Belajar dari Hawai'i, Jangan Terulang Lagi

Foto dok
Foto dok

HAWAI'I kepulauan indah nan eksotik. Sohor sejagat, beken sedunia. Disukai karena keindahan alam sekaligus kenyamanan. Meski semua itu sesungguhnya berbeda saat berbagai penyakit mewabah di kepulauan tersebut selama perang perang dunia kedua. Tatkala begitu banyak warga etnik Kanaka Maoli, penduduk asli Hawai'i meregang nyawa akibat wabah penyakit tersebut. Dan mewajibkan tiap penduduk untuk segera divaksinasi. Pihak militer AS mencuri kesempatan ini.

Mereka turun mendata warga, lalu segera melakukan vaksinasi massal. Ini bukan cuma perkara kesehatan, apalagi di masa darurat militer. Itu dipropagandakan sebagai ekspresi sikap patriotik. Ada agenda di balik kampanye perang. Memang, sejak  perang dunia tahun 1942, segalanya berubah. Termasuk urusan vaksinasi ini, yang tak melulu perkara kesehatan, tapi juga menjadi urusan keamanan sekaligus perampasan. Sebanyak 363 ribu warga menjadi target vaksinasi.

Selama periode ini, militer AS secara sepihak memperoleh tanah Hawaii dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan alasan menjaga kesehatan, aparat militer AS mencaplok wilayah setempat untuk memperkuat proyek biopolitik militer, yakni vaksinasi, yang secara sosial mereproduksi hubungan rasial, gender, dan kolonial yang tidak seimbang dari perang tersebut.

Lebih jauh, seperti halnya imunisasi wajib yang menjadi alasan kesehatan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Juga saat dibentuk bank darah untuk mengumpulkan sumber daya biologis dari populasi yang "sehat", bertujuan mengetahui jumlah penduduk asli tapi kegiatan itu berkedok layanan militer.

Saat perang dunia kedua, Hawai'i belum menjadi negara bagian AS. Kepulauan ini baru bergabung menjadi negara bagian ke-50 AS pada 21 Agustus 1959. Sejak rangkaian kepulauan ini dikunjungi James Cook pada 10 Januari 1778, penduduk asli berada dalam sistem feodal. Sistem ini menjadi monarki setelah perang selama puluhan tahun antar suku hingga terbentuk Kerajaan Hawai'i pada 1795 di bawah kepemimpinan Raja Kamehameha. Pada masa pemerintahan Raja Kalakaua (1874-1891), pasukan bayaran AS menyerbu Hawai'i lalu menduduki Honolulu. Berlangsunglah aneksasi AS secara resmi terhadap Hawai'i sejak 7 Juli 1898 dan pada Februari 1900 menjadi wilayah AS namun belum menjadi negara bagian AS.

Buku ini ditulis oleh Juliet Nebolon, mahaguru Kajian Amerika di Trinity College, AS. Dalam lima bab buku ini, Nebolon mengurai bagaimana ekspansi militer AS melancarkan propaganda aktif dan ekstensif ke penduduk kepulauan Hawai'i untuk meraup simpati. Aktivitas ini beragam. Termasuk dalam situasi darurat militer selama perang dunia kedua. Pihak militer AS terus melakukan pendataan, pengawasan sekaligus layanan kepada penduduk setempat.      

Boleh dikata, selama Perang Dunia II di Hawai‘i, teknologi militerisasi dalam suasana darurat militer terus menggema ke seantero Hawai'i. Wacana "kebutuhan militer," dan kesiapsiagaan wilayah diartikulasikan dengan proyek-proyek kolonial di pemukiman pendudukan dan perampasan tanah Pribumi. Berlangsung selama bertahun-tahun meski perang dunia sudah berlalu. Cara-cara kapitalis berupa akumulasi primitif—termasuk perampasan kehidupan, tanah, dan tenaga kerja bernuansa rasial, bias gender, dan kolonial berlangsung tiada henti. Baru surut usai kepulauan ini dinyatakan secara resmi sebagai negara bagian.

Akhirulkalam, penulis buku ini hendak menggambarkan bagaimana cara-cara militeristik merampas wilayah, mempengaruhi pribumi dan mengeruk sumberdaya alam dalam sejarah kelam negeri adidaya. Cara-cara itu bisa saja berulang dan secara sengaja diulangi ke wilayah-wilayah lain meski jauh di seberang lautan.

Penulis akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news