- Selalu Ada Kisah di Balik DNA Purba
- Diplomasi ''Kerajaan di Tengah'' di Era Super Modern
- Membongkar Label ''Proto-Teroris''
PADA dekade '60an pemikir Prancis kelahiran Yunani, Kostas Axelos, sempat mengupas dominasi mesin yang terus merambah kehidupan manusia. Pada satu sisi, mesin memudahkan manusia untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan atau tugas. Namun, pada sisi lain, mesin justru bisa menjadi ancaman bagi manusia karena peran serta fungsi manusia dalam keseharian pelan-pelan bisa tergantikan. Axelos memakai konsep alienasi yang biasa digunakan para pemikir Marxis dalam melihat perkembangan situasi manusia di berbagai aspek.
Pemikiran Axelos masih relevan untuk situasi saat ini. Kita berpikir tentang perkembangan serta kemajuan sesungguhnya kita juga sedang memasuki fase kehidupan saat aspek-aspek dalam kehidupan semakin dikuasai teknologi. Planet yang kita huni ini sudah dipenuhi dengan mesin yang telah memudahkan mobilitas kita, pergerakan kita. Nyaris semua pekerjaan kita juga dikerjakan mesin sehingga orientasi kita pada produktivitas dan efisiensi semakin meningkat.
Akibatnya, urai Axelos, kita belum berpikir secara planet. Maksudnya, memikirkan tentang masa depan umat manusia secara global dengan kepekaan luar biasa terhadap situasi serta kondisi planet kita. Oleh karena itu, kita harus belajar berpikir secara planet. Berpikir juga untuk masa depan planet kita ini. Meskipun ini mungkin memerlukan waktu yang cukup lama. Sekaligus, tidak mudah. Sebab, sejak manusia menyadari pusat gravitasi pemikiran adalah pada dirinya, maka sejak itulah manusia hanya memikirkan masa depannya. Bukan bersama nasib planet kita.
Penulis buku ini menegaskan, langkah berpikir secara planet diawali dengan pertama-tama, berarti kita harus berpikir di luar konfigurasi negara-bangsa modern. Selama ini, karena konfigurasi itulah yang mengakibatkan kita belum mampu menjauh dari persaingan ekonomi dan militer yang ketat. Kedua, kita harus juga merumuskan bahasa koeksistensi yang akan memungkinkan beragam orang dan spesies untuk hidup di planet yang sama. Dan ketiga, mengembangkan kerangka kerja baru yang akan memungkinkan kita untuk melampaui pertanyaan tentang wilayah, menanggapi krisis ekologi saat ini, dan membalikkan proses entropi yang dipercepat dari Antroposen (aktivitas manusia memiliki pengaruh global terhadap lingkungan Bumi).
Menurut penulis buku ini, tugas seseorang yang mengembangkan pemikiran planet selaras dengan gagasan perdamaian abadi sebagaimana diusulkan oleh Abbé de Saint-Pierre dan kemudian oleh filsuf sekaliber Kant, Fichte, dan lain-lain. Sebagai catatan, ketika para filsuf itu menulis gagasan-gagasannya, negara-bangsa modern di Eropa masih muda, dan dengan demikian negara-bangsa dapat dianggap sebagai bentuk politik yang paling tepat. Sedangkan kapitalisme industrial masih dalam tahap awal, dan kerusakan terhadap planet ini belum dapat diperkirakan sebelumnya.
Ketika praktek politik kian pesat, disiplin keilmuannya juga melesat, dan pada saat yang sama teknologi juga semakin masuk ke setiap relung keseharian umat manusia. Maka, pada saat itulah dibutuhkan sebuah traktat baru berjuluk Tractatus Politico-Technologicus. Sebuah traktat, tulis penulis buku ini, yang tak memisahkan teknologi dari politik. Melainkan, traktat yang memasukkan teknologi sebagai pusat dari filsafat politik.
Ala kulli hal, usulan traktat baru yang dikupas sepanjang tujuh bab plus pendahuluan dalam buku ini merupakan tema penting filsafat abad ini. Teknologi bukan cuma dilihat sebagai wujud mekanistik untuk mempermudah kehidupan, melainkan teknologi menjadi bagian penting dalam filsafat politik kontemporer. Itu pesan penting dari buku ini.
*Penulis adalah akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Selalu Ada Kisah di Balik DNA Purba
- Diplomasi ''Kerajaan di Tengah'' di Era Super Modern
- Membongkar Label ''Proto-Teroris''