Web3 dan Metaverse Begitu Menggoda, Selanjutnya Terserah Pengguna

Foto dok
Foto dok

PADA tahun 2022 sempat heboh kata ''Metaverse'' di Indonesia. Kehebohan terjadi karena kata tersebut nyaris belum pernah terdengar di publik Indonesia, kecuali di kalangan pemerhati dunia virtual atau jagat maya. Metaverse sendiri merujuk pada dunia maya yang menggabungkan dunia fisik dan digital. Ini adalah ruang tempat dimana orang dapat bekerja, bermain, dan bersosialisasi menggunakan realitas virtual (VR) dan Augmented Reality (AR).

Sedangkan AR merupakan teknologi yang melapisi informasi digital, seperti gambar, teks, atau model 3D, ke tampilan dunia nyata pengguna melalui perangkat seperti telepon pintar atau kacamata pintar, yang memungkinkan mereka berinteraksi dengan elemen fisik dan virtual secara bersamaan. Intinya, meningkatkan persepsi pengguna terhadap realitas dengan menambahkan konten digital ke lingkungan sekitarnya.

Metaverse telah menarik perhatian berbagai kalangan, baik perusahaan, organisasi nirlaba maupun pemerintah di seluruh dunia. Perhatian ini dikarenakan manfaat Metaverse untuk meningkatkan fungsi administratif dan pengelolaan yang lebih efektif dan efisien. Bahkan, sebuah kementerian dari suatu negara bisa mendirikan kantor pusatnya di Metaverse untuk menumbuhkan koneksi dan kolaborasi di antara berbagai pemangku kepentingan, menawarkan pengalaman VR kepada pemerintah, perusahaan global, dan masyarakat umum.

Salah-satu contoh menonjol dari penggunaan Metaverse di sektor pemerintahan adalah Metaverse Seoul, Korea Selatan, yang resminya diluncurkan pada 16 Januari 2023. Sedangkan uji coba versi beta tahap pertama Metaverse Seoul diluncurkan pada Agustus 2022. Penggunaan Metaverse oleh pemerintah kota acap  disebut Cityverse. Metaverse Seoul merupakan replika virtual kota Seoul, yang bertujuan untuk memperluas dan meningkatkan layanan publik.

Meski baru heboh belakangan, namun sebenarnya kata ''Metaverse'' sudah termaktub dalam novel karya Neal Stephenson bertajuk ''Snow Crash'' yang terbit pada 1992. Kata ''Metaverse'', urai penulis buku ini, berasal dari paduan kata Yunani ''Meta'' yang bermakna ''melampaui'' dan kata ''Universe'' (alam semesta). Maka ''Metaverse'' berarti menandakan lingkungan maya dimana seseorang bisa masuk dan berkegiatan seolah lingkungan itu nyata. Sejak novel Stephenson memakai kata itu, konsep ''Metaverse'' kemudian mengalami evolusi.

Pada tahun 2007 dan 2011, sejumlah perusahaan memakai ''Metaverse'' untuk menjajakan produk mereka ke konsumen. Melalui Metaverse, perusahaan-perusahaan ini bisa memonitor konsumen yang ''log in'' sebagai salah satu acuan mengetahui tingkat ketertarikan konsumen terhadap produk. Namun, laporan dari berbagai media menyebut, masih ada kesulitan pemakaian platform Metaverse yang dihadapi konsumen. Biasanya, hal itu terkait pada kerumitan navigasi di dalam platform yang membuat konsumen jengkel lalu tak lagi memakai platform tersebut.

Akan tetapi pada 28 Oktober 2021 perusahaan induk dari Facebook, Instagram dan WhatsApp, yakni Meta, menyuntik 46 milyar dolar untuk peningkatan teknologi metaverse serta kreasi model bisnis, urai penulis buku ini. Para investor tajir tampaknya melihat potensi bagus teknologi tersebut untuk meraup manfaat serta keuntungan di masa mendatang. Sejak saat itu, berbagai model bisnis berbasis teknologi metaverse berkembang pesat.

Lalu, apa kaitan dengan Web3? Secara sederhana, Web3 merupakan bentuk lanjut dari Web1 dan Web2. Pada Web1 pengguna hanya bisa membaca, sedangkan pada Web2 pengguna bisa ''baca-tulis''. Maksudnya, pada Web2 pengguna secara dinamis bisa menghasilkan konten. Berkat Web2, terjadi saling interaksi, berbagi informasi meski beda perangkat dan pemakaian metadata. Namun demikian, Web2 masih terpusat. Barulah pada Web3 terjadi desentralisasi teknologi dalam lingkungan yang berbeda berdasar pada blockchain. Seperti, papar penulis, Decentralized Finance (DeFi), mata uang kripto dan Non-Fungible Tokens (NFTs).

Berkat Web3 dan teknologi Blockchain, banyak musisi dan artis yang kini menjual karyanya langsung ke konsumen tanpa harus melalui jasa perusahaan label. Dengan teknologi ini, banyak artis atau musisi bisa mengendalikan langsung harga, meraup royalti dari pihak ketiga, dan terkoneksi pada beragam komunitas.

Jika Web3 lebih fokus pada kepemilikan, maka Metaverse tertuju pada pengalaman, interaksi, keterhubungan, baku kenal. Sehingga Metaverse melengkapi kehadiran Web3 bagi pengguna. Siapapun pengguna itu, pihak swasta, perorangan maupun pemerintahan. Suasana ini tentu saja menimbulkan peluang-peluang baru dalam bisnis, pedagangan, serta pemerintahan.

Akhirulkalam, Web3 dan Metaverse memang situasi yang kita hadapi saat ini. Selain gairah untuk menggunakannya demi memperlancar kegiatan sehari-hari, tentu ada hal-hal penting yang tak boleh diabaikan di tengah eforia, diantaranya etika, moral dan legalitas. Silakan memasuki era Web3 dan Metaverse tapi jangan terlena, tetaplah berpatok pada etika, moral dan legalitas.

*Penulis adalah akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news