- MOIS, Dinas Intelijen Negeri Para Mullah
- Bahasa Universal Itu Bernama Matematika
- Negara 'Apartheid' Sumber Kriminalisasi
KISAH rasisme di Amerika Serikat (AS) diawali dari kebiasaan Samuel George Morton pada abad ke-19. Pria yang punya kecermatan baik ini terbiasa mengumpulkan tengkorak manusia. Ia bukan saja membeli tengkorak-tengkorak itu dari para pedagang yang baru tiba dari Eropa, melainkan kuburan penduduk asli dan pemakaman warga kulit hitam pun dijarahnya. Ia tak segan-segan melakukan itu. Kini, koleksinya tengkorak tersebut tersimpan di Museum Antropologi dan Arkeologi Universitas Pennsylvania, AS.
Bersama dengan Louis Agassiz, Josiah Nott dan George Gliddon, mereka mengembangkan teori rasial dari sumber-sumber arkeologis dan sejarah alam. Teori itu berbunyi bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam lima ras secara terpisah. Teori tersebut kemudian mendasari praktek perbudakan di AS sebelum perang saudara. Untuk memperkuat teori itu, Morton melakukan pengukuran tengkorak-tengkorak yang dikumpulkannya. Ia menyimpulkan, bahwa ras Kaukasoid merupakan ras paling pintar diantara ras-ras lain.
Sontak reaksi muncul dari para cendekiawan AS lainnya. Mereka bereaksi keras pada teori rasis tersebut. Selama berdekade-dekade berikutnya, meski teori itu masih hidup, namun serangan bertubi-tubi terhadapnya juga terus berlangsung. Dan serangan telak terhadap teori rasis itu dilakukan oleh Stephen Jay Gould melalui bukunya The Mismeasure of Man yang terbit pada 1981. Dalam buku itu, Stephen yang mantan aktivis hak-hak sipil, menyebut teori rasis berbasis pada prasangka belaka. Bukan berdasar pada fakta ilmiah. Bagi Stephen, gurubesar di Universitas Harvard, teori rasis itu faktanya sangat manipulatif.
Yang mengkhawatirkan dari buku Stephen itu adalah munculnya anggapan betapa meleset dan mudahnya sains terjerembab ke dalam rasisme. Bagi para saintis, situasi itu jelas membuat mereka galau. Sebab, publik bisa saja menjadi kurang percaya atau bahkan tak peduli lagi terhadap karya saintifik. Untuk itulah buku Criticizing Science ini hadir. Tujuannya, ujar penulis, untuk melihat bagaimana sesungguhnya karya Stephen itu harus dilihat dan bagaimana pengaruh kritik radikal serta pemakaian sejarah untuk menggali obyektivitas sains.
Segera setelah karya Stephen beredar dan dibaca luas, karya tersebut mendorong gairah baru mengkritisi kemapanan pengetahuan yang bersemayam di dalam kampus-kampus di negeri Abang Sam (AS). Terbit pula karya-karya feminis yang mengkritik kecenderungan sexisme di dalam bangunan pengetahuan di dunia Barat. Ibarat terjadi pergolakan di kalangan akademisi kampus yang bersikap kritis serta korektif terhadap apa yang telah dianggap mapan.
Dalam enam bab yang diawali pendahuluan serta diakhiri epilog, Myrna Perez, mahaguru Universitas Ohio, mengurai betapa penting sains bersifat obyektif. Serangan terhadap sains merupakan ekspresi dari kebebasan, sejauh serangan tersebut benar-benar argumentatif, faktual serta logis. Masalahnya, serangan terhadap sains juga dilakukan oleh kelompok agamawan yang sering mengkonfrontir temuan sains dengan teks-teks keagamaan. Debat berkepanjangan tak terelakkan, apalagi jika serangan dilakukan berdasar prasangka negatif terhadap sains.
Debate sengit bertema netralitas sains pada gilirannya juga berujung pada penilaian politis. Seringkali para saintis pendukung kebebasan berekspresi akan dituding sebagai orang yang tak bertanggung-jawab terhadap masa depan kemanusiaan, kehidupan agama serta menyimpan agenda politik. Tentu saja, prasangka semacam ini akan memantik perdebatan politik, bukan lagi murni demi kebebasan berekspresi dalam sains.
Akhirulkalam, buku ini seperti melakukan dua hal. Pertama, memposisikan kritik terhadap sains itu hal yang lumrah. Kedua, sains bisa menjadi alat gebuk dalam permainan politik berdasar rasisme, sexisme serta prasangka.
*Penulis adalah akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- MOIS, Dinas Intelijen Negeri Para Mullah
- Bahasa Universal Itu Bernama Matematika
- Negara 'Apartheid' Sumber Kriminalisasi