Apapun Bentuk Sistem Pemilu 2024, Harus Tingkatkan Kualitas Demokrasi

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

Pemilihan umum merupakan instrumen dan menjadi bagian dari sistem demokrasi yang pelaksanaannya bisa menyesuaikan kebutuhan berdasar konteks waktu dan tempat. Demokrasi sendiri tidak mempunya bentuk baku yang dapat diterapkan sebagai model yang sama di setiap negara.


“Jadi kalau ditanya, sistem apa yang terbaik, tentu yang bisa mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa,” kata Prof Imron Cotan dalam webinar nasional Moya Institute dikutip Kantor Berita Politik RMOL. Webinar mengangkat tema “Pemilu Proporsional Tertutup: Kontroversi”, Jumat (20/1).

Sebab, mantan Duta Besar Indonesia untuk Australia dan Tingkok itu menekankan, apapun sistem pemilu yang dipakai tidak menjadi soal, asalkan berkelanjutan dan dapat meningkatkan kualitas demokrasi. Sebab, dalam pandangannya, saat ini demokrasi di Indonesia masih dalam proses pematangan.

Belakangan perdebatan mengenai sistem pemilihan umum kembali mencuat, terkait apakah akan menggunakan sistem proporsional tertutup atau terbuka. PDI Perjuangan mengusulkan sistem pemilu dengan sistem proporsional tertutup dengan alasan ongkos politik yang lebih murah, mencegah liberalisasi, serta potensi politik uang yang lebih kecil. Namun pendapat PDI Perjuangan ditentang delapan partai politik di parlemen.

Politikus reformasi Fahri Hamzah mengingatkan masyarakat untuk mempertanyakan argumentasi bahwa sistem pemilu proporsional tertutup lebih bisa menyerap aspirasi masyarakat ketimbang terbuka.

“(Argumentasi) itu bisa menyesatkan. Kalau membiarkan parpol mendudukkan anggotanya dari daerah tertentu, namun masyarakat merasa tidak memilih, maka kepercayaan konstituen akan pudar. Ingat, sistem pemilu adalah induknya demokrasi,” ucap Fahri. Dengan begitu dalam demokrasi, rakyat lebih penting dari negara. Maka itu, partai politik yang hanya dikelola segelintir orang, tidak boleh mengambil-alih aspirasi rakyat.

Guru Besar Universitas Bhayangkara Jaya dan peneliti senior BRIN Prof Hermawan Sulistyo menyebutkan, prinsip dasar dari pemilu yakni setiap orang sejak lahir mempunyai kedaulatan terhadap dirinya sendiri. Agar tidak terjadi konflik, maka dibuat pengaturan. “Nah yang membuat pengaturan tersebut adalah orang yang kita pilih di eksekutif maupun legislatif,” ujar Hermawan.

Hermawan melanjutkan, pihak lain yang membuat pengaturan itu terdiri dari parpol dan orang, sehingga masyarakat bisa mengetahui pertanggungjawabannya, sebab dipilih langsung. Hermawan juga menampik anggapan jika salah satu sistem pemilu tertentu lebih mudah membuat politisi tertentu terpilih di DPR. Menurutnya, semua sistem pemilu bisa menghantarkan politisi berkualitas ke DPR.

Pengamat hukum UI Chudry Sitompul menjelaskan, sistem pemilu terbagi dalam bentuk mekanis dan organik. Dalam bentuk mekanis, warga negara dipandang secara individual, yang mempunyai hak memilih. Sementara dalam bentuk organik, warga negara tidak dilihat sebagai perorangan melainkan berdasarkan kelompoknya. Semuanya memiliki plus-minus.

Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto memaparkan, sistem proporsional tertutup maupun terbuka pernah dipraktikkan sejak awal reformasi sampai sekarang dalam kehidupan politik bernegara Indonesia. Kendati demikian, Hery berpendapat, tidak ada sistem yang satu tidak lebih sempurna dibandingkan dengan yang lainnya. “Apapun nantinya yang dipilih, harus mampu meningkatkan kualitas demokrasi” ujar Hery.