DUNIA hukum kita kembali dibuat sibuk – atau barangkali, digulakan – oleh kasus terbaru yang menyeret mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong. Yang menghebohkan, investigasi ini disebut-sebut atas restu langsung dari Presiden saat itu, Joko Widodo, dan kemudian dieksekusi oleh pihak Kejaksaan Agung.
Menurut berbagai pihak, Jokowi-lah yang campur tangan dalam penerbitan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) pada Oktober 2023, tepat setahun setelah Partai Nasdem mencalonkan Anies Baswedan untuk Pilpres 2024, saat Tom Lembong ditunjuk jadi co-pilot "pesawat" tim Anies.
Mendengar nama Tom Lembong muncul sebagai tersangka, publik mengalami campuran perasaan antara kaget dan ‘oh tentu saja.’ Ini bukan hanya soal impor gula yang katanya merugikan negara Rp400 miliar, melainkan juga potensi terkuaknya kolaborasi antara politik dan kebijakan impor di negeri ini.
Di sisi lain, Ketua Umum Nasdem Surya Paloh mengaku kaget, “tak ada angin, tak ada hujan,” tiba-tiba Tom jadi tersangka. Meski berharap kasus ini murni masalah hukum, tak bisa dipungkiri, situasi ini memicu kecurigaan publik akan adanya agenda politik di balik kasus ini, terutama menjelang pencalonan Anies Baswedan.
Namun, kenyataannya selalu lebih kompleks dari yang diharapkan. Toh, perintah penyidikan datang langsung dari Presiden saat itu, Jokowi. Meski dalihnya “penegakan hukum,” publik tentu bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di balik layar, apalagi momen ini bertepatan dengan euforia jelang pencalonan Anies.
Habiburokhman dari Partai Gerindra, yang terkenal dengan gaya nyentrik, mengingatkan bahwa konstruksi hukum kasus ini masih “sumir” alias kurang konkret. Publik pun ramai bertanya: ini soal korupsi, kebijakan, atau sekadar “politik gula-gula”?
Sasaran kritik warganet mengarah ke Prabowo, mempertanyakan komitmen pemerintahan ini dalam penegakan hukum. Tak heran jika Habiburokhman meredam, mengingatkan bahwa pemerintahan baru Prabowo berpotensi dituduh melakukan “politisasi hukum” jika kasus ini tidak segera dijelaskan.
Ia meminta Kejaksaan Agung berbicara secara terbuka agar tidak menimbulkan persepsi buruk.
Namun, permintaan ini terasa seperti mimpi di siang bolong, apalagi ketika penyidik utama kasus, jaksa Abdul Qohar, malah menjadi bahan pembicaraan warganet. Aksesoris jam tangan mewah yang dipakainya mengundang kecurigaan publik, dan netizen yang jago ngulik pun ramai berspekulasi tentang sumber jam tangan tersebut.
Menariknya, jaksa Abdul Qohar kedapatan mengenakan jam tangan Audemars Piguet Royal Oak Offshore yang harganya sekitar Rp1 miliar. Padahal, dari laporan kekayaannya, Qohar hanya memiliki kekayaan sekitar Rp5 miliar. Wajar jika netizen bertanya: “Dari mana uang untuk membeli jam semahal itu?”
Spekulasi tentang jam tangan ini tak pelak menjadi bagian dari diskusi seru. Netizen pun bertanya-tanya, mengapa kasus sembilan tahun lalu baru diangkat sekarang, jika bukan karena agenda tertentu.
Kasus ini bermula pada 2015 saat Tom Lembong mengeluarkan izin impor 105.000 ton gula kristal mentah (GKM) bagi PT AP, ketika stok gula di Indonesia surplus. Tindakan ini dikatakan merugikan negara sebesar Rp400 miliar. Namun, sampai saat ini Kejagung belum menunjukkan bukti ada aliran dana yang menguntungkan Tom.
Lantas, ruginya di mana, dan jikapun ada, siapa yang menikmatinya?
Penetapan tersangka pada Tom semakin memicu perdebatan: apakah ini sekadar kriminalisasi kebijakan atau ada agenda lebih besar? Keputusan impor di tengah surplus bisa saja bagian dari strategi yang berbalik jadi bumerang. Atau, seperti yang disinyalir netizen, ada pihak yang memanfaatkan kasus ini untuk kepentingan tertentu. Jika kebijakan bisa disalahkan, bagaimana dengan kebijakan Jokowi soal IKN yang ditengarai mangkrak?
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengingatkan bahwa penegakan hukum seharusnya selaras dengan cita-cita persatuan nasional. Ironisnya, kasus ini justru semakin menonjolkan tumpang tindih antara hukum dan politik. Mungkin itulah mengapa Habiburokhman lebih fokus pada penjelasan resmi dari Kejaksaan daripada sekadar menunggu kasus ini berakhir dengan “bersih.”
Bagaimana kasus ini berlanjut masih jadi tanda tanya besar. Tapi satu hal pasti: publik akan terus memantau. Sering kali, kasus-kasus serupa hanya menjadi komoditas politik, berganti makna sesuai kepentingan elit. Bagi kita, rakyat biasa, yang tersisa mungkin hanya humor pahit: bagaimana sebuah kasus gula yang seharusnya manis justru terasa getir di lidah masyarakat.
Apakah ini pertanda negeri ini tengah “di-gula-gula,” atau hanya upaya “menggula-gulai” hukum dengan politik? Hanya waktu yang akan menjawab. Sementara itu, kita bisa duduk menyaksikan episode lanjutan kisah antara Tom Lembong, Kejagung, dan jam tangan mewah.
Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an
ikuti terus update berita rmoljatim di google news