Peningkatan Angka Harapan Hidup

Ilustrasi Aparatur Sipin Negara (ASN)/RMOLNetwork
Ilustrasi Aparatur Sipin Negara (ASN)/RMOLNetwork

BADAN Pusat Statistik menyampaikan informasi tentang fenomena terjadinya peningkatan Angka Harapan Hidup (AHH) penduduk di Indonesia dari 70,6 tahun menjadi 73,9 tahun dalam periode analisis tahun 2014-2023. Informasi tersebut mempunyai implikasi besar terhadap usia pensiun, yaitu usia pensiun perlu dinaikkan.

UU 20/2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) telah menetapkan usia pensiun 60 tahun untuk pejabat pimpinan tinggi utama, pejabat pimpinan tinggi madya, dan pejabat pimpinan tinggi pratama. Selanjutnya usia pensiun 58 tahun diberlakukan untuk pejabat administrator dan pejabat pengawas, maupun pejabat pelaksana untuk jabatan non manajerial.

Kemudian pejabat fungsional berlaku peraturan perundang-undangan khusus. Usia pensiun 65 tahun untuk jabatan fungsional ahli utama sebagaimana tercantum dalam PP 11/2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil Pasal 239 ayat (2).

Berdasarkan Permenristekdikti 26/2015 dan 2/2026 menetapkan usia pensiun dosen adalah 65 tahun untuk dosen yang memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN). Selanjutnya masa pensiun untuk profesor berusia 70 tahun.

Setelah pensiun tiba, dosen swasta yang mengajar lagi akan memperoleh Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK). Nomor Induk Dosen Khusus dapat diusulkan memperoleh Nomor Urut Pendidik (NUP).

Akibatnya adalah TNI mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk melakukan perubahan UU 34/2004 tentang TNI. Demikian pula Polri mengajukan RUU Perubahan Kedua atas UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI.

Prajurit TNI berpangkat perwira semula melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia 58 tahun. Kemudian prajurit berpangkat bintara dan tamtama berdinas keprajuritan hingga usia 53 tahun. Atas peningkatan AHH di atas, maka usia pensiun bintara dan tamtama diusulkan oleh TNI dinaikkan menjadi 58 tahun dan usia pensiun perwira menjadi 60 tahun.

Atas fenomena ASN dan aspirasi TNI tersebut di atas, usia pensiun anggota Polri ingin menjadi 60 tahun. Usia pensiun tersebut dapat diperpanjang hingga 62 tahun untuk anggota Polri yang memiliki keahlian khusus, yang sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian.

Akan tetapi, persoalan yang timbul adalah muncul isu kembalinya dwi fungsi ABRI. Hal itu dikuatkan oleh Pasal 47 ayat (2) UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada sepuluh kantor Kementerian/Lembaga.

Di luar sepuluh Kementerian/Lembaga tersebut, maka dilakukan penyesuaian norma UU TNI terkait dengan penempatan instansi pusat tertentu yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif.

Pada kenyataannya memang ditemukan prajurit TNI yang menduduki jabatan sipil pada instansi pusat tertentu prajurit, maupun prajurit TNI yang menduduki jabatan sipil pada instansi pusat tertentu di luar ketentuan UU TNI. Ketentuan Pasal 47 ayat (2) hingga (6) ini kemudian menimbulkan resistensi, antara lain dalam bentuk demonstrasi oleh mahasiswa BEM SI.

Sekalipun KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak telah menjelaskan bahwa Pasal 47 ayat (2) bukanlah untuk maksud menghidupkan dwi fungsi TNI atau multi fungsi, maupun untuk maksud kembali kepada periode Orde Baru.

Akan tetapi kalangan mahasiswa demonstran dan sebagian pengamat menilai fenomena tersebut memang masih merupakan sebagai maksud eksplisit untuk menghidupkan peran TNI Polri sebagai prajurit aktif untuk bertugas ke dalam jabatan masyarakat sipil ASN, tanpa pensiun terlebih dahulu.

Bukan hanya itu, sekalipun tidak tercantum secara eksplisit dalam RUU Perubahan UU TNI, namun masyarakat kembali mempersoalkan tentang prajurit TNI berbisnis.

Akan tetapi KSAD menilai tidak apa-apa, jika prajurit TNI di luar jam kerja melaksanakan kegiatan bisnis. Misalnya, istri prajurit membuka warung kemudian prajurit TNI di luar jam kerja membantu kegiatan bisnis istrinya tersebut.

KSAD memandang yang tidak boleh adalah instansi TNI melakukan kegiatan bisnis. Akan tetapi masyarakat umum sudah banyak mengetahui bahwa oknum prajurit dan pensiunan prajurit untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan keluarga, itu mereka terlibat hubungan bisnis dengan perusahaan swasta. Mempunyai bisnis kayu. Bisnis pertambangan. Mempunyai bisnis properti. Mempunyai bisnis ritel. Mempunyai bisnis transportasi.

Di samping itu, ada lahan-lahan dalam lingkungan TNI Polri yang dikerjasamakan dengan perusahaan swasta sebagai “bisnis militer” bekerjasama dengan perusahaan swasta untuk kegiatan non bujeter dan meningkatkan kesejahteraan.

Persoalan kesejahteraan prajurit TNI Polri sesungguhnya merupakan persoalan lama sejak periode kemerdekaan hingga sekarang, yang belum terselesaikan menggunakan penataan dalam UU. Prajurit yang sibuk dinas pada kenyataannya dihadapkan pada masalah kesejahteraan.

Masalah anak-anak mereka tidak mudah terbiayai hingga lulus sekolah sarjana, apalagi pasca sarjana. Prajurit yang telah berumah tangga dihadapkan pada besarnya biaya uang sekolah anak-anaknya.

Prajurit tidak mudah mempunyai rumah tempat tinggal milik sendiri, setelah rumah dinas berakhir dengan berakhirnya masa jabatan. Tidak heran jika terjadi rebutan tempat tinggal rumah dinas, atau ribut tentang penyerahan kendaraan dinas.

Prajurit yang mempunyai tingkat kesejahteraan jauh di atas rata-rata terkesan adalah prajurit yang mampu mempunyai usaha bisnis yang sukses. Tidak mengherankan, jika prajurit yang berpangkat lebih rendah namun secara materi jauh terlihat lebih makmur, kemudian mereka terkesan lebih “dihormati” dibandingkan prajurit yang berpangkat lebih tinggi, namun mempunyai tingkat kesejahteraan material yang terkesan lebih rendah.

Masalah perbaikan kesejahteraan keluarga sesungguhnya merupakan masalah yang juga dihadapi oleh ASN, termasuk pekerja sektor informal.

Jadi, persoalan implikasi dari peningkatan AHH terhadap perubahan UU TNI Polri masih memerlukan kajian yang lebih mendalam, khususnya dalam optimalisasi sumber daya manusia TNI Polri untuk kemanfaatan bangsa dan negara. RUU TNI Polri tentu tidak dapat disahkan secara “kilat” sebagaimana UU Ibukota Nusantara, UU Omnibus Law, revisi UU KPK, dan UU lainnya.

Sebab, perpanjangan usia pensiun terkesan mempersulit penyediaan lapangan pekerjaan untuk pengangguran terbuka yang sebanyak 7,2 juta per Maret 2024. Perpanjangan usia pensiun tanpa diikuti oleh penciptaan penyediaan lapangan pekerjaan yang baru, itu membuat nasib generasi Z merana ketika PHK meningkat.

*Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana

ikuti terus update berita rmoljatim di google news