- Goenawan Mohamad: Banyak Sekali Kebohongan Diucapkan Presiden
- Tangisan Goenawan Mohamad: Kritik Atau Strategi Politik?
- Marwah MK Dirusak, Demokrasi Sudah Mengkhawatirkan
Siapa yang tidak tahu Goenawan Mohammad? Pasti kaum terpelajar di negeri ini banyak yang tahu sepak terjangnya sebagai seorang penyair, esais, penulis naskah drama, dan editor Indonesia terkemuka.
Lelaki kelahiran 29 Juli 1941 ini merupakan senior citizen (warga negara senior) yang terkenal kritis terhadap pemerintah, tanpa rekam jejak intelektual dan moral yang berselingkuh dengan kekuasaan dalam sepanjang hidupnya.
GM --panggil akrab Goenawan Mohamad, seorang tokoh yang otentik di tengah-tengah hiruk pikuk panggung kekuasaan yang dipenuhi dengan permainan patgulipat ulama dan umara. Seruan cendekiawan berusia 83 tahun untuk revolusi dan bubarkan DPR, langsung disambut oleh gerakan mahasiswa.
Aksi massa mahasiswa besar-besaran di kompleks Gedung DPR/MPR RI adalah bukti api intelektual dan moral GM yang bersih dari kepentingan politik praktis, telah ikut membakar jiwa juang mahasiswa. Mereka kaum muda yang meneruskan semangat perjuangan mahasiswa 1998 yang membidani reformasi.
Gerakan mahasiswa nampaknya mendapat momentum siklus perubahan 25 tahun di negeri ini. Perseteruan Mahkamah Konstitusi (MK) dan DPR terkait ambang batas pencalonan kepala daerah, bisa menjadi pemicu perubahan besar yang dipelopori mahasiswa, layaknya perubahan '66 dan '98.
Kendati tuntutan aksi massa saat ini lebih sederhana. Mereka menuntut DPR untuk melaksanakan keputusan MK secara murni dan konsekuen. Bukan justru menolak keputusan MK yang final dan mengikat dengan melakukan revisi UU Pilkada Pasal 40 dengan tetap memberlakukan persyaratan 20 persen kursi atau 25 persen suara bagi partai parlemen.
Sementara, ambang batas pencalonan berdasarkan jumlah daftar pemilih dan suara sah diberlakukan bagi partai nonparlemen saja dalam mengusung calon kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Dengan merevisi RUU Pilkada seperti itu, DPR nyata-nyata melakukan pembangkangan Konstitusi. Bagaimana tidak? Norma hukum yang dibatalkan oleh MK dihidupkan kembali. Padahal, ambang batas pencalonan yang berlaku selama ini bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga timbul aksi massa menolak revisi UU Pilkada.
Aksi massa mahasiswa kali ini cukup dramatis diwarnai dengan bakar ban, jebol pagar, lempar batu, bentrok fisik antara massa dan aparat keamanan, penembakan gas air mata, pembubaran aksi secara paksa dan seterusnya. Mereka merupakan kekuatan moral untuk menyelamatkan konstitusi dan demokrasi dari kekuasaan yang mematikan oposisi dan suara kritis rakyat.
Praktek kekuasaan di akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo telah berhasil menjadikan istana sebagai sentral kekuatan terbesar. Kekuatan politik yang ada telah bertekuk lutut pada kepentingan penguasa, hatta sebagai pelayan keluarga penguasa sekalipun.
Demi kepentingan sang pangeran dari dinasti politik Jokowi, centang pranang politik dan hukum terpaksa harus terjadi. Demi Gibran Raka Buming Raka dan Kaesang Pangarep lahirlah keputusan MK dan Mahkamah Agung (MA) yang kontroversial. Semua merupakan bab pemberian jalan anak presiden maju presiden atau gubernur, walaupun harus melakukan rekayasa hukum dengan menurunkan batas usia minimal pencalonan yang belum cukup.
Publik membaca revisi UU Pilkada yang menganulir keputusan MK yang dianggap merugikan kepentingan penguasa dan anaknya, telah menyulut kemarahan GM dan para mahasiswa. Revolusi bisa menjadi jalan terakhir untuk meluruskan sejarah Republik. Rezim ini dinilai paling nepotistik daripada Seokarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY.
Maka dari itu, Revisi yang digulirkan oleh Baleg DPR pimpinan Imam Baidowi dari Fraksi PPP ini mendapat perlawanan dari publik luar biasa. Beberapa dosen seperti Herlambang Wiratraman (Dosen Hukum UGM) membebaskan kuliah mahasiswa yang turun ke jalan. Ada juga beberapa tokoh layaknya Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama 2014-2019) turut pimpin doa saat aktivis dan akademisi turun jalan.
Penolakan yang begitu keras satu sisi dan Rapat Paripurna DPR yang tak kuorum sisi lain, mengakibatkan revisi UU Pilkada akan matisuri. Waktu yang tersisa tak cukup untuk memuluskan jalan dinasti Raja Jawa untuk mendominasi politik daerah.
Bersamaan dengan berakhirnya kekuasaan Jokowi pada 20 Oktober 2024 mendatang, Wakil Presiden terpilih Gibran pasti tak akan kuat menopang kepentingan kekuasaan keluarga Presiden ke-7 ini. Masa bulan madu dengan Presiden Prabowo Subianto tak akan lama. Mereka akan saling mencakar, mencabik, dan menikam demi merebut dan mempertahankan kekuasaan yang fana.
Akhirnya, saya kutipkan kata bijak GM, "Kekuasaan manusia adalah kekuasaan menghadapi diri sendiri yang tak sepenuhnya dipahaminya sendiri, manusia lain yang tak selamanya dapat dimengerti, masyarakat yang tak pernah selesai terbentuk, semesta hidup yang tak kunjung tertangkap oleh dalil". Wallahu 'alam bisshawab.
*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Revitalisasi Pasar Kembang Tahap Pertama Segera Dimulai, PD Pasar Surya Bangun TPS untuk Pedagang
- Dukung Eri Cahyadi-Armuji, Hiperhu: Lanjutkan Kepemimpinan Periode Kedua
- Pemkot Surabaya Berhasil Raih Penghargaan Bergengsi dari Badan Informasi Geospasial