- Poros 70 Persen
- Kisah dan Karir Nuim Khaiyath, Wartawan Legendaris Radio Australia
- Gen Z dan Gagasan Indonesia Emas 2045
ADA kecenderungan sejumlah pengamat di Indonesia saat ini berpendapat seolah-olah aksi para mahasiswa yang belakangan marak, itu ahistoris. Pendapat ini tentu berbahaya untuk kesehatan demokrasi kita.
Patut diingat, gerakan rakyat melawan kezaliman di Indonesia memiliki sejarah panjang. Gerakan ini berupa demonstrasi, unjuk rasa, mobilisasi massa, yang lazim disebut “pembangkangan sipil”. Pembangkangan melawan rezim penguasa. Sejarah mencatat pemberontakan petani Banten 1888, yang ditulis Sartono Kartodirdjo atau pemberontakan “komunis” tahun 1926-1927 di Silungkang yang diurai oleh Mestika Zed. Kedua peristiwa itu menggambarkan pembangkangan melawan rezim kolonial Belanda.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945 dan akhirnya berdaulat penuh pada 1949, pemerintahnya juga menghadapi berbagai perlawanan. Mereka yang melawan pemerintah seringkali dianggap “pemberontak” karena melawan pemerintahan yang sah.
Contohnya, Perlawanan Rakyat Semesta (Permesta) yang ditulis Barbara Harvey. Permesta menunjukkan bahwa pembangkangan sipil tetap terjadi walaupun posisi Indonesia sudah merdeka.
Daniel Lev pernah menyampaikan bahwa Demokrasi Terpimpin tidaklah revolusioner dan juga bukan demokrasi. Kritikan tersebut disematkan dalam bukunya The Transition to Guided Democracy. Memang benar, walaupun Demokrasi Terpimpin menggunakan istilah “demokrasi” tapi kekuatan politik Sukarno benar-benar tidak terbendung pada tahun 1959-1965.
Semua kebijakan didasarkan kepada keinginan Sukarno yang dianggap sebagai “penyambung lidah rakyat”.
Butuh momentum sebelum ada pembangkangan sipil era Demokrasi Terpimpin. Momentum itu muncul ketika perekonomian Indonesia terus merosot, sementara pejabat banyak yang bersolek, berpesta dan berdansa. Rakyat muak, lantas pembangkangan sipil meluas usai gegar Gerakan 30 September.
Mahasiswa turun ke jalan dan membawa Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Perlahan kekuasaan berpindah ke Suharto, Demokrasi Terpimpin ala Soekarno tumbang.
Memasuki era Orde Baru, rezim Soeharto melakukan pembungkaman terhadap kritik. Koreksi dianggap tabu. Teror mental terjadi dimana-mana. Aparat pro-Soeharto hidup makmur. Keresahan rakyat dibungkam melalui ancaman, rayuan serta teror.
Muncul reaksi Kelompok Petisi 50. Wajah rezim Orde Baru adalah kediktatoran. Diktator berwajah kebajikan (The benevolent dictator). Ia baik kepada pendukungnya, tapi ia melibas lawan-lawan politik plus kritikus. Timbul gerakan massa, demonstrasi dan pembangkangan.
Saat itu, segala kritikan, sampai yang terhalus sekalipun, ketika disampaikan dalam panggung terbuka (seperti dalam koran) akan dianggap sebagai tindakan subversif. Begitu seriusnya Orba dalam menghadapi masalah seperti ini, mereka bahkan menganggap serius wangsit Sawito Kartowibowo pada tahun 1970an sebagai tindakan makar. Seperti ditulis David Bourchier.
Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974, aksi mahasiswa 1977/1978 lalu berlanjut aksi Reformasi 1997-1998, akhirnya mendesak Suharto mengundurkan diri dari jabatan kepresidenan. Tiga aksi mahasiswa ini menjadi ilustrasi bahwa di masa paling keras sekalipun, gerakan rakyat tidak bisa dibendung rezim.
Memasuki era pasca Reformasi, kita menyaksikan bagaimana panggung politik di Indonesia kembali menemukan gerakan massa yang menjamur. Warga negara biasa berhak terlibat dalam unjuk rasa untuk menyalurkan aspirasinya. Semenjak era B.J. Habibie sampai dengan Susilo Bambang Yudhoyono, selalu ada demonstrasi sebagai wadah menyalurkan kritik dengan cara yang keras. Itulah esensi demokrasi.
Rakyat sudah muak. Rakyat sudah jijik menyaksikan elit politik pesta-pora. Maka, jika ada orang maupun kelompok yang bicara mengenai keselarasan, kekeluargaan, atau keharmonisan, maka sejatinya ia atau mereka adalah manusia yang berwatak diktator sekaligus otoriter karena mengharapkan semua orang mengikuti pola pikirnya.
Ada pelajaran menarik dari SBY ketika ia dikritik. Ia melawan dengan tulisan, bukan sekedar membela diri lewat pidato. Akan tetapi, selama 10 tahun terakhir ini, rezim alergi dikritik. Dan para influencer atau buzzer membela rezim. Menjilat rezim yang sudah mereka anggap paling benar.
Menarik ulasan Kathleen Sands dalam bukunya ''America’s Religious Wars'' (2019). Sand menegaskan, bahwa “Ketidaksepakatan adalah bahan bakar demokrasi, tetapi ketidaksepakatan yang bermakna adalah pencapaian yang sebenarnya dan kita dapat bertarung terus-menerus tanpa perlu sampai tujuan”.
Sehingga, ungkapan ketidaksepakatan, baik dalam bentuk pembangkangan, perlawanan, maupun kritik adalah hal yang wajar dalam demokrasi. Karena Indonesia lahir dari pembangkangan melawan kolonialisme, maka rezim penguasa serta para badutnya harus memaklumi adanya kritik.
Sayangnya, yang sebaliknya justru terjadi sekarang, dan ini menandakan kualitas demokrasi di Indonesia kian hari kian merosot. Kebiasaan rezim membela diri atau menyalahkan pihak lain tanpa mengakui kekurangannya adalah wujud penurunan kualitas elit politik di Indonesia yang dibarengi para punakawan nir-logika yang hanya menunggu diberi makan seperti komplotan serigala.
Jadi, sesungguhnya aksi mahasiswa pada 22 Agustus, berupa demonstrasi mendukung Putusan Mahkamah Konstitusi, adalah aksi yang punya dasar sejarah yang kuat di negeri ini. Bukan aksi ahistoris. Para demonstran adalah pelaku sejarah. Mereka mempertahankan marwah Indonesia sebagai negara yang didirikan dengan cita-cita demokratis. Sikap para demonstran kali ini sudah benar karena punya rujukan sejarah kokoh, yakni melawan rezim zalim, penuh kongkalikong dan rezim tak peka suara rakyat.
*Peneliti Sejarah dan Ideologi, Nusantara Center for Social Research (NCSR)
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Bikin Presiden Manggut-Manggut, Halusinasi Sri Mulyani Mirip VOC
- Sistem Pendinginan untuk Membangun Pemilu Damai
- Doa Pemutilasi Kaliurang buat Wiwit