Bongkar Paksa Gudang Tritan Points, Perampokan Terhadap Pedagang Pribumi 

Lukman Ladjoni/ ist
Lukman Ladjoni/ ist

PADA pekan kemarin, kita dikejutkan tragedi pembongkaran pakaian bekas di pergudangan Tritan Points di Gedebage, Jawa Barat. 

Gudang Tritan Points, lokasinya tak jauh dari markas kepolisian. Tentu, sangat tidak mungkin dijadikan sebagai tempat penyimpanan barang terlarang. 

Gudang Tritan Points berisi pakaian bekas. Dagangan murah meriah, penyambung hidup bagi pedagang kecil. 

Belakangan, Ketua DPD Perhimpunan Pedagang Pakaian Nusantara (P3N) Jawa Barat, Antoni menyesalkan adanya pembongkaran paksa yang dilakukan oknum aparat, lantaran tidak ada surat tugas resmi. Lebih mengesalkan lagi, dibongkar tanpa sepengetahuan pemilik.

Singkat cerita, oknum belasan polisi itu membawa sekitar 1700 bal, tanpa meninggalkan secarik kertas, sebagai bukti penyitaan barang.

Harusnya, dalam melakukan razia, tetap harus berlaku persuasif, sesuai prosedur hukum. Bukan bertindak sewenang-wenang atas nama penegak hukum.

Trifting alias pakaian bekas merk import memang barang abu-abu. Di satu sisi, pemerintah melakukan pelarangan dengan dalih melindungi industri dalam negeri. Namun di satu sisi justru menjadi penopang bagi pedagang kecil dalam negeri.

Jika barang bekas itu adalah stok lama, maka sesuai aturan main, stok lama jadi tidak masalah untuk dihabiskan.

Tapi jika itu stok baru, maka yang harus ditertibkan adalah para oknum yang berdiri congkak di pintu-pintu masuk, seperti di pelabuhan. Bukan di gudang pasar, tempat pedagang menitipkan stok dagangan yang belum laku. 

Peristiwa ini seakan membuktikan jika masih ada oknum yang tebang pilih dalam menindak suatu persoalan. Terkesan menyudutkan masyarakat. 

Jika menoleh ke belakang, pedagang pakaian bekas ini pernah menjadi pahlawan ekonomi saat Indoensia dilanda covid-19 yang mematikan semua sektor. Mereka bertahan hidup dan membangkitkan ekonomi tanpa meminta bantuan pemerintah. 

Soal pakaian bekas merk import, harusnya pemerintah memberi wadah atau solusi untuk memberdayakan ekonomi masyarakat kelas menengah. Tidak, sekedar membuat aturan yang melemahkan para pedagang kecil.

Pedagang kecil ini bukan penjajah. Mereka tak lain adalah pribumi asli anak bangsa, yang tidak pernah minta bantuan atau dibantu pemerintah.

Menjadi pertanyaan mengapa pedagang kecil pribumi selalu jadi sasaran hukum, dan menjadi sasaran para oknum. Sungguh sesuatu yang aneh. 

Sengaja saya menyebut nama Pribumi. Pribumi di sini bukanlah rasis dari suku, ras atau agama. 

Tapi, Saya rasis dalam hal pikiran dan jiwa. 

Soal manusia atau etnis itu sama-sama ciptaan Tuhan. Jadi tidak boleh ada rasis dalam hal manusianya

Masyarakat kecil pribumi ini harusnya dibina, tidak dibinasakan. Agar, tidak menjadi pengangguran yang mengakibatkan mudah terseret jadi radikal akibat kecemburuan sosial.

Jika kejadian ini terus berlanjut, maka harus ada yang berani melawan secara hukum. Ini sekaligus membuktikan apakah negara Indonesia masih negara hukum, atau sudah  berubah negara kekuasaan? Titik. 

Penulis merupakan Pembina Pedagang Kecil Pribumi 

ikuti terus update berita rmoljatim di google news