biasanya membawa kendaraan pribadi sudah banyak yang beralih ke transportasi publik karena kenyamanan dan efisiensi yang dirasakan oleh para penggunanya. Jika ini dikembangkan lebih luas tentunya secara gradual dipastikan akan mengurangi tingkat kemacetan.

Akan ada transformasi dari penggunaan kendaraan pribadi beralih kepada penggunaan transportasi publik jika transportasi publik bisa lebih nyaman dan menjangkau banyak titik strategis yang memudahkan masyarakat berkunjung ke berbagai penjuru Jakarta.

Jadi kebijakan penerapan ERP ini harus ditolak. Publik akan merasa semakin hari hidup di DKI Jakarta semakin sulit. Hal ini akan menimbulkan keresahan dimasyarakat yang akan membuat citra pemerintah akan semakin buruk.

*Penulis adalah Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute