Pentingnya Pengelolaan Media TNI Hadapi Ancaman Keamanan Nasional

Septiawan S.S., Msi/Ist
Septiawan S.S., Msi/Ist

WAJAH militer Indonesia sudah mengalami perubahan, terutama semenjak Reformasi 1998. Mengutip pendapat Kepala Biro majalah Far Estern Economic Review (FEER) Michael R.J. Vatikiotis, bahwa dalam sejarah Indonesia modern, terdapat satu organisasi yang posisinya paling penting dibandingkan organisasi lain. Organisasi tersebut adalah adalah Angkatan Bersenjata. 

Sejarah mencatat bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah memainkan peranan sangat penting sejak awal berdirinya negara Republik Indonesia, tepatnya setelah TNI secara resmi lahir 5 Oktober 1945 menyusul Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945, atau dua hari setelah tentara Jepang angkat kaki menyerah kalah kepada sekutu.

Asal muasal tentara Indonesia sendiri adalah milisi pro kemerdekaan yang didukung nasionalis Indonesia. 

Hasil survei Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) menunjukkan bahwa TNI telah mendapatkan kepercayaan yang tinggi dari masyarakat. Tingkat kepercayaan ini bisa menjadi modal bagi TNI dalam menjalankan amanat Undang-Undang, yaitu menjadi penangkal terhadap setiap bentuk ancaman dari luar dan dalam negeri. 

Buku Putih Pertahanan Indonesia 2015 mengungkapkan bahwa lingkungan strategis saat ini mengalami perkembangan yang dinamis. Ini memiliki pengaruh besar dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Misalnya, dalam konteks Asia Pasifik, dinamika yang perlu dicermati adalah pertumbuhan ekonomi yang berimplikasi pada perkembangan kekuatan militer. Dinamika pertumbuhan ekonomi ini saat ini semakin kompleks dan multidimensional. Situasi ini bisa membentuk pola ancaman, yang bisa berupa ancaman militer, ancaman nonmiliter dan ancaman hibrida yang dapat dikategorikan dalam bentuk ancaman nyata dan belum nyata. 

Wujud ancaman tersebut diantaranya terorisme dan radikalisme, separatisme dan pemberontakan bersenjata, bencana alam, pelanggaran wilayah perbatasan, perompakan dan pencurian kekayaan alam, wabah penyakit, serangan siber dan spionase, peredaran dan penyalahgunaan narkoba serta konflik terbuka atau perang konvensional. 

Kondisi dalam negeri juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan strategis yang dipicu oleh faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Perkembangan ini menjadi tantangan yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan pertahanan negara di Indonesia. 

Suryanto (2014) menyatakan bahwa perubahan geopolitik dan geostrategis pada abad 21 ini, terus berkembang dan ini menyebabkan berubahnya terminologi tentang perang. 

Setelah peristiwa bom di Amerika pada tanggal 11 September 2001 atau dikenal sebagai tragedi 9/11, perkembangan ilmu perang seperti Non-traditional Warfare, Asymetric Warfare, dan Four Generation Warfare (4GW) mulai muncul yang diikuti perkembangan fungsi militer yang selain perang konvensional atau di Indonesia diterapkan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Bahkan peperangan dalam ranah ini tidak hanya dilakukan oleh militer, pelaku peperangan bisa saja berbagai berbagai aktor, pemerintah, individu, NGO, maupun kelompok ilegal yang biasa disebut NSA.

Suryokusumo (2016) mengatakan perang-perang nonmiliter dalam wilayah informasi, seperti psychological warfare, media warfare, dan cyber warfare muncul sebagai ancaman baru bagi pertahanan dan keamanan negara. Salah satu peperangan yang saat ini cenderung tinggi karena banyak dan sulit untuk dikontrol maupun dicegah adalah information warfare. 

Libicki (1995) sebagaimana dikutip Septiantoro et al., (2018) memaparkan adanya tujuh bentuk information warfare, antara lain:

Command dan Control Warfare, bertujuan mengacaukan sistem kendali senjata yang berbasis teknologi informasi.

Intelligence-Based Warfare, berbentuk serangan dan kontra serangan yang membutuhkan basis pencarian informasi dalam rangka mengetahui lalu mendominasi kekuatan lawan.

Electronic Warfare, merupakan kegiatan dengan sarana radio elektronika atau kriptografi untuk menyerang sistem elektronika lawan.

Hacker Warfare, yaitu kegiatan penyerangan pada sistem informasi dan komputerisasi lawan.

Economic Information Warfare, yaitu memblokade atau mengaburkan informasi atas kondisi ekonomi untuk mengejar kondisi ekonomi lawan.

Cyber Warfare, suatu peperangan dalam bentuk digital secara terkoordinasi yang dilakukan oleh pemerintah ataupun NSA.

Psychological Warfare, mengarahkan penyerangan untuk mempengaruhi lawan dan sekaligus kawan agar berpihak kepada pelaku biasa disebut sebagai Psychological Operations (PSYOPS).

Psychological Operations (PSYOPS) merupakan perang baru yang cukup berbahaya. Perang ini berada dalam ranah information warfare dengan senjata utama yang digunakan adalah informasi. 

Macdonald (2007) mengatakan PSYOPS pada abad 21 ini menggunakan ilmu komunikasi media untuk melakukan tipuan atau propaganda dalam perang. 

Penggunaan media informasi untuk melakukan PSYOPS ini biasa disebut media warfare. Weimann (2014), sebagaimana dikutip Septiantoro et al., (2018), menyatakan bahwa saat ini begitu banyak cara yang mampu dilakukan oleh teroris dalam media warfare ini. Diantara adalah fake news, hacking, hingga fake account

Penggunaan media informasi juga telah digunakan oleh NSA sebagai alat propaganda karena populer, murah, dan mudah mencapai target.

Karena itu peran media menjadi penting dalam ranah ancaman media warfare. Menurut Hamad (2004), pembentukan opini akan dibuat dengan tahap penggunaan simbol, strategi framing atau pengemasan, dan agenda setting untuk membangun framing realitas politik. 

Espinosa-Oviedo, et al (2016) sebagaimana dikutip Septiantoro et al (2018) memperlihatkan bahwa new media telah banyak digunakan untuk media warfare saat ini. 

Melalui new media, informasi bisa disampaikan secara scrap web, pull data, dan push data. Hal ini juga dapat memperlihatkan keadaan politik suatu negara. New media tersebut adalah:

Scrap Web, informasi diberikan atau dipaparkan lewat web online yang berisi berita.

Pull Data, informasi diambil oleh pembaca lewat media sosial seperti facebook, twitter, dan lain lain.

Pushed Data, informasi dialirkan dengan sistem dorong seperti berita yang disebarkan melalui media chatting atau menggunakan Really Simple Sindication (RSS) yang merupakan sistem yang mendorong artikel terbaru kepada konsumen secara otomatis. 

Ancaman Perang

Instrumen informasi seperti invasi virus komputer, rumor isu skandal pimpinan negara dalam berita, informasi hoax dan lain-lain, saat ini bisa menjadi metode dalam penyerangan terhadap keamanan suatu negara. 

Karena itu peran Pusat Penerangan (Puspen) TNI sangat vital untuk diperkuat dalam memberikan perlidungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik melalui perubahan UU ini.

Pola konflik bersenjata saat ini juga mengalami perubahan yang signifikan sehingga memengaruhi kecenderungan bentuk konflik kontemporer di dunia. 

Hal ini disebabkan adanya perkembangan teknologi militer, keinginan untuk mengurangi jatuhnya korban, biaya perang yang tinggi dan semakin ketatnya penerapan kaidah-kaidah hukum dan konvensi internasional. Pola untuk menguasai ruang tidak lagi dilakukan secara frontal, melainkan dilakukan dengan cara-cara nonlinier, tidak langsung, dan bersifat proxy war

Tren menguasai suatu negara dengan menggunakan ‘senjata’ asimetris yang dibangun secara sistematis, seperti konflik Suriah dan perang di Ukraina semakin meningkat. Penciptaan kondisi lewat propaganda dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan ruang siber seperti media sosial.

Pengelolaan media dan sosial media oleh Puspen TNI, adalah upaya militer Indonesia, sebagaimana tesis Gramsci, membuat nilai-nilai dan program sendiri dengan nilai, ekspesi budaya serta kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

Sejauh ini situs www.tni.mil.id dan akun sosial media yang dikelola Puspen TNI, militer Indonesia berusaha berkomunikasi menyampaikan pesan-pesannya kepada para pembaca yang ingin mengetahui lebih banyak mengenai TNI. 

Komunikasi menghasilkan pengertian dan pemahaman jika pesan yang disampaikan ditafsirkan atau dimaknai orang yang menerima pesan (komunikan) sesuai dengan maksud penyampai pesan (komunikator). Komunikasi haruslah menghilangkan ketidakpastian (uncertanty reduction of theory). 

Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana ancaman perang informasi atau warfare terhadap pertahanan dan keamanan nasional Indonesia saat ini?

Bagaimana strategi Puspen TNI menyusun dan melaksanakan strategi pengelolaan media dan sosial media dalam menghadapi warfare yang menjadi ancaman bagi pertahanan dan keamanan nasional?

Seiring dengan berkembangnya hubungan internasional, maka berkembang pula konsep keamanan. Termasuk konsep keamanan yang disebut sebagai pendekatan non tradisional. Terdapat beberapa hal yang mencirikan pendekatan non-tradisional. 

Pertama bahwa keamanan tidak hanya terfokus pada keamanan negara, namun juga keamanan adalah upaya untuk melindungi setiap individu, kelompok, lingkungan, serta keberadaan bumi itu sendiri. 

Kedua, terkait pentingnya untuk mengetahui sumber-sumber ancaman. Bahwa sumber ancaman dapat berasal dari dalam maupun dari luar negara. 

Kemudian pemikiran yang ketiga yaitu, studi keamanan tidak hanya mengenai sektor militer saja, tetapi lebih luas seperti sektor ekonomi dan sektor lingkungan. 

Pada intinya, dalam konsep keamanan non tradisional sudah tidak berbicara tentang interstate relations, namun sudah melihat keamanan individu. Perkembangan konsep keamanan non tradisional ini ditandai dengan berakhirnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dan aksi teror di gedung WTC pada 11 September 2001. Dimana yang menjadi sumber ancaman bukanlah Negara lain melainkan dari kelompok terorisme.

Menurut Buzan, terdapat lima faktor yang mempengaruhi perkembangan studi keamanan, yaitu great power politics, technology, event, institutionalization, dan academic debate

Ada tiga skenario yang dibangun berdasarkan analisis intelijen Badan Intelijen Negara (BIN) yang dijadikan sebagai prediksi terhadap kondisi Indonesia sampai tahun 2045. Prediksi ini dinilai penting dirumuskan karena pada tahun tersebut, Indonesia akan memasuki 100 tahun masa kemerdekaan atau disebut juga sebagai "Masa Indonesia Emas 2045". Tiga skenario tersebut adalah: 1) skenario optimis, 2) skenario transformatif; dan 3) skenario pesimis. 

Masing-masing skenario, memiliki parameter sendiri-sendiri yang juga terkait dengan situasi di dalam negeri Indonesia, kawasan Asia Tenggara dan kondisi global.

Berdasakan analisis Badan Intelijen Negara (2017) tersebut, disebutkan bahwa hingga 2045 diperkirakan terdapat 10 bidang ancaman yang muncul, yaitu: lingkungan strategis, hubungan internasional, ideologi dan politik, sosial dan budaya, ekonomi, sumber daya alam (SDA), pertahanan militer, keamanan dalam negeri, teknologi dan cyber. Masing-masing ancaman memiliki dimensi yang berbeda.  

Dari prediksi tersebut, intervensi asing menjadi ancaman serius bagi Indonesia terutama melalui usaha mengontrol sumber daya, ekonomi dan sistem demokrasi. Hal ini juga berkaitan dengan perebutan sumber daya alam yang akan semakin sengit mengingat krisis pangan dan krisis energi global di masa depan. 

Sementara itu, inovasi teknologi yang berkembang cepat berpengaruh besar terhadap dinamika global masa depan. Hal ini mengancam Indonesia dalam berbagai bentuk, utamanya terkait pertahanan dan keamanan negara. Kemajuan teknologi dan interkoneksivitas yang terbangun akibat kehadiran artificial intelligence (AI), implanted chip, broadban dan inovasi lainnya dapat menimbulkan dampak terhadap keamanan informasi baik pribadi maupun publik. 

Pengembangan nano-tekonologi dan 3D printing juga dapat berpengaruh terhadap kenaikan jumlah kejahatan dan kemudahan kegiatan spionase. Ketidakmampuan dalam pengelolaan dan implementasi tepat guna dari masing-masing inovasi tersebut akan memunculkan ancaman yang dapat merugikan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, strategi yang lengkap dan terarah perlu disusun dengan matang untuk menghindari ancaman tersebut.

Perang Informasi

Dalam era globalisasi ini, yang namanya informasi seakan semakin sulit dibendung. Di Indonesia sistem komunikasi dibatasi pada aturan hukum, etika, dan ideologi Pancasila. 

Industri secara umum saat ini telah terbagi menjadi industri barang dan jasa. Perbedaan secara umum dijelaskan oleh Gaspersz (2011) yaitu produk dapat berupa tangible (dapat disentuh) dan intangible (tidak dapat disentuh) dan perkembangannya produk bisa berupa barang, perangkat lunak, maupun jasa. 

Media sebagai sebuah industri dijelaskan Croteau dan Hoynes (2013), bahwa media memiliki input berupa informasi yang diproses menjadi informasi yang lebih bernilai bagi konsumen. Proses produksi jika berkaitan dengan media masa dipaparkan oleh Doyle (2002a), proses produksi media yaitu kegiatan memproduksi konten, mengemas konten, hingga mendistribusikan konten pada konsumen. 

Nilai konten yang diharapkan oleh konsumen menjadi hal yang dituju oleh industri media dalam memproses informasi. Produk dikatakan bernilai ketika memiliki inovasi performance yang canggih dan juga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang menjadi konsumen produk tersebut.

Media massa dalam perkembangannya terlihat pada era ini seperti media massa cetak, media massa elektronik, media massa online. Kemajuan teknologi informasi tidak hanya menyebabkan media massa berkembang menggunakan internet, akan tetapi muncul berbagai cara baru dalam komunikasi massa yang disebut new media (media baru). 

New media inilah yang mempengaruhi langsung maupun tidak langsung kepada media massa akibat prinsip new media yaitu ketersediaan semua orang untuk berkomunikasi dan kebebasan informasi dari kontrol. 

Mcquail (2010) menjelaskan bahwa new media tidak hanya berhubungan dengan produksi dan distribusi pesan seperti media massa konvensional, melainkan fokus pada proses, pertukaran, dan penyimpanan pesan informasi. 

Terdapat 5 kategori dari new media yang dibedakan berdasarkan penggunaan, konten, dan konteks, sebagai berikut:

1) Interpersonal Commmunication Media

Pada kategori ini Interpersonal Commmunication Media, new media adalah bentuk perkembangan komunikasi antar personal atau pribadi. Teknologi email dan telepon genggam seperti aplikasi chatting termasuk pada kategori ini.

2) Interactive Play Media

Kategori Interactive Play Media berbasis pada teknologi informasi dan inovasi yang berkembang dengan internet. Pada kategori ini terdapat permainan online, aplikasi, dan lain lain.

3) Information Search Media

Kategori Information Search Media yang biasa dikenal dengan nama search engine telah berkembang menjadi perpustakaan, sumber data, atau alat untuk mencari berbagai sumber informasi di internet.

4) Collective Participatory Media

Kategori Collective Participatory Media adalah penggunaan internet untuk berbagi dan bertukar informasi, ide, dan pengalaman. Pada kategori ini sering dikenal sebagai media sosial.

5) Subtitution of Broadcast Media

Kategori Subtitution of Broadcast Media berkaitan dengan penyebaran dan pengunduhan konten media massa menggunakan internet. Pada kategori ini terdapat artikel jurnalistik online, musik, film, program televisi, radio, dan lain lain.

Saat ini di Indonesia, bentuk media warfare sendiri sudah nyata dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah. Pemerintah Indonesia sudah mulai fokus menanggapi industri media dalam kaitannya dengan ancaman media warfare. Terlihat pada kasus pemblokiran akses aplikasi chatting oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada 14 Juli 2017. 

Menurut Siaran Pers No. 86/HM/KEMENKOMINFO/07/2017 yang diterbitkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (2016), telah ditemukan konten-konten yang digunakan untuk propaganda terorisme dan radikalisme pada salah satu media informasi chatting itu. Kemenkominfo memberi laporan kepada pihak industri media tersebut sejumlah 6 kali sejak Maret 2016 hingga Juli 2017, namun tidak ada respon. 

Namun demikian model penanganan kasus fake news masih banyak berfokus mengejar pelaku dan pemberantasan account palsu yang dinilai masih kurang efektif. Sehingga masyarakat sulit melakukan pencarian fakta dari sebuah berita. Karena itu pentingnya peran industri media dalam memerangi fake news, melakukan cross-checking, dan memberikan pemberitaan yang jujur dan berimbang. 

Dalam hal ini Puspen TNI sudah melakukan langkah strategis melalui pengelolaan media dan media sosial. Kendati demikian, langkah ini perlu diperkuat lagi agar dapat menghadapi ancaman media warfare.

* Penulis adalah kandidat Doktor Prodi Ketahanan Nasional Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada

ikuti terus update berita rmoljatim di google news